Ironi Patriarki di Film 'Anak Lanang'

Felicia Salvina
Seorang mahasiswa S1 jurusan Jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara.
Konten dari Pengguna
30 November 2021 20:16 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Felicia Salvina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi oleh pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi oleh pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Film pendek karya Wahyu Agung Prasetyo ini mengisahkan empat anak laki-laki dengan latar belakang keluarga yang berbeda. Menariknya, perbedaan mereka berhasil ditonjolkan melalui percakapan mereka saat pulang sekolah di becak.
ADVERTISEMENT
Saya akan membahas opini pribadi secara filmografi dan makna tersirat yang disampaikan oleh sang pembuat karya. Makna tersebut mencakup peran orang tua pada perkembangan anak dan ironi budaya patriarki.
Kisah “Anak Lanang” bermula saat empat anak bernama Sigit, Sul, dan Lanang bersaudara menggunakan becak untuk pulang dari sekolah. Mereka berempat duduk di bangku SD. Selama perjalanan pulang, mereka berbincang dan bertengkar. Melalui perbincangan tersebut, sang penulis mengutarakan gagasannya. Sigit adalah pribadi yang cerdas dan penyabar. Hal ini berbanding terbalik dengan Lanang dan saudaranya yang suka bertikai. Di sisi lain, karakter Sul suka menonton drama yang terjadi pada kawan sebayanya. Karakter terakhir adalah tukang becak. Ia adalah penengah bagi keempat anak tadi. Film ini berakhir saat empat anak tersebut telah sampai di rumah.
ADVERTISEMENT
Hal pertama yang saya perhatikan adalah bagaimana didikan orang tua berkontribusi terhadap perkembangan anak. Sikap Sigit yang cerdas dan penyabar adalah hasil ajaran ibunya yang menerapkan hal serupa. Pada cerita ini, Sigit adalah orang pertama yang sampai di rumah. Visualisasi adegan ini juga menunjukkan bahwa anak-anak lain iri dengan kebaikan orang tua Sigit. Selain itu, pada saat membicarakan Hari Ibu di becak, Sul mengaku malas dengan ibunya yang hobi nonton sinetron. Berikutnya, ia juga mengatakan bahwa ibunya kerap kali bertindak reaktif saat menonton sinetron. Saat beralih ke topik lain, Lanang dan saudaranya bertengkar. Mengetahui hal tersebut, Sul berkata bahwa ia hendak merekam pertengkaran Lanang. Wacana ini ia utarakan supaya ia bisa terkenal di YouTube. Sul tampak menikmati pertengkaran Lanang dan saudaranya. Jika menilik dari penjelasan Sul soal ibunya, kegemaran Sul dalam melihat drama berasal dari ibunya. Di akhir cerita, Lanang dan saudaranya sampai ke rumah. Mereka berebut memberi salam kepada ayahnya. Hal ini mereka lakukan untuk mendapat perhatian ayahnya yang sibuk meladeni burung mahal. Untuk meredakan pertengkaran kedua anaknya, sang ayah langsung memanggil ibu mereka dengan sebutan, “Mah, Bu,” Hal ini menunjukkan bahwa ia beristri dua dan pilih kasih. Maka dari itu, tidak heran jika kedua anaknya sering bertengkar. Selain itu, cara bicara ibu Lanang tergolong cukup kasar, jadi tidak heran jika Lanang juga memiliki sifat yang serupa.
ADVERTISEMENT
Menurut saya, si penulis sangatlah berambisi untuk menunjukkan bagaimana karakter anak pria bertumbuh sesuai dengan karakter ibunya. Secara tidak langsung, hal ini mengindikasikan ironi pada budaya patriarki di Indonesia. Seorang perempuan tidak pernah dituntut untuk menjadi pribadi yang terdidik, padahal karakter anak pria sangatlah bergantung pada didikan ibunya.
Secara filmografi, hal pertama yang saya kagumi adalah ide pengambilan gambar one take yang begitu mulus. Hal ini menjadi titik pusat keistimewaan karena medan visualnya cukup sulit karena blocking harus diatur sedemikian rupa karena keberdaan becak.
Berikutnya, kesederhanaan dialog pada film ini juga patut diberi bintang lima. Bahkan, sang pencipta mengangkat isu poligami tanpa perdebatan antar istri. Cerdasnya, sang sutradara menggambarkan anak sebagai cerminan dari ibunya. Hal ini memperkental visi ironi patriarki yang berusaha ditampilkan. Pesan yang kuat dan realistis tersirat dengan jelas melalui dialognya.
ADVERTISEMENT
Akting para bocah yang natural berhasil mendukung sisi realistis film ini. Mereka terlihat seperti bocah normal yang sedang menjalani keseharian hidupnya.
Secara keseluruhan, film ini layak menjadi referensi menonton Anda karena pesannya yang kuat dan aspek sinematiknya berhasil berkolaborasi untuk menciptakan tontonan yang kontemplatif.