Konten dari Pengguna

Representasi Perempuan dalam Kabinet Merah Putih yang Memprihatinkan

Riska Rahayu Roisiah
Peneliti Surabaya Academia Forum Universitas Muhammadiyah Surabaya
29 Oktober 2024 21:30 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Riska Rahayu Roisiah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa tahun terakhir, kesadaran akan pentingnya representasi perempuan dalam pemerintahan telah meningkat diberbagai belahan dunia. Berdasarkan rilis laporan IPU-UN Women Map of Women in Politics pada 2023 menyatakan bahwa 11,3 persen negara memiliki Kepala Negara perempuan dan 9,8 persen memiliki Kepala Pemerintahan perempuan. Seperti di Albania, Firland, spain, Nicaragua yaitu jumlah menteri kabinet perempuan lebih dari 60 % keterwakilan nya. Artinya hal Ini merupakan peningkatan dibandingkan dengan satu dekade lalu ketika angkanya masing-masing berada di angka 5,3 persen dan 7,3 persen yang menduduki jabatan pembuat keputusan politik di seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
Menurut Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) tahun 2023, ada banyak alasan mengapa partisipasi perempuan dalam politik penting: (1) Perempuan merupakan separuh dari populasi setiap negara dan harus memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam sistem pengambilan keputusan; (2) Negara-negara dengan tingkat partisipasi politik perempuan yang tinggi memiliki risiko perang dan konflik yang lebih rendah serta kemungkinan kekerasan politik yang dilakukan oleh negara yang lebih kecil (lebih sedikit pembunuhan, penghilangan paksa, penyiksaan, dan pemenjaraan politik);(4) Pengalaman hidup memberi perempuan perspektif yang lebih luas dan lebih komprehensif tentang isu gender seperti kekerasan dalam rumah tangga, hak reproduksi, dan upah yang setara; (5) Perempuan dalam posisi kepemimpinan mendobrak stereotip dan mengubah norma sosial serta persepsi tentang pemimpin perempuan.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, di banyak negara, termasuk Indonesia, representasi perempuan dalam kabinet masih tergolong rendah. Presiden Prabowo Subianto mengumumkan 48 nama menteri dan 5 pejabat setingkat menteri yang akan membantu pemerintahannya, namun hanya 5 menteri yang merupakan perempuan, yakni Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Viada Hafid, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Rini Widyantini, Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifatul Choiri Fauzi. Artinya, keterwakilan perempuan dalam kabinet Prabowo-Gibran hanya 13%, sangat jauh dari afirmasi keterwakilan perempuan sebesar 30%. Padahal, dengan memberi kesempatan kepada perempuan untuk berpartisipasi penuh dalam politik, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih adil dan berkelanjutan. Hal ini akan mendatangkan banyak manfaat, seperti tata kelola pemerintahan yang lebih baik, peningkatan stabilitas ekonomi, dan ikatan sosial yang lebih kuat. Mempromosikan kesetaraan gender dalam politik bukan hanya merupakan hal yang benar secara moral, tetapi juga penting untuk menciptakan masa depan yang sejahtera, adil, dan inklusif bagi semua orang
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Gambar Representasi Perempuan dalam Kabinet Merah Putih yang Memprihatinkan (Shutterstock)
Minimnya keterwakilan perempuan di kabinet semakin menguatkan pandangan bahwa politik adalah dunia laki-laki yang maskulin. Padahal, memberikan ruang bagi perempuan untuk menduduki posisi strategis di pemerintahan sangatlah penting. Perempuan memiliki peran untuk mendorong kebijakan yang lebih inklusif dan berkeadilan, dengan merujuk pada pengalaman nyata perempuan dan kelompok rentan lainnya. pada aspek lain, mendorong keterwakilan perempuan berarti menunjukkan komitmen yang kuat terhadap peran kunci perempuan sebagaimana dalam tujuan pembangunan berkelanjutan.
Minimnya keterwakilan ini menimbulkan berbagai tantangan dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang inklusif dan responsif terhadap kebutuhan seluruh lapisan masyarakat. Pertama, keputusan yang dihasilkan tidak inklusif karena tidak mempertimbangkan perspektif dan kebutuhan perempuan, sehingga menghasilkan kebijakan yang tidak efektif dalam menangani isu gender. Kedua, isu gender yang erat kaitannya dengan pengalaman perempuan rentan diabaikan, misalnya kekerasan berbasis gender, perkawinan anak, upah rendah bagi perempuan, dan kesehatan reproduksi tidak mendapat perhatian yang cukup dalam kebijakan publik. Ketiga, minimnya keterwakilan perempuan akan mendorong rendahnya partisipasi perempuan untuk terlibat dalam politik atau pengambil kebijakan. Keempat, minimnya keberagaman dalam pengambilan keputusan, sehingga rentan menghasilkan kebijakan yang diskriminatif terhadap kelompok rentan karena pemikiran yang homogen dan minimnya pengalaman.
ADVERTISEMENT
Apa yang dapat dilakukan untuk mempercepat kesetaraan gender?
Para pemimpin negara memiliki peran kunci dalam menetapkan komposisi kabinet mereka, dan jumlah perempuan yang terlibat menunjukkan pentingnya kesetaraan gender dalam pengambilan keputusan. Praktik terbaik adalah melibatkan perempuan bukan hanya sebagai tindakan simbolis, tetapi mempercayakan mereka dengan portofolio di semua bidang pembuatan kebijakan, termasuk bidang yang secara tradisional dipegang oleh laki-laki. Dengan demikian, perempuan tidak hanya hadir, tetapi juga berpengaruh dalam membentuk kebijakan dan mendorong perubahan untuk kehidupan yang lebih baik bagi perempuan dan laki-laki.