Konten dari Pengguna

Sastra dan Keterbatasan Akses pada Pelaku Difabel

Riska Rahayu Roisiah
Peneliti Surabaya Academia Forum Universitas Muhammadiyah Surabaya
22 Maret 2024 20:11 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Riska Rahayu Roisiah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Difabel
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Dalam era literature yang terus berkembang, transformasi terus dilakukan di berbagai aspek kehidupan termasuk dunia sastra. munculnya platform digital telah mengubah fundamental cara berinteraksi dengan kata-kata, membuka pintu untuk pengalaman membaca dan menulis yang baru dan menarik.
ADVERTISEMENT
Namun, perkembangan yang telah ada belum mampu memfasilitasi semua kelompok untuk mengakses pengetahuan. Sastra, sebagai salah satu sumber pengetahuan, belum dapat diakses secara masif oleh kelompok difabel.
Padahal, jumlah difabel cukup banyak di Indonesia. Hal tersebut dibuktikan berdasarkan survei yang dilakukan UN ESCAP, sebanyak 1,38% penduduk Indonesia adalah difabel, yakni sebesar 3.063.000 jiwa (Irwanto et al., 2010).
Kelompok difabel, sebagaimana manusia biasa juga membutuhkan media untuk berekspresi dan berimajinasi. tidak banyak pelaku sastra (penulis, pegiat, penerbit, dll) melihat kelompok difabel (khususnya tunanetra) sebagai kelompok yang membutuhkan sastra dalam hidupnya. Sastra yang telah “eksklusif” dieksklusifkan kembali. Sastra menjadi sangat terbatas apabila kelompok difabel dimasukkan dalam populasi.
Hal ini merupakan salah satu bentuk diskriminasi yang dialami kelompok difabel. Bagi sosial model disabilitas adalah problem sosial yang berakar pada struktur masyarakat. Seseorang menjadi difabel dikarenakan sistem dan konstruksi masyarakat yang tidak mendukung dan selalu menindas penyandang disabilitas.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, disabilitas adalah terjadi akibat dari produk penindasan, lingkungan yang tidak ramah, infrastruktur yang tidak aksesibel, label dan stigma yang terbentuk dalam masyarakat dan bukan karena perbedaan bentuk tubuh dan sensorik yang dimiliki seseorang. Maka, disabilitas merupakan konstruksi sosial, Mike Oliver menyebutnya sebagai 'kreasi sosial’ (1990: 56).
Kehadiran karya sastra yang dapat dinikmati oleh kelompok difabel memang ada dan tidak dapat dinafikan. Beberapa karya sastra mengangkat kehidupan kelompok difabel dan mempersoalkan diskriminasi yang dihadapi mereka, misalnya Biola Tak Berdawai karya Seno Gumira Ajidarma, Saraswati si Gadis dalam Sunyi Karya A.A. Navis, dan Layang-Layang Putus karya Masharto Al Fathi.
Karya-karya tersebut bermaksud untuk memberi tahu pembaca bahwa kelompok difabel itu ada di sekitar kita. Seperti yang telah dilakukan oleh Indah Darmastuti yang telah mendedikasikan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk menghadirkan sastra yang dapat dinikmati oleh semua kalangan melalui Difalitera seperti buku sastra dalam huruf Braille.
ADVERTISEMENT
Menurutnya buku sastra dalam huruf Braille memang ada, tapi tidak banyak. Selain itu, aplikasi pembaca layar e-book juga memang sudah ada, tapi intonasinya kaku. Karena membaca adalah pengalaman personal, maka cara baca, tempo, intonasi sangat menantang untuk didekati sehingga cerita menjadi lebih bernyawa dan berasa.
berikut penulis mencoba mengungkap permasalahan serius terkait keterbatasan akses pelaku difabel dalam dunia sastra dan bagaimana hal ini mempengaruhi representasi, partisipasi, dan pengalaman mereka dalam menciptakan dan mengkonsumsi karya sastra.
1. Ketidaksetaraan dalam Akses Bacaan
Pelaku difabel seringkali dihadapkan pada tantangan keterbatasan akses terhadap karya sastra. Bagaimana teknologi, format, dan ruang fisik dapat menjadi penghalang, dan bagaimana kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif untuk memastikan setiap suara memiliki peluang yang setara?
ADVERTISEMENT
2. Mewujudkan Representasi yang Autentik
Cerita sastra sering kali menjadi refleksi dari berbagai pengalaman manusia. Namun, bagaimana kita dapat memastikan bahwa kisah-kisah dari komunitas pelaku difabel tidak hanya diwakilkan, tetapi juga diwujudkan dengan keautentikan dan kepekaan yang sesuai?
3. Mendorong Partisipasi Aktif
Pembatasan akses bukan hanya masalah pengkonsumsian karya sastra, tetapi juga keterlibatan aktif dalam penciptaannya. Bagaimana kita dapat menciptakan platform yang memungkinkan para pelaku difabel untuk berpartisipasi secara maksimal dalam dunia kreativitas literer?
4. Teknologi sebagai Pemecah Tantangan atau Pencipta Batasan?
Sementara teknologi telah membawa kemajuan signifikan, bagaimana kita dapat memastikan bahwa inovasi ini tidak menciptakan batasan baru bagi pelaku difabel? Bagaimana teknologi dapat menjadi alat pemecah masalah dalam menciptakan akses yang lebih baik?
ADVERTISEMENT
5. Mengatasi Stigma dan Stereotip dalam Narasi
Banyak karya sastra tradisional masih mewarisi stereotip dan stigma terkait dengan pelaku difabel. Artikel ini akan menjelajahi bagaimana sastra dapat memainkan peran dalam menggeser persepsi dan menciptakan narasi yang lebih inklusif dan bijak.
Melalui pemahaman lebih mendalam tentang keterbatasan akses pada pelaku difabel dalam dunia sastra, kita dapat bersama-sama merancang langkah-langkah yang lebih inklusif untuk masa depan literatur yang lebih berwarna dan memadukan berbagai kelompok.
Karenanya, mewujudkan sastra yang lebih inklusif membutuhkan partisipasi dan dukungan dari berbagai pihak, yang tidak hanya sebatas pada pelaku inti di dunia sastra. Mulai dari psikolog yang mau menjadi telinga bagi teman-teman difabel netra, musisi, pengrajin, guru, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT