Ijime: Bentuk Diskriminasi Sosial di Jepang

Febriyan Ibrahim
Airlangga University Faculty of Humanities Japanese Language and Literature
Konten dari Pengguna
3 April 2024 12:36 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Febriyan Ibrahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di dalam kehidupan sosial, tidak terlepas dengan adanya permasalahan-permasalahan sosial yang di hadapi. Seperti perlakuan intimidasi dari orang lain yang mengakibatkan orang tersebut terpuruk. Sama seperti halnya yang ada di Jepang, tindakan intimidasi (ijime) menjadi sebuah permasalahan yang sangat serius untuk dihadapi. Walaupun Jepang dikenal sebagai negara aman dari kriminal, akan tetap hal ini bukanlah sebuah salah satu kriteria bahwa Jepang merupakan sebuah tempat yang sepenuhnya nyaman untuk ditinggali. Banyaknya kasus diskriminasi yang menimpa para korban memberikan dampak sosial yang cukup besar. Tidak banyak dari korban perundungan ini mencoba untuk mengakhiri hidupnya karena perasaan depresi dan kecemasan. Ijime pada umumnya menimpa para pelajar dan para pekerja.
ADVERTISEMENT
Dalam artikel ini akan membahas tentang bentuk tindakan intimidasi atau yang ada di Jepang. Beberapa tindakan intimidasi tersebut ialah “Sekuhara”. Sekuhara merupakan akronim dari bahasa serapan bahasa Inggris “sexual harassment” atau pelecehan seksual. Menurut Nakada dalam (Safitri, 2016) sekuhara merupakan tindakan dimana pelaku melecehkan atau merendahkan hal yang berhubungan dengan kondisi seksual dari korban baik secara verbal maupun non-verbal. Istilah sekuhara ini dikenal di Jepang mulai pada tahun 1989 dan menjadi permasalahan di prefektur Fukuoka (Anjelia et al., 2018). Pada saat itu salah satu kasus yang cukup fenomenal yang dimana seorang wanita pekerja di salah satu perusahaan di Jepang yang menuding adanya kasus pelecehan seksual di tempat kerjanya. Karena kasus itulah yang membuat pemerintah Fukuoka mengambil tindakan tegas akan hal ini.
gambar sexual harassment. Sumber: <a href="https://www.freepik.com/free-vector/woman-being-harassed-by-man-gender-violence-illustration_9260524.htm#fromView=search&page=1&position=0&uuid=03976788-095a-4f00-917d-c24f58ec19b4">Image by freepik</a>
Adapun kasus yang menimpa salah satu anggota wanita parlemen dari partai Minna no Tou, Ayaka Shiomura, seorang wanita lajang berusia 35 tahun yang mendapatkan pelecehan seksual secara verbal pada tahun 2014 silam. Pada waktu itu Ayaka Shiomura Tengah melakukan pidato untuk mendukung hak-hak asasi perempuan. Kemudian Ayaka Shiomura mendapatkan tindakan pelecehan tersebut dari seseorang dari kubu LDP (Liberal Democratic Party) (Anjelia et al., 2018). Meskipun rata-rata korban dari sekuhara adalah seorang perempuan. Tidak menutup kemungkinan bahwa laki-laki juga dapat menjadi korban sekuhara ini.
ADVERTISEMENT
Selain dari kasus sekuhara, adapula kasus tentang matahara dan patahara. Berbeda halnya dengan sekuhara, matahara merupakan sebuah tindakan intimidasi yang dimana kasus ini mengarah kepada para wanita pekerja yang ingin mengurus dan membesarkan anak mereka. Matahara berasal dari akronim "maternity harassment" yang berarti pelecehan terhadap seorang ibu yang melakukan persalinan. Sedangkan, patahara berasal dari akronim "paternity harassment" yang secara bahasa berarti tindakan pelecehan terhadap seorang pria pekerja yang ingin membantu membesarkan anak di rumah (Aurelia & Dehars, 2023). Dengan tingginya tuntutan pekerjaan di Jepang, patahara dan matahara menjadi permasalahan yang banyak sekali terjadi di lingkup pekerjaan. Banyaknya waktu lembur dan kurangnya waktu untuk menikmati waktu bersama keluarga menjadi faktor utama matahara dan patahara dapat terjadi.
ADVERTISEMENT
Adapun Kementerian Kesehatan Jepang dalam (Aurelia & Dehars, 2023) mengatakan bahwa, wanita pekerja yang sedang hamil rentan sekali mendapat perlakuan matahara. Dalam kasus ini kerap kali korban mendapatkan sebuah pelecehan secara verbal maupun non-verbal yang berhubungan dengan kehamilan dengan pekerjaan. Pelecehan tersebut biasanya berupa perkataan atau tindakan yang dimana untuk menuntut korban agar bekerja tanpa memedulikan kehamilannya atau pemaksaan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan dalam keadaan hamil. Adapun perlakuan yang lebih buruk yaitu, memutus hubungan kerja secara paksa dengan si korban.
Tidak hanya perempuan yang mendapatkan pelecehan dalam dunia kerja, bahkan pria juga memungkinkan mendapat perilaku pelecehan. Dalam kondisi ini, menurut Grant dalam (Aurelia & Dehars, 2023) laki-laki pekerja yang ingin mengambil waktu cuti untuk mengurus dan membesarkan anak juga mendapatkan perilaku patahara. Hal ini juga menunjukkan bahwa para pekerja siapapun bisa mendapatkan perlakuan diskriminasi pekerjaan. Tidak hanya pekerja lokal bahkan pekerja asing pun bisa mendapatkan perlakuan yang sama.
ADVERTISEMENT
Para pelaku patahara dan matahara kebanyakan dilakukan oleh para atasan, para pejabat perusahaan, senior korban, bahkan kolega kerja korban. Dengan adanya kekuasaan yang dimiliki para pelaku atas korban patahara dan matahara, mereka dengan senang hati untuk mendesak agar dapat memenuhi keinginan dari atasan. Terlebih korban dalam kondisi sedang membesarkan anak dan dari sisi kebutuhan akan uang, bertahan dalam pekerjaan mereka merupakan hal yang sangat penting.
Perilaku patahara dan matahara ini juga memiliki dampak yang sangat buruk bagi para korban, baik berdampak pada kondisi mental dan kondisi fisik para korban. Menurut penelitian Tokio Marine and Nichido Risk Consulting dalam (Aurelia & Dehars, 2023) menyebutkan sebanyak 69,2% responden menjawab mereka yang menjadi korban matahara merasa marah dan kecewa dengan tindakan para pelaku dan sisa dari responden menjawab dengan penurunan kualitas kerja mereka.
ADVERTISEMENT
Untuk menanggapi hal ini, pemerintah juga telah membuat regulasi untuk melindungi para pekerja pria dan wanita pekerja dalam undang-undang Ordinance for the Enforcement of the Act on Ensuring Equal Opportunities for and Treatment of Men and Women in Employment (雇用の分野における男女の均等な機会及び待遇の確保 等に関する法律施行規則) atau yang biasanya disebut sebagai Equal Employment Opportunity Law, undang-undang Kesempatan Kesetaraan Kerja. Pada tahun 1985 undang-undang EEOL pertama diberlakukan. Akan tetapi, banyak sekali kekurangan dalam penerapan undang-undang tersebut. Dalam versi pertama tersebut, kalangan wanita memprotes karena adanya ketidakadilan tentang aturan antar wanita dan pria. Versi tersebut dinilai terlalu mendukung hak-hak para pria yang dimana upah kerja mereka lebih tinggi daripada wanita walaupun melakukan pekerjaan yang sama.
ADVERTISEMENT
Pada awalnya EEOL melewati beberapa kali revisi. Hingga ditetapkan revisi terbaru pada tahun 2006 yang berfokus pada penegakan hukum untuk diskriminasi pekerjaan, diskriminasi gender, dan pelecehan seksual (Starich, 2007). Di dalam revisi ini pula regulasi hukum tentang patahara dan matahara diberlakukan. Pemerintah melarang adanya diskriminasi perusahaan terhadap para pekerja yang ingin mengasuh dan membesarkan anak mereka.
Meskipun pemerintah Jepang telah membuat regulasi tentang larangan diskriminasi terhadap para pekerja yang ingin mengasuh dan membesarkan anak, hal ini masih belum mengatasi masalah tersebut secara keseluruhan. Hal ini terjadi karena adanya perusahaan yang tidak taat tentang aturan yang berlaku. Banyaknya diskriminasi dalam pekerjaan juga memberikan andil terhadap faktor penurunan angka pernikahan di Jepang. Banyak wanita yang memilih untuk fokus menjadi wanita karir karena permasalahan ini. Hal ini juga secara tidak langsung menjadi salah satu faktor penurunan angka kelahiran di Jepang.
ADVERTISEMENT
Segala macam bentuk diskriminasi memiliki efek domino yang berkepanjangan. Tidak hanya dampak buruk terhadap mental dan kondisi fisik korban, melainkan dapat berpengaruh terhadap kemajuan dan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Meskipun untuk menghapuskan segala macam bentuk diskriminasi dinilai hampir mustahil, perlu adanya kesadaran diri sendiri untuk menghargai setiap hak manusia demi mencegah terjadinya diskriminasi