Antara Tindak Pidana Lingkungan Hidup dan Mimpi Keberlanjutan Lingkungan Dunia

Felicia Nakita Christy
Mahasiswa Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
13 Desember 2022 14:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Felicia Nakita Christy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto milik Jeremy Bishop dalam Unsplash.
zoom-in-whitePerbesar
Foto milik Jeremy Bishop dalam Unsplash.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tongkat estafet G20 yang telah digenggam Indonesia menandakan beralihnya tuan rumah penyelenggara G20 dari Italia ke Indonesia. Penyelenggaraan Presidensi G20 menjadi panggung besar kekuatan diplomasi bagi Indonesia, terlebih pada 2023 mendatang Indonesia juga akan menjadi Ketua ASEAN. Ketika Presidensi G20 Indonesia dikukuhkan pada 1 Desember 2021, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo telah menyatakan dengan lugas bahwa G20 akan memprakarsai dengan konkret usaha pembangunan tata kelola yang lebih sehat, lebih adil, dan berkelanjutan berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Salah satu hal pokok yang mendorong kepentingan ini adalah adanya komitmen global untuk melindungi setidaknya 30% daratan dan 30% laut karena adanya prediksi di 2030 akan menjadi masa yang lebih suram.
ADVERTISEMENT
Antara Mimpi Utopis dan Realitas yang Mengkhawatirkan
Sebagai tuan rumah, Indonesia tentunya dihadapkan pada kewajiban untuk menjadi contoh bagi negara lain. Pada kenyataannya, masih terdapat kelalaian dalam penegakan hukum lingkungan hidup di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan temuan Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum KLHK Kalimantan Seksi Wilayah III Pontianak, melalui tim khusus Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC), atas 14 kasus tindak pidana yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan kehutanan serta peredaran tumbuhan dan satwa liar sepanjang 2021.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Indonesia diperhadapkan juga dengan tantangan tindak pidana lingkungan hidup oleh korporasi di tengah kondisi global yang terus mendorong industrialisasi secara masif. Hal ini didasari oleh kebutuhan manusia yang tidak dapat dibatasi secara tegas dan dinamis. Oleh karena itu, tidak salah mengutip perkataan seorang filsuf Yunani, Heraclitus, ”Satu-satunya hal yang konstan di dunia ini adalah perubahan.” Pertumbuhan ini tentu akan ditujukan agar industri dalam negeri lebih berdaya saing dalam skala global. Namun, perlu menjadi perhatian bahwa setiap sebab pasti akan disertai akibat.
Menurut Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita, sedikitnya terdapat tujuh masalah yang timbul karena pertumbuhan industri. Salah satu masalah tersebut adalah limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang hingga kini masih diperdebatkan perihal penanganannya yang dirasa sulit, kendatipun pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan untuk mengatur persoalan ini. Apabila tidak mendapatkan pengolahan dengan baik, maka limbah B3 tersebut akan menimbulkan kerugian bagi manusia dan makhluk hidup lainnya, bahkan kerusakan lingkungan, seperti pencemaran udara, tanah, dan air (segala badan air di muka bumi).
ADVERTISEMENT
Payung Hukum Keberlanjutan Lingkungan di Indonesia
Ungkapan "sedia payung sebelum hujan" mengingatkan pentingnya sebuah antisipasi sebelum suatu masalah menimpa. Sama halnya dengan isu krisis lingkungan yang akan terjadi pada 2023. Meskipun masih berupa prediksi, tetapi penting untuk menganggapnya sebagai ancaman serius yang perlu diwaspadai.
Bertolak dari hal tersebut, sejatinya Indonesia telah membuat payung hukum perihal lingkungan hidup melalui Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) atas perubahan terhadap Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Untuk mewujudkan suatu kondisi lingkungan yang berkelanjutan, maka upaya perlindungan dan pengelolaan tersebut dinyatakan dengan pencegahan dan penanggulangan.
Pencegahan terhadap kemerosotan kualitas lingkungan hidup dan sumber daya alam sangat diperlukan untuk memelihara keberadaannya dan kemampuannya guna mendukung pembangunan berkelanjutan. Sebab, telah menjadi hak warga negara untuk memperoleh lingkungan yang bersih dan sehat sesuai dengan Pasal 28 H UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Aksi mitigasi ini dimulai dari pengkajian awal oleh korporasi mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup (Amdal). Hal ini harus menjadi bahan pertimbangan dalam proses pengambilan keputusan dalam proses eksekusi mengingat akan dampak yang ditimbulkan bagi masyarakat dan lingkungan sekitar, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Secara garis besar, Dokumen Amdal memuat kajian, evaluasi kegiatan di sekitar lokasi, saran dan tanggapan dari masyarakat, prakiraan besaran dampak, evaluasi yang komprehensif mengenai potensi dampak untuk menentukan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup, dan rencana pengelolaan serta pemantauan lingkungan hidup terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan. Maka dari itu, Amdal sangat berguna dalam pembuktian tindak pidana lingkungan hidup oleh korporasi untuk menentukan pihak mana yang patut bertanggung jawab memikul kewajiban, di samping penelusuran terkait izin (lisensi) dan pembagian tugas pekerjaan dalam jabatan yang terdapat pada badan hukum (korporasi) yang bersangkutan.
ADVERTISEMENT
Di samping upaya mitigasi, penindakan terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagai upaya penanggulangan pun harus dilakukan dengan serius. Ketentuan pidana lingkungan hidup secara garis besar diatur oleh Pasal 97-120 UU PPLH dengan beberapa perubahan pasal dan termasuk penghapusan pasal yang diatur dalam UU Cipta Kerja. Pada dasarnya, sistem pemidanaan terkait lingkungan hidup dibuat dengan maksud mempertahankan keberlanjutan eksistensi lingkungan.
Akan tetapi, dalam penerapannya terbukti masih terdapat kekurangan. Lebih lanjut, apabila dicermati masih terdapat kekurangan juga dalam segi substansi dalam UU Ciptaker sehingga permasalahan lingkungan masih belum mampu diakomodir secara optimal.
Mengingat pentingnya peran lingkungan hidup bagi keberlangsungan kehidupan di muka bumi ini, maka perlu adanya penguatan tindak pidana lingkungan hidup. Penjatuhan sanksi harus dipastikan mampu secara efektif melindungi kepentingan kehidupan manusia dengan menyertakan asas kelestarian fungsi lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan sekaligus memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana lingkungan hidup.
ADVERTISEMENT