Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Quo Vadis Energi Nuklir Indonesia
11 April 2018 22:08 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
Tulisan dari Felicia Yuwono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam upaya mencapai tujuan-tujuan pembangunan nasional, ketahanan energi merupakan faktor yang sangat menentukan. Pemerintah Indonesia ingin mencapai kemandirian energi yang memprioritaskan tiga sumber energi untuk ketahanan energi nasional, yaitu energi baru dan terbarukan (EBT) dan dua energi fosil yaitu batubara dan gas bumi.
ADVERTISEMENT
Sebagai prioritas sumber energi nasional, porsi EBT hendak ditingkatkan menjadi 23% di tahun 2025 dan 31% di tahun 2050. Terdapat keraguan bahwa target energi 2025 belum dapat dicapai hanya dengan memanfaatkan EBT dan energi fosil, sehingga dibutuhkan sumber energi lain.
Nuklir telah lama menjadi wacana sebagai salah satu alternatif sumber energi untuk memenuhi kebutuhan nasional. Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sudah direncanakan sejak 1967.
Nuklir juga merupakan visi Presiden Soekarno untuk menjadikan Indonesia sebagai negara besar. Namun, realisasi dan masa depan pemanfaatan sumber energi nuklir di Indonesia masih belum tampak menemui kejelasan.
Apakah aman?
Kata “nuklir” umumnya memunculkan rasa takut, terhadap senjata nuklir maupun radiasi nuklir. Namun perlu dibedakan antara senjata nuklir dan penggunaan nuklir untuk tujuan damai seperti untuk energi.
ADVERTISEMENT
Sebagai negara pihak pada Traktat Nonproliferasi Nuklir, Indonesia memiliki hak berdaulat untuk memanfaatkan nuklir untuk tujuan damai, dan berkomitmen untuk tidak mengembangkan senjata nuklir. Sementara itu, risiko radiasi nuklir dapat dikelola dengan regulasi yang baik.
PLTN termasuk teknologi pembangkit listrik teraman di dunia. Angka kematian per Terawatt Hour (TWH) di PLTN kecil, yakni tidak lebih dari 100 orang dalam 50 tahun sejak PLTN dibangun di dunia, sedangkan kecelakaan batubara, minyak, gas, dan PLTA, mencapai skala jutaan. Kekhawatiran mengenai risiko energi nuklir muncul lebih karena persepsi.
Gas rumah kaca dan perubahan iklim
Pasokan energi Indonesia saat ini sebagian besar bersumber dari batu bara dan gas. Kelemahan energi fosil ini adalah tingginya emisi yang menjadi sumber polusi udara serta sifatnya yang tidak terbarukan.
ADVERTISEMENT
Energi nuklir dipercaya dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dan berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim. Energi nuklir juga mengurangi produksi karbon dioksida hingga dua miliar ton per tahunnya, dengan demikian mendukung pula pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan PBB.
Dari sisi output, energi nuklir dapat menyediakan listrik dalam kapasitas besar untuk memenuhi kebutuhan listrik, baik untuk rumah tangga maupun industri. Peningkatan konsumsi listrik per kapita akan mempercepat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pembangunan sosial.
Penggunaan energi nuklir juga dapat menjadi jembatan untuk transisi dari sumber energi fosil menuju EBT, serta menjadi sumber energi pelengkap apabila energi terbarukan suatu saat menjadi sumber energi utama di Indonesia. Strategi ini telah diterapkan negara-negara seperti Jerman dan Swedia.
ADVERTISEMENT
Negara minyak dunia juga mengembangkan energi nuklir
Penggunaan energi nuklir menjadi solusi perpanjang usia persediaan cadangan minyak, sebagaimana yang dilakukan Uni Arab Emirat (UAE) dan Saudi Arabia. Sejak 2012 UAE telah memulai pembangunan empat unit PLTN berkapasitas 4x1400 MW, dengan Unit 1 segera beroperasi pada 2018.
Saudi Arabia merencanakan pembangunan dua unit PLTN skala besar pada 2021, dan juga akan bekerjasama dengan Korea Selatan untuk pembangunan dan komersialisasi reaktor tipe SMART kapasitas 100 MWe, yang juga dapat digunakan untuk desalinasi.
Bagaimana dengan kepercayaan masyarakat?
Berdasarkan studi BATAN, penerimaan masyarakat Indonesia terhadap PLTN sejak 2010-2015 meningkat terus dari 59,7% tahun 2010 hingga 77,3% tahun 2016. Angka ini sangat tinggi. Sebagai perbandingan, angka penerimaan masyarakat di AS dan Uni Eropa yg sudah memiliki PLTN tidak lebih dari 60%.
ADVERTISEMENT
Siapkah Indonesia?
Saat ini, rasio elektrifikasi di Indonesia baru mencapai 85%, jauh di bawah Singapura (100%), Malaysia, Thailand dan Brunei Darussalam (99%). Di samping itu, fenomena byar pet masih umum terjadi di luar Pulau Jawa dan Bali, dan mencerminkan tidak meratanya pasokan listrik nasional. Hal ini menjadi tantangan tersendiri, karena kebutuhan listrik akan terus meningkat.
Perencanaan pembangunan yang baik membutuhkan perencanaan energi yang baik pula. Penggunaan energi nuklir telah dijabarkan pada dokumen Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2016-2050.
Apabila Indonesia menargetkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, Indonesia harus konsisten dalam perencanaan dan implementasi rencana pembangunan.
Indonesia mengoperasikan tiga reaktor nuklir untuk riset, yang telah diatur oleh perangkat regulasi keselamatan dan keamanan nuklir dengan standar internasional yang tinggi dan diakui oleh International Atomic Energy Agency (IAEA), badan internasional untuk nonproliferasi dan pengembangan teknologi nuklir. Indonesia juga sudah menerima sejumlah misi IAEA, yang berpandangan Bangka Belitung sebagai lokasi aman untuk PLTN.
ADVERTISEMENT
Indonesia mutlak memerlukan peningkatan pasokan energi untuk mencapai ketahanan energi, dengan memperhatikan perlindungan lingkungan hidup. Energi nuklir dapat menyediakan listrik dalam kapasitas besar untuk memenuhi kebutuhan listrik, baik untuk rumah tangga maupun industri. Di tengah masa transisi ke sumber energi terbarukan, energi nuklir menjadi opsi nyata sebagai sumber energi yang bersih, kompetitif, dan efisien.