Konten dari Pengguna

Sepotong Kenangan di Tepi Senja

Feiza Ane
Undergraduate Journalist Student at Jakarta State Polytechnic
10 Juni 2024 17:16 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Feiza Ane tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://img.freepik.com/free-photo/affectionate-relationship-father-his-child_23-2150984271.jpg?t=st=1718014058~exp=1718017658~hmac=becc9c890d9ee12864aff2802241b876b95d9677411c57129ac380d221901285&w=1060
zoom-in-whitePerbesar
https://img.freepik.com/free-photo/affectionate-relationship-father-his-child_23-2150984271.jpg?t=st=1718014058~exp=1718017658~hmac=becc9c890d9ee12864aff2802241b876b95d9677411c57129ac380d221901285&w=1060
ADVERTISEMENT
Aku selalu merasa ada bagian dari diriku yang hilang, seperti puzzle yang kehilangan satu keping terakhirnya. Rasa itu sudah mulai tumbuh sejak aku masih kecil, ketika ayah meninggalkan dunia ini untuk selamanya. Saat itu, aku baru berusia satu tahun, ya satu tahun. Aku belum mengerti apa arti dari kehilangan. Aku hanya tahu bahwa orang-orang di sekitarku menangis, dan ada kekosongan besar yang tak bisa kujelaskan.
ADVERTISEMENT
Ayah adalah seorang yang baik hati dan dermawan dalam cerita nene, meski aku hanya memiliki sedikit waktu bersamanya. Nenek selalu bercerita tentang kebaikannya selama ia masih hidup. Setiap sore, setelah pulang bekerja, ia selalu membawa makanan untuk ibu dan mainan untukku. Senyumannya selalu menghangatkan hati, dan suarannya yang selalu lembut ketika berbicara kepada ibu.
Namun, kenangan-kenangan itu cepat berlalu, tidak setitik pun aku mengingat akan kehadirannya sosok ayah kecuali mendengar cerita dari orang-orang terdekatnya. Saat kejadian itu, nene bercerita, ibu menangis terisak di ruang tamu, wajahnya merah dan matanya bengkak. Ibu selalu menggendongku dengan erat, seakan tak ingin melepaskanku. Bagaimana bisa seorang anak berusia satu tahun menyadari bahwa ia baru saja kehilangan salah satu bagian terpenting dalam hidupnya.
ADVERTISEMENT
Waktu berlalu, dan aku tumbuh besar tanpa kehadiran seorang ayah. Ibu berusaha sebaik mungkin mengisi kekosongan itu, namun ada hal-hal yang tak bisa digantikan. Saat teman-temanku selalu menceritakan pengalaman bersama ayah mereka, atau saat mereka selalu ditemani ayahnya Ketika berpergian keluar rumah, aku hanya bisa tersenyum pahit. Aku selalu merindukan sosok ayah di sampingku, seseorang yang bisa membimbingku dan mengajarkanku banyak hal tentang kehidupan.
Setiap kali hari ulang tahun ayah tiba, ibu selalu mengajakku ke makamnya. Di sana, di bawah langit yang cerah atau mendung sekalipun, kami duduk diam di depan nisan sederhana yang terpahat nama ayah. Ibu akan bercerita tentang betapa baik dan penuh cintanya ayah, dan aku hanya bisa membayangkan sosok yang kini hanya hidup dalam kenangan. Rasanya seperti menggapai bayangan, semakin kuat aku mencoba menggenggamnya, semakin cepat ia menghilang.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, waktu juga mengajarkan banyak hal. Perlahan, aku mulai belajar menerima kenyataan bahwa ayah tak akan pernah kembali. Aku belajar bahwa meski ayah tak ada di sini, cintanya tetap hidup dalam diriku. Setiap nasihat ibu yang berasal dari kata-kata ayah, setiap cerita tentang kebaikannya, membuatku merasa bahwa ayah selalu dekat. Kehilangan memang menyakitkan, tapi aku mulai mengerti bahwa cinta yang tulus tak akan pernah benar-benar hilang.
Ketika aku beranjak dewasa, aku merasa perlu berdamai dengan kehilangan ini. Aku mencoba mencari cara untuk merasa lebih dekat dengan ayah, meski ia sudah tiada. Aku mulai menulis surat-surat untuknya, meski aku tahu surat-surat itu tak akan pernah terbaca. Menulis menjadi terapi bagiku, cara untuk menyalurkan rasa rindu yang tak pernah habis. Dalam setiap kata yang kutulis, aku merasa seperti sedang berbicara dengan ayah, mencurahkan segala keluh kesah, mimpi, dan harapan.
ADVERTISEMENT
Satu sore, di usia Sembilan belas tahun, aku memberanikan diri untuk mengunjungi makam ayah sendirian. Matahari mulai terbenam, mewarnai langit dengan semburat oranye dan merah. Aku membawa sepucuk surat yang kutulis semalam sebelumnya. Saat tiba di makam, aku duduk di tanah yang sedikit lembab dan mulai membaca surat itu dengan suara pelan.
“Ayah, ini aku, anakmu yang merindukanmu setiap hari. Banyak hal yang ingin kuceritakan, banyak rasa yang ingin kuungkapkan. Aku selalu bertanya-tanya bagaimana rasanya memiliki ayah di sisiku saat aku tumbuh besar. Aku rindu mendengar suaramu, melihat senyummu, dan ingin merasakan pelukan darimu. Tapi aku tahu, meski tak ada di sini, engkau selalu ada dalam setiap langkahku.
Ayah, aku ingin kau tahu bahwa aku sudah besar sekarang. Aku sudah belajar banyak hal, dan sebagian besar darinya berasal dari cerita-cerita tentangmu. Aku ingin menjadi seseorang yang bisa membuatmu bangga. Aku ingin melanjutkan warisan kebaikan yang kau tinggalkan.
ADVERTISEMENT
Aku tahu, aku harus mengikhlaskanmu. Kehilanganmu adalah bagian dari perjalanan hidupku, bagian dari yang membuatku menjadi seperti sekarang. Meskipun kadang terasa berat, aku mulai menerima bahwa engkau sudah tenang di sana. Aku percaya, di suatu tempat, kita akan bertemu lagi.
Terima kasih, Ayah, untuk setiap kenangan yang kau tinggalkan, untuk setiap cinta yang kau berikan. Aku merindukanmu, dan aku akan selalu merindukanmu. Tapi sekarang, aku mencoba mengikhlaskanmu, agar aku bisa melangkah ke depan dengan lebih ringan.”
Saat aku selesai membaca, air mata menetes tanpa bisa kutahan. Rasanya seperti beban besar yang perlahan terangkat dari hatiku. Aku merasa lebih ringan, lebih damai. Aku tahu, mengikhlaskan bukan berarti melupakan. Mengikhlaskan adalah menerima bahwa cinta tak pernah benar-benar hilang, meski orang yang kita cintai telah tiada.
ADVERTISEMENT
Malam itu, aku pulang dengan hati yang lebih tenang. Aku tahu, perjalanan hidupku masih panjang, dan banyak hal yang harus kupelajari. Tapi kini, aku merasa lebih siap menghadapi semuanya. Ayah mungkin tak ada di sini secara fisik, tapi aku selalu merasakan kehadirannya dalam setiap langkahku. Dalam setiap napas, aku tahu bahwa cintanya selalu ada, membimbingku, menguatkanku.
Kehilangan memang menyakitkan, tapi cinta yang tulus tak pernah benar-benar hilang. Dan dalam cinta itulah, aku menemukan kekuatan untuk terus melangkah, untuk terus hidup dengan penuh harapan dan semangat.