Antara Batas dan Beras

Felicia Salvina
Seorang mahasiswa S1 jurusan Jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara.
Konten dari Pengguna
5 Februari 2023 13:56 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Felicia Salvina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi PSK Foto: Helmi Afandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi PSK Foto: Helmi Afandi/kumparan
ADVERTISEMENT
Di suatu malam kontemplatif yang dihiasi oleh pikiran naratif, saya merenungkan privilese kehidupan dan peliknya kesenjangan. Saya teringat akan pembicaraan dengan seorang akademisi gereja yang tengah bergumul dengan panggilannya.
ADVERTISEMENT
Geloranya kian membara ketika membicarakan soal pengalamannya menjadi Ketua Bimbingan Belajar yang diperuntukkan para penduduk minus, terutama buah hati para PSK di sekeliling Gang Dolly pada 2013-2016. Dengan begitu, saya melanjutkan percakapan via obrolan WhatsApp.
Saat saya bertanya mengenai keresahan mengedukasi anak Dolly, dengan aksentuasi yang asertif, Dessy Ira Hwati menuturkan melalui perekam suara bahwa karakter mereka tu benar-benar liar, baik secara perkataan maupun perbuatan. Kak Dessy juga menekankan rendahnya kesadaran terhadap pentingnya pendidikan di kalangan anak Dolly.
Sembari menyelami sistematika bimbingan belajar, saya mulai merangkai intuisi untuk memilih seorang anak yang sukses berpijak dari masa lalunya melalui bimbingan belajar. Benak saya merencanakan narasi mengenai dampak bimbingan belajar setelah Kak Dessy menuturkan dengan penuh perasaan.
ADVERTISEMENT
"Harapannya tuh supaya anak-anak ini tidak hanya memahami bahwa belajar itu penting untuk masa depan mereka, tapi mereka juga bertemu dengan orang-orang yang peduli dan mau membantu memperbaiki karakter mereka, serta mereka punya pengalaman bahwa masih ada orang baik di dunia ini," katanya.
Dalam responnya, Kak Dessy memberikan kontak seorang pembina karakter anak Dolly untuk menemukan objek tulisan saya bersamanya.
Dengan penuh harapan, saya melimpahi Bapak Stefanus—seorang relawan senior yang kontaknya diberikan oleh Kak Dessy—dengan sejumlah pertanyaan melalui WhatsApp. Beliau akhirnya mempersilakan saya untuk berjumpa dengan istrinya, Bu Monica di tempat kediamannya. Hal ini ia lakukan lantaran istrinyalah yang terlibat langsung dalam upaya penutupan Gang Dolly.
Pada 25 April 2022, saya menyusuri Jalan Banyu Urip untuk menemui Pak Stefanus menggunakan mobil pribadi. Kaki saya menoel gas dengan penuh ketidakyakinan dan punggung yang tegap nan kaku. Jalannya begitu sempit ketika peta online saya terhenti.
ADVERTISEMENT
Saya resah menghadapi fakta bahwa gang kediamannya terlalu mini untuk bodi sebuah mobil. Akhirnya, saya menepi di jalan yang sempit sebelum memasuki gang tempat tinggalnya. Dengan gestur waspada, saya menyeberang jalan dan melintasi beberapa rumah hingga menemukan tempat tinggal keluarga Stefanus.
Sapaan Keluarga Stefanus begitu hangat. Sang bapak dengan pembawaannya yang tenang dan murah hati, menyuguhkan saya dan seorang teman sari kedelai sembari mendengarkan narasi kehidupan yang menyayat para puan.
Begitu pula dengan rumahnya yang sederhana. Mejanya rapi dengan tumpukan buku yang mencerminkan keprihatinannya soal kesenjangan. Bu Monica memberi impresi memikat sebab beliau menanyakan kepada saya mengenai penekanan riset sebelum memulai sesi wawancara. Ia adalah seorang lulusan SD yang memperjuangkan hak anak dan perempuan di antara para papa. Mengagumkan, bukan?
ADVERTISEMENT
Namun, ceritanya bagai pembunuh berdarah dingin yang tak terhindarkan. Beliau menjelaskan bagaimana Gang Dolly hanyalah salah satu lokalisasi prostitusi elite yang ditutup. Ia mengungkapkan bahwa di sekitar area lokalisasi, kehidupan persundalan pantang meredup. Ditambah lagi, kawasan tersebut diperuntukan rakyat tumpur. Hal ini dianggapnya membahayakan lantaran minim proteksi dan advokasi tetapi penuh adiksi.
Di tengah penatnya benak yang hanya berambisi untuk menyelesaikan tugas, saya bertanya kembali mengenai sosok inspirasional yang mungkin bisa saya kontak sebagai narasi inspirasi. Sayangnya, banyak jalinan silaturahmi yang telah terputus. Mengetahui bahwa idealisme mendapat hambatan, saya kembali menanyakan kisah miris yang dijelaskannya walaupun kepala berkelana mencari topik lain.
Di tengah perbincangan kami yang telah berlalu selama lebih dari satu jam, Bu Monica sampai di saat ia menganalogikan bagaimana masyarakat bawah merupakan representasi gunung es. Pada permukaan, ketentraman dan keramahan berseliweran.
ADVERTISEMENT
Namun, di balik itu, rantai persoalan tak kunjung mendapat titik terang. Beliau memulai dengan kisah seorang mahasiswa yang didesak untuk melayani ayahnya dengan ancaman perceraian dan pencabutan fasilitas, pemerasan lembaga yang dilakukan oleh seorang PSK melalui anaknya yang berpotensi, hingga pelecehan terhadap anak PSK di bawah umur. Saya tercengang dengan kompleksitas masalah yang tak membuka cela bagi penyelesaian.
Dengan inisiatifnya, Bu Monica mengajak saya untuk visitasi terhadap seorang anak yang keluguannya kerap dimanfaatkan oleh "tamu" pelacuran ibunya. Bobroknya moralitas dalam kehidupan sang ibu membuatnya tak cakap dalam mendidik budi pekerti sang anak. Selain itu, sang anak memiliki gangguan kelekatan terhadap ibunya. Untuk mengulik hal ini, saya menjadwalkan pertemuan dengan Bu Monica untuk menemui sang anak semata wayang yang tercekik di balik kasih sayang.
ADVERTISEMENT
“Permisi anak-anak yang sedang bermain gasing,” izin Bu Monica penuh semangat dan senyum kepada buah hatinya saat keluar rumah bersama saya pada 18 Mei 2022.
Saat izin pamitan, saya membungkukkan badan dan tersenyum kepada anak Bu Stefanus. Walau masih kecil, mereka pun dengan santun menatap wajah saya dan tersenyum kembali. Perlakuan yang saya dapatkan begitu berbeda dengan anak PSK yang saya temui. Ia dipenuhi ketakutan.
Mengetahui bahwa saya menggunakan pakaian yang rapi, sang anak dengan kulit sawo matang dan paras yang manis, mata yang sayu, serta pembawaan yang lugu terbeku. Tanpa tahapan yang rumit, air mata secara otomatis mengalir deras dari matanya. Suara isakan yang keras turut mengukuhkan kepiluannya. Sambil meratap, ia memeluk seorang wanita gemuk yang meyakinkannya untuk tenang.
ADVERTISEMENT
Sebelum mendapat penjelasan mengenai responsnya, saya izin merekam suara dan masuk ke tempat tersebut. Sembari melangkah menuju lantai dua, saya disapa oleh sang tuan rumah. Pencahayaan yang minim dan peletakan barang yang semrawut membuat saya segan. Bahkan, ada patung Bunda Maria miring di sebuah akuarium terbengkalai.
Tangga yang teramat sempit menjembatani jalan saya menuju lantai dua. Area tersebut dipenuhi tamu jejaka bak penjaga. Di saat yang bersamaan, sirkulasi keruh dan campuran aroma keringat bertaruh. Suasana ini menajamkan gambaran saya akan garis kemiskinan keras.
Setelah permulaan yang membelalakkan, saya berkenalan dengan pribadi yang hendak saya wawancarai. Wanita tembam yang berada di sebelah sang anak memperkenalkan diri sebagai ibunya. Hal ini cukup mengherankan sebab penampilannya tak beraturan.
ADVERTISEMENT
Tanpa saya tanya, Bu Monica menjelaskan bahwa ia tak sedang hamil. Namun, perutnya membesar lantaran dirusak oleh minuman keras sebagai tuntutan pekerjaan. Sang ibu pun memvalidasi pernyataan Bu Monica tanpa insekuritas.
Mengulik sang gadis manis yang duduk di hadapan saya bukanlah hal mudah. Walaupun cukup berani untuk seorang dengan trauma yang melampaui vitalitasnya, ia tetap risau. Saat saya menanyakan kegiatan hariannya, ia menjawab dengan suara berbisik, mencengkeram erat ibunya, dan menunduk ke bawah.
Namun, ia tetap menyuarakan kedangkalannya dalam baca tulis sebagai alasan bolos sekolah. Sukarnya, sang ibu juga tidak memiliki kesadaran akan pentingnya menyokong pendidikan anak. Tidak pula sang anak bermain di kampung halaman, tempat para bocah beramah-tamah.
ADVERTISEMENT
Dalam perbincangan kami, Bu Monica hanya bisa mengulang ajakan bersekolah "supaya pintar" tanpa penjelasan kognitif yang tajam. Sebab, ia tahu bahwa sang anak itu tidak paham mengenai esensi bersekolah.
Buramnya batasan mengenai kewajiban dalam kehidupannya meresahkan saya. Namun, saya terus mencatat dan menawarkan dukungan emosional. Dengan demikian, tatapan mata sang anak semakin tegas menghadap ke arah saya.
Tubuhnya semakin tenang dalam menghadapi keresahan menjawab pertanyaan saya. Bahkan, sang anak hendak merogoh celengan untuk membelikan kami teh kemasan. Ia juga menunjukkan ketertarikannya terhadap telepon genggam saya. Ia sempat menanyakan harganya dan meminta saya menunjukkan instagram. Bahkan, tabungannya didedikasikan untuk membeli telepon pintar.
Dengan berkembangnya komunikasi kami, ia pun menuturkan pujian pada saya karena menurutnya, saya berparas rupawan, berkulit putih, dan memiliki privilese. Bahkan, ia meminta Bu Monica untuk les pelajaran bersama saya. Saya tersenyum kegirangan saat melihat inisiasi dan keterbukaannya. Di sisi lain, saya prihatin ia mendambakan kecantikan yang terstandardisasi dan privilese yang terkorupsi.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya kerangka berpikir soal pendidikan, pelecehan seksual yang eksplisit kerap terjadi berkat sempitnya pikiran. Walaupun sang bocah belum bisa sepenuhnya membuka diri terhadap saya, Bu Monica menyiratkan bahwa mantan kekasih sang ibu telah melakukan pelecehan terhadap anak tersebut.
Kendati demikian, saat ditanya mengenai kandasnya hubungan mereka, sang ibu lebih berapi-api menceritakan tentang perselingkuhan yang dilakukan oleh mantannya. Ia tidak memprioritaskan pelecehan seksual sebagai alasannya putus. Hal ini menghidupkan substansi dari normalisasi pelecehan seksual.
Sekali lagi saya coba meyakinkan sang anak untuk membuka diri dengan embel-embel makan bersama di tempat ayam goreng cepat saji. Namun, ia tidak mau. Bu Monica telah mencari cela untuk membuatnya teryakini, tetapi tetap gagal. Alasannya begitu sederhana, ia tidak mau meninggalkan ibunya ke tempat yang asing baginya.
ADVERTISEMENT
Trauma menyelubungi dirinya ketika ia dipisahkan dengan ibunya untuk rehabilitasi. Maka dari itu, selama ibunya menerima tamu setiap malam, ia hanya mau dititipkan kepada "ayah" (baca: langganan ibunya) yang dapat dipercaya. Hal ini berkaitan dengan responsnya ketika saya tiba di tempat tinggalnya. Saya membuatnya teringat akan petugas dinas yang hendak memisahkannya dengan sang ibu.
Setelah berbincang lama, langit mulai gelap, tamu mulai berdatangan untuk memperoleh asupan. Karena kegigihan sang anak untuk tidak makan malam bersama, saya meninggalkan tempat dengan berpamitan kepada kedua narasumber saya.
Saat keluar dari kamar, saya melihat para pria telah siap dengan telanjang dada dan puntung rokok sambil menunggu giliran. Saya dan Bu Stefanus pun menaiki motor sebagai sarana perjalanan pulang. Sambil keluar dari gang, saya terngiang akan analogi puncak gunung es ala Bu Stefanus mengenai masyarakat ke bawah.
ADVERTISEMENT
Dengan embusan angin yang mendinginkan, saya mengamati kehidupan para insan di garis kemiskinan. Tak jarang para penjaga warung menyapa dengan senyuman. Namun, Bu Stefanus benar, masih banyak angan terkubur di bawah permukaan.
"Ini waktunya mereka siap-siap," katanya saat mengetahui bahwa suara azan maghrib telah berbunyi.
Hal ini menyiratkan persiapan para PSK kedatangan pelanggan di kala petang. Seraya menyetir, Bu Stefanus mengutarakan bahwa sang anak begitu menginginkan telepon genggam hingga meminjam milik seorang klien. Sebagai gantinya, sang klien menuntut layanan seksual. Saya menanyakan respons traumatis dari sang anak. Namun, Bu Stefanus menegaskan bahwa mereka telah menormalisasi kekerasan seksual yang sentimental.
Batasan kebajikan dalam kehidupan mereka sudah lama ditiadakan. Namun, di tengah ketidak keruannya, setiap warita menawarkan kehangatan yang tak terelakkan. Pertama, "ayahnya" masih memedulikan kelangsungan pendidikan sang anak, terlepas dari statusnya sebagai pelanggan PSK. Ia bahkan meminta sang ibu secara gamblang untuk mendengarkan alur pendidikan anjurannya untuk ditempuh oleh sang anak.
ADVERTISEMENT
Memori saya memutar kembali afeksi penuh repetisi. Walau tak sadar, sang ibu dan anak semata wayangnya paham mereka hanya berdua melawan dunia. Saya teringat saat menanyakan soal karakter masing-masing. Keduanya saling menatap dengan tawa yang tersipu malu. Walaupun pemahaman sang ibu mengenai kewajiban mendidik rendah, ia dapat mengartikulasikan watak dermawan anaknya dengan penuh keniscayaan.
Setelah keluar dari gang sempit bak jalan setapak, saya menyadari bahwa kisah kesenjangan merupakan layangan angan yang berhak terselesaikan. Saya teringat akan rekaman suara Kak Dessy.
"Romo Andre selalu bilang bahwa pengalaman hidup itu tidak akan pernah bisa dilupakan. Kita semua hidup itu pasti akan mengingat pengalaman hidup yang pernah kita lalui. Mereka itu sudah mengalami pengalaman hidup yang terlampau rumit dan menyakitkan," kata Kak Dessy.
ADVERTISEMENT
"Jadi, ketika mereka memiliki pengalaman hidup yang indah dan hangat dan berguna bagi masa depan mereka, itu akan tinggal di hati mereka. Kita berharap Tuhan akan menumbuhkan itu sebagai bekal mereka untuk kehidupan mereka selanjutnya,” pungkasnya.