Tren Oversharing Gen Z: antara Keterbukaan dan Bahaya Privasi Digital

Febi Eka Diwanti
Communication student - UPNVJ
Konten dari Pengguna
5 Desember 2023 9:18 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Febi Eka Diwanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bermain sosial media. Foto: photobyphotoboy/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bermain sosial media. Foto: photobyphotoboy/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Generasi Z atau akrab disapa Gen Z selalu berhasil mengambil perhatian besar dari publik di media sosial. Generasi yang lahir dari rentang tahun 1997 hingga 2012 tersebut kembali "menggemparkan" jagat maya setelah menjadi pelaku utama dari tren oversharing yang langsung menjamur di dunia maya.
ADVERTISEMENT
Kehidupan Gen Z yang bersinggungan dengan berkembangnya teknologi digital dan globalisasi membuat hal itu melatarbelakangi tindakan mereka atas tren oversharing tersebut, terutama bila menelisik terhadap isu kesehatan mental yang selalu digaungkan oleh Gen Z kepada seluruh lapisan masyarakat. Sebagai upaya untuk melawan stigma tentang kesehatan mental, tak sedikit dari Gen Z mulai berani mengekspresikan diri mereka di media sosial terkait rasa sakit hati hingga pengalaman trauma yang membekas.
Namun, tanpa disadari keterbukaan terhadap kehidupan pribadi mereka itu bisa menjadi bumerang tersendiri atas bahaya privasi digital yang bisa menghantui kapan saja.
Gen Z dan media sosial merupakan dua hal yang tak bisa dipisahkan. Kehidupan yang saling melekat di antara keduanya itu bak pisau bermata dua yang bisa memengaruhi kehidupan nyata Gen Z. Kebebasan yang ditawarkan media sosial bisa menjadi ajang untuk mempromosikan keterhubungan dan ekspresi diri dalam rangka meningkatkan kepercayaan diri pada Gen Z. Namun, keterbukaan tersebut juga bisa menjadi senjata tajam atas hilangnya privasi dalam kehidupan para Gen Z.
ADVERTISEMENT

Di Balik Oversharing Gen Z: Stigma Kesehatan Mental

Kesehatan mental memang bukanlah topik yang tabu lagi di zaman sekarang. Media sosial merupakan saluran komunikasi yang melakukan penyebaran informasi secara cepat dan luas (Mawarniningsih et al., 2022). Berkat informasi di media sosial, banyak orang mulai aware dengan kesehatan mental pribadi yang selama ini kerapkali dilupakan.
Saat seseorang merasa malu atau terisolasi dengan stigma buruk tentang kesehatan mental yang diyakini oleh masyarakat, mereka memiliki kemungkinan untuk mencari bentuk dukungan atau validasi melalui cara yang tidak sehat, salah satunya oversharing atau terlalu banyak membagikan informasi pribadi kepada orang lain.
Meski berbicara terbuka tentang kesehatan mental merupakan bentuk nyata yang kuat dalam melawan stigma buruk dari masyarakat, oversharing yang berlebihan justru menimbulkan konsekuensi negatif. Hal tersebut dapat memicu munculnya potensi penyalahgunaan informasi pribadi, meningkatnya risiko pelecehan, hingga penyebaran informasi bohong yang dapat membahayakan diri sendiri atau orang lain.
ADVERTISEMENT

Akibat Oversharing: Konsekuensi yang Mungkin Terjadi

Cyber crime (unsplash.com/towfiqu999999)
Tentunya terdapat sejumlah konsekuensi atas tren oversharing yang terus merebak hingga saat ini. Salah satu yang paling terlihat adalah potensi pencurian data pribadi dan penipuan. Dampak ini biasa muncul dalam bentuk penyamaran identitas seseorang untuk mendapatkan keuntungan pribadi, seperti melalui penyebaran fitnah, membentuk persepsi negatif terkait orang yang ditiru, hingga motif penipuan.
Selain itu, FOMO juga bisa menjadi konsekuensi lain dari tindakan oversharing. FOMO atau Fear Of Missing Out mengacu pada perasaan cemas yang dirasakan seseorang ketika melihat orang lain tengah melakukan sesuatu yang berharga. Sebenarnya FOMO juga bisa menjadi salah satu penyebab dari tindakan oversharing. Pengguna media sosial yang termakan FOMO cenderung berusaha untuk mengikuti apa yang dilakukan orang lain sehingga tanpa disadari mereka pun melakukan aksi oversharing.
ADVERTISEMENT
Akibat FOMO, Gen Z akan mulai membandingkan keberhasilan mereka dengan kehidupan orang lain dan selalu merasa kurang ketika berhasil mendapatkan suatu pencapaian. Hal ini justru akan berefek pada kesehatan mental mereka sendiri.

Strategi Melindungi Diri Sendiri

Orang-orang mengobrol (unsplash.com/brookecagle)
Kesadaran akan bahaya kecanduan media sosial menjadi salah satu tembok kokoh yang bisa membatasi Gen Z untuk melakukan oversharing. Perlu adanya pengingat bahwa tidak semua hal dapat diumbar atau dibagikan ke media sosial, atau dalam arti lain, tak semua aktivitas sehari-hari dapat dipertontonkan kepada semua orang.
Dalam hal ini, Gen Z harus bersikap selektif dan hati-hati sebelum mengetik atau mempublikasikan seluruh sudut kehidupan pribadi mereka.
Cara lain yang dapat dilakukan bisa berupa pengalihan fokus pada kegiatan atau hobi baru yang dapat membuat Gen Z lupa akan eksistensi media sosial. Dengan rutin menerapkan hal tersebut, pengkonsumsian media sosial akan berkurang secara perlahan dan membuat Gen Z merasa tidak ketergantungan untuk terus membagikan kehidupan mereka ke media sosial.
ADVERTISEMENT
Meski kehidupan saat ini tak bisa terlepas dari pengaruh media sosial, masyarakat terutama Gen Z diharuskan untuk memiliki prinsip hidup yang kuat dalam menyikapi seluruh tren di media sosial yang akan terus bermunculan.