Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menghadapi Klaim Tiongkok: Dampak Pernyataan Bersama RI dan China
26 November 2024 16:52 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari AZNOF FEFRI AL'AMIN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernyataan bersama antara Indonesia dan Tiongkok yang dikeluarkan pada 9 November 2024, setelah pertemuan antara Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Xi Jinping, telah memicu perdebatan signifikan mengenai kedaulatan Indonesia di Laut Natuna Utara. Dalam deklarasi yang terdiri dari 14 poin tersebut, terdapat poin ke-9 yang menyebutkan kerja sama maritim di wilayah dengan klaim tumpang tindih. Banyak pihak menganggap ini sebagai pengakuan terhadap klaim sepihak Tiongkok atas "garis putus-putus" yang selama ini ditolak oleh Indonesia berdasarkan hukum internasional.
ADVERTISEMENT
Indonesia secara konsisten menegaskan bahwa klaim Tiongkok yang dikenal sebagai "nine-dash line" tidak memiliki dasar hukum dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982. Pengadilan Arbitrase Internasional pada tahun 2016 juga menolak klaim tersebut. Dengan adanya pernyataan bersama ini, muncul kekhawatiran bahwa Indonesia secara tidak langsung mengakui adanya wilayah tumpang tindih yang dapat merugikan posisi kedaulatan Indonesia di Laut Natuna Utara.
Para ahli hukum internasional, seperti Hikmahanto Juwana dan Eddy Pratomo, telah menyampaikan kekhawatiran mereka. Hikmahanto berpendapat bahwa ungkapan "klaim tumpang tindih" dalam pernyataan tersebut perlu penjelasan lebih lanjut untuk mencegah kesalahpahaman mengenai sikap Indonesia terhadap klaim Tiongkok. Ia menekankan bahwa jika klaim tumpang tindih itu merujuk pada “nine-dash line," maka ini bisa dianggap sebagai pengakuan tacit (diam-diam) terhadap klaim tersebut.
ADVERTISEMENT
"Pengakuan klaim sepihak Sepuluh Garis Putus jelas tidak sesuai dengan perundingan perbatasan zona maritim yang selama ini dilakukan oleh Indonesia dimana Indonesia tidak pernah melakukan perundingan maritim dengan China," kata Hikmahanto dalam pernyataannya.
“Hal ini karena dalam peta Indonesia dan dalam Undang-undang Wilayah Negara tidak dikenal Sepuluh Garis Putus yang diklaim secara sepihak oleh China. Pemerintah pun selama ini konsisten untuk tidak mau melakukan perundingan terlebih lagi memunculkan ide joint development dengan China," lanjutnya.
Pernyataan bersama ini berpotensi mengubah hubungan Indonesia dengan negara-negara ASEAN yang terlibat dalam sengketa Laut China Selatan. Jika Indonesia dianggap mengakui klaim Tiongkok, hal ini bisa melemahkan posisi negara-negara ASEAN lainnya yang menolak klaim tersebut, seperti Filipina, Vietnam, dan Malaysia. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu memberikan penjelasan yang jelas dan transparan tentang maksud pernyataan ini agar tidak menimbulkan persepsi buruk di antara negara tetangga.
ADVERTISEMENT
Kementerian Luar Negeri Indonesia telah menyatakan bahwa kerja sama ini tidak diartikan sebagai pengakuan atas klaim "nine-dash line" dan menegaskan bahwa klaim tersebut tidak memiliki dasar hukum internasional menurut UNCLOS 1982. Namun, untuk mencegah persepsi negatif, diperlukan komunikasi yang lebih efektif dan terbuka. Selain itu, terdapat kekhawatiran tentang potensi risiko bagi kedaulatan Indonesia; para ahli hukum internasional memperingatkan bahwa pengakuan terhadap klaim yang tumpang tindih dapat dilihat sebagai kemunduran dalam mempertahankan hak maritim Indonesia di Laut Natuna Utara.
Dengan demikian, menjaga stabilitas regional dan solidaritas dengan negara-negara ASEAN lainnya harus tetap menjadi fokus utama dalam menghadapi tantangan dari klaim sepihak Tiongkok. Langkah-langkah diplomatik harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak mengaburkan posisi kedaulatan Indonesia di kawasan yang strategis ini.