Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Tarif AS dan Rupiah Melemah: Ujian Awal Pemerintahan Prabowo
10 Mei 2025 16:05 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari febry kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Periode penuh tantangan bagi pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto. Hanya dalam beberapa bulan pertama masa jabatannya, Indonesia dihadapkan pada tekanan eksternal yang signifikan: Amerika Serikat resmi menaikkan tarif impor terhadap sejumlah produk asal Indonesia, disusul oleh melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hingga menyentuh level terendah dalam beberapa tahun terakhir, yaitu Rp16.970 per dolar.
ADVERTISEMENT
Langkah Washington yang menaikkan tarif hingga 32% terhadap produk seperti tekstil, karet, dan alas kaki, dipandang sebagai strategi proteksionisme lanjutan yang dimotori oleh kampanye "America First" dari pemerintahan yang baru saja terpilih kembali. Bagi Indonesia, kebijakan ini sangat berisiko, mengingat AS merupakan salah satu mitra dagang utama sekaligus pasar ekspor terbesar ketiga setelah Tiongkok dan Jepang. Daya saing produk ekspor nasional secara otomatis terpukul, sementara pelaku usaha mulai menjerit karena ancaman kerugian dan potensi PHK besar-besaran di sektor padat karya.
Pemerintah Indonesia merespons dengan pendekatan diplomatik yang intens. Dalam pertemuan bilateral terakhir di Washington, delegasi Indonesia menawarkan serangkaian konsesi, mulai dari penurunan tarif untuk produk impor asal AS hingga komitmen pembelian barang-barang manufaktur bernilai tinggi. Langkah ini diharapkan mampu meredakan tensi dan membuka jalan bagi negosiasi ulang yang lebih seimbang. Namun di dalam negeri, pendekatan ini menuai kritik. Banyak pihak menilai pemerintah terlalu lunak dan terkesan "mengalah" demi mempertahankan akses pasar.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, tekanan eksternal tak berhenti di isu tarif. Nilai tukar rupiah yang terus melemah menambah beban psikologis dan struktural pada ekonomi nasional. Bank Indonesia (BI) telah berulang kali menyatakan akan mengambil langkah "tegas dan berani" demi menjaga stabilitas moneter, termasuk intervensi di pasar valuta asing dan penguatan cadangan devisa. Namun ruang kebijakan moneter saat ini sangat terbatas. Suku bunga acuan tak bisa serta-merta dinaikkan mengingat inflasi domestik masih rendah dan konsumsi rumah tangga belum sepenuhnya pulih pasca pandemi.
Dari sisi pelaku pasar, situasi ini menciptakan ketidakpastian. Melemahnya rupiah membuat biaya impor bahan baku melonjak, sementara produk ekspor tetap tidak kompetitif akibat tingginya tarif di luar negeri. Kombinasi tekanan internal dan eksternal ini menjadi semacam “perfect storm” yang perlu dihadapi dengan kehati-hatian dan kebijakan yang terintegrasi.
ADVERTISEMENT
Lebih dari sekadar masalah dagang dan kurs, situasi ini merupakan ujian pertama bagi arah kebijakan ekonomi Presiden Prabowo. Apakah pemerintahannya akan melanjutkan pendekatan pragmatis dan diplomatis seperti era Jokowi, atau memilih jalur yang lebih konfrontatif dan proteksionis demi menjaga kedaulatan ekonomi nasional? Dalam pidato kampanyenya, Presiden Prabowo sempat menekankan pentingnya "berdiri di kaki sendiri" dalam konteks ekonomi. Namun realitas geopolitik dan struktur perekonomian Indonesia yang masih bergantung pada ekspor dan investasi asing membuat pilihan tersebut jauh dari mudah.
Langkah jangka pendek tentu saja dibutuhkan untuk meredam gejolak. Namun lebih dari itu, pemerintah perlu menyusun strategi jangka panjang yang lebih tahan guncangan. Ketergantungan pada satu atau dua pasar ekspor utama membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi eksternal. Diversifikasi pasar, peningkatan nilai tambah produk, hingga industrialisasi berbasis hilirisasi menjadi agenda mendesak yang perlu digenjot secara sistematis.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, pelemahan rupiah seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai peluang untuk mendorong ekspor, pariwisata, dan investasi domestik. Namun peluang ini hanya akan bisa dimanfaatkan bila ada kepastian hukum, iklim usaha yang kondusif, dan sinergi antar lembaga. Tanpa hal tersebut, depresiasi rupiah justru hanya akan memperdalam tekanan pada sektor riil dan memperbesar defisit transaksi berjalan.
Tantangan besar seperti ini juga seharusnya membuka ruang partisipasi publik dalam merumuskan arah kebijakan ekonomi nasional. Pemerintah perlu mendengar masukan dari pelaku usaha, akademisi, dan masyarakat sipil, bukan hanya mengandalkan pendekatan teknokratis dari elite birokrasi. Krisis, seperti kata banyak ekonom, selalu membawa peluang. Tapi peluang hanya akan muncul bila pengelolaan krisis dilakukan secara terbuka, transparan, dan berorientasi pada keberlanjutan.
ADVERTISEMENT
Kebijakan tarif dan pelemahan rupiah hanyalah awal dari tantangan besar yang akan dihadapi Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Dunia sedang bergerak menuju sistem perdagangan yang lebih tertutup, diwarnai rivalitas geopolitik dan ketegangan ekonomi antar negara besar. Dalam kondisi seperti itu, ketahanan ekonomi nasional menjadi harga mati. Dan ketahanan itu hanya bisa dibangun jika fondasi ekonomi kita kuat—berbasis produksi, bukan konsumsi semata; inklusif, bukan eksklusif; dan berdaulat, bukan bergantung.
Tahun 2025 memang baru dimulai, tapi arah kebijakan yang diambil saat ini akan menentukan seberapa jauh Indonesia mampu bertahan dan melaju di tengah badai global.
Febry Kurniawan, Mahasiswa Akuntansi Perpajakan UNPAM