Konten dari Pengguna

Melawan Diabetes dengan Membongkar Kebohongan Label Produk Kemasan Makanan

Felice Marvenda Suteja
Mahasiswa Universitas Udayana
16 Oktober 2024 14:06 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Felice Marvenda Suteja tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi label sugar free pada kemasan minuman. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi label sugar free pada kemasan minuman. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Di era kehidupan yang serba instan dan cepat, membentuk pola makan yang sehat sangat dibutuhkan. Saya, keluarga, dan kerabat terdekat telah aktif berupaya mengurangi konsumsi gula dan beralih ke produk makanan serta minuman kemasan berlabel sugar free.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, paman saya menjadi salah satu korban dari produk makanan dalam kemasan yang menganut praktik overclaim tidak sesuai fakta yang dilakukan oleh produsen. Kebohongan perusahaan produsen membuat saya dan keluarga harus berduka atas kepergiannya, karena penyakit diabetes yang dipicu konsumsi produk keripik buah “sugar free”.
Produk makanan ringan dan minuman kemasan melalui proses yang panjang dan penambahan zat kimia tertentu sehingga membuatnya menjadi minim nutrisi dan tinggi kalori. Tingginya asupan kalori dari mengkonsumsi produk kemasan ini pun akan berdampak pada meningkatnya kadar garam, gula, dan lemak dalam tubuh.
Dalam jangka panjang, mengkonsumsi makanan ringan dan minuman kemasan dalam jumlah banyak dan terlalu sering dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan, seperti obesitas, penyakit jantung, diabetes, bahkan depresi.
ADVERTISEMENT
Pada 2021, Indonesia berada di urutan kelima sebagai negara dengan pengidap diabetes terbanyak di dunia. Dilaporkan oleh International Diabetes Federation (IDF), per 2021, ada 19,5 juta penduduk Indonesia berusia 20-79 tahun yang menderita diabetes dan diprediksi akan meningkat menjadi 28,6 juta penderita pada 2045.
Ilustrasi tes gula darah untuk diabetes. Foto: Shutterstock
Merujuk pada jurnal penelitian Susilowati dkk tahun 2019, faktor gaya hidup, terutama di pola makan yang tidak dijaga, menjadi salah satu kunci penyebab tingginya angka penderita diabetes di Indonesia. Pola makan yang kurang sehat menghasilkan ketidakseimbangan antara karbohidrat dan nutrisi lain yang diperlukan oleh tubuh.
Akibatnya, kadar gula dalam tubuh meningkat di luar kapasitas normal pankreas, yang dapat menyebabkan diabetes melitus. Fenomena ini semakin parah dengan adanya pengaruh budaya instan yang menuntut segala hal harus bergerak cepat, termasuk makanan dan minuman.
ADVERTISEMENT
Momentum ini juga menjadi sebuah peluang bagi para produsen makanan dan minuman untuk menghadirkan produk-produk olahan yang instan dengan opsi “lebih sehat”. Produk-produk sehat yang ditawarkan biasanya berupa minuman yoghurt, susu kacang, keripik buah, keripik sayur, granola bar, dan sereal.
Hal ini pun terbukti menarik perhatian hampir 83 persen masyarakat Indonesia yang menurut survei Asia Pacific Healthy Priority, telah beralih ke pola hidup sehat semenjak 2019.
Ketika mendengar klaim produsen tentang produk bebas gula, alami, serta kaya nutrisi dan vitamin, keyakinan dan motivasi untuk membeli muncul. Orang-orang akan percaya bahwa mereka telah memulai langkah kecil dalam hidup sehat.
Padahal, jika diteliti kembali dengan melihat informasi kandungan gizi pada kemasan, maka terpampang jelas kandungan gula yang tidak 0 persen, justru menggunakan pemanis buatan yang relatif tinggi. Overclaim yang sangat bertentangan bukan?
ADVERTISEMENT

Fenomena Overclaim Semakin Mengkhawatirkan

Fenomena overclaim merujuk pada praktik perusahaan yang memberikan klaim atau pernyataan yang berlebihan, tidak akurat, atau tidak sesuai dengan kenyataan terkait produk atau layanannya. Praktik kecurangan inilah yang sering ditemukan pada produk-produk yang dianggap sehat dengan berbagai klaim abal-abal yang tidak dapat dibuktikan.
Menurut jurnal ilmiah yang disusun Ni Komang Ari Mastrini pada 2023, overclaim bertujuan menarik perhatian publik dan meningkatkan penjualan produsen tanpa mempedulikan kepercayaan pelanggan yang menjadi korban kebohongan, serta reputasi perusahaan yang tergerus dalam jangka panjang.
Padahal, menurut Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Nomor 26 Tahun 2022, pencantuman klaim harus memenuhi ketentuan, berupa wajib memberikan informasi yang benar dan tidak menyesatkan, tidak dihubungkan dengan pengobatan atau pencegahan penyakit, dan tidak mendorong pola konsumsi yang salah.
ADVERTISEMENT
Ya, konsumen berhak tahu informasi lengkap yang sesuai dan jelas sebelum sebuah produk dibeli dan dikonsumsi, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4 ayat ke-3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Bahkan, diatur lebih lanjut dalam Pasal 19 Undang-undang Perlindungan Konsumen, ditulis juga tentang tanggung jawab ganti rugi yang harus dipenuhi oleh pelaku bisnis jika mengabaikan hak-hak konsumen. Lebih jauh, peraturan tersebut disempurnakan oleh Pasal 106, 144, dan 145 dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Sanksi-sanksi yang akan dijatuhkan kepada pemilik usaha jika tidak memenuhi tanggung jawab tersebut mencakup sanksi administratif, sanksi pidana, dan sanksi tambahan yang bisa mencakup pencabutan hak tertentu. Akan tetapi, kehadiran regulasi-regulasi saat ini masih tidak cukup untuk menanggulangi kecurangan overclaim melalui tagline dan label yang masih sering mengelabui konsumen, terutama pada produk sugar free yang identik dengan para penderita diabetes.
ADVERTISEMENT
Hal itu diakibatkan oleh adanya unsur kecacatan dalam menjalankan regulasi tersebut, terutama lembaga resmi BPOM, yang idealnya menjadi instansi tepercaya, tapi tidak bekerja secara efektif dalam pemantauan produk yang beredar.
Pihak produsen mengaku telah mencantumkan kandungan gizi serta peringatan atau himbauan kesehatan dari kandungan produknya. Namun, nyatanya informasi penting itu dicetak dengan ukuran yang sangat kecil, serta ditempatkan pada posisi yang tidak terjangkau dalam sekali baca oleh masyarakat.
Di sisi lain, label sugar free dan klaim berlebihan lainnya, selalu dicetak dengan jelas dan besar di bagian depan kemasan. Praktik ini tentu akan mempengaruhi persepsi publik, terutama yang cenderung impulsif dan menggiring opini mereka.
Akhirnya, hal ini menciptakan sugesti dan keyakinan yang keliru terhadap produk tersebut. Oleh karena itu, untuk mengatasi isu overclaim yang merajalela di Indonesia, diperlukan modifikasi regulasi PerBPOM terkait pencantuman informasi nilai gizi pada kemasan produk.
ADVERTISEMENT
BPOM harus berani lebih tegas untuk menguatkan aturan, misalnya dengan mencantumkan label huruf berwarna di setiap kemasan yang diistilahkan dengan Nutri-Score. Tujuannya, untuk memberikan pemahaman dan meningkatkan kewaspadaan konsumen tentang kandungan gula dalam produk yang dikonsumsi, sebagai salah satu tindakan pencegahan terhadap diabetes.
Ilustrasi Nutri-Score pada kemasan makanan. Foto: Shutterstock
Program Nutri-Score mengelompokkan produk makanan dan minuman berdasarkan kadar kandungan gula, menggunakan skala penilaian berbasis warna dari A sampai D. Kategori D menunjukkan tingkat tertinggi dalam kandungan gula, yakni lebih dari 10 gram per setiap 100 mililiter. Kontrasnya, kategori A mengindikasikan produk dengan kandungan paling rendah, berkisar dari 0 hingga 1 gram gula.
Produk dengan kandungan gula kisaran 1 hingga 5 gram termasuk dalam kategori B, sementara kategori C diperuntukkan bagi produk dengan kandungan gula sekitar 5 sampai 10 gram gula. Setiap kategori direpresentasikan dengan warna yang berbeda, dimulai dari hijau tua untuk kategori A, hijau muda untuk kategori B, oranye untuk kategori C, dan merah untuk kategori D.
ADVERTISEMENT
Representasi masing-masing kategori ini mengikuti warna lalu lintas, dimulai dari kategori A dan B yang berwarna hijau menandakan produk dengan kandungan gula yang aman, kategori C yang berwarna oranye diperuntukkan bagi produk dengan kandungan gula yang mengkhawatirkan, dan warna merah untuk kategori D yang menunjukkan produk dengan kandungan gula yang sangat berbahaya.
Komitmen Nutri-Score sebagai upaya preventif peningkatan kasus diabetes tidak berhenti di situ saja. Para produsen produk yang teridentifikasi ke dalam kategori D akan dikenakan pajak yang lebih tinggi dan dibatasi aktivitas promosinya di berbagai platform.
Kedua kebijakan tersebut bertujuan agar pihak produsen turut berpartisipasi dalam menyediakan produk-produk yang tidak memicu peningkatan kasus diabetes. Selain itu, implementasi Nutri-Score juga perlu didukung oleh beberapa pihak.
ADVERTISEMENT
Hasil uji lab produk kemasan wajib diverifikasi oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) secara berkala untuk penentuan nilai Nutri-Score yang dicantumkan pada kemasan produk. BPOM sebagai instansi yang memegang izin peredaran seluruh produk dituntut untuk berperan aktif dan bersikap tegas dalam mendukung implementasi Nutri-Score.
Salah satu caranya, dengan melakukan inspeksi dan merilis daftar produk dari masing-masing kategori nilai secara berkala ke pers. Sehingga para pemilik usaha akan lebih bertanggung jawab terhadap pencantuman Nutri-Score dan kebenaran informasi nilai gizi dari produk yang dihasilkan.
Distributor skala perusahaan dan agen juga turut andil dalam program ini, terutama menginformasikan tentang produk kepada konsumen. Para distributor dituntut untuk membatasi atau tidak sama sekali memasarkan produk-produk dengan Nutri-Score C dan D.
ADVERTISEMENT
Selain itu, dalam meningkatkan kewaspadaan dan kapasitas masyarakat terhadap program ini, diperlukan program edukasi dengan bantuan berbagai pihak. Kolaborasi antara Kementerian Kesehatan dan Kementerian Komunikasi dan Informatika akan menghasilkan iklan di media massa dan media sosial yang dapat diakses semua orang.
Kehadiran kelompok pemberdayaan masyarakat, utamanya Gerakan Ibu PKK, akan memudahkan penyebaran informasi dan pemahaman mekanisme program Nutri-Score untuk semua lapisan masyarakat di berbagai wilayah. Sebagai upaya mengedukasi anak sejak usia dini, tenaga pengajar di instansi pendidikan harus mengedukasi dengan memperkenalkan dan menganjurkan produk-produk dengan Nutri-Score A atau B.
Dapat disimpulkan bahwa penyesuaian Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melalui implementasi program Nutri-Score, dapat menjadi langkah preventif yang bijaksana dalam menangani peningkatan kasus penderita diabetes akibat overclaim produk. Kita sebagai konsumen juga dapat lebih selektif memilih produk yang akan dikonsumsi.
ADVERTISEMENT
Jadi, jika ingin cegah diabetes, mulailah perhatikan label Nutri-Score!