news-card-video
14 Ramadhan 1446 HJumat, 14 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Moral Dan Hatinurani Media Di Ujung Tanduk

Feliks Rolandus
Mahasiswa Jurnalistik Ilmu Komunikasi Universitas Andalas
27 Januari 2025 16:58 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Feliks Rolandus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar : Penyiar Radio sumber : Dock. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Gambar : Penyiar Radio sumber : Dock. Pribadi
ADVERTISEMENT
Keberadaan media tentu tidak terlepas dari sejarahnya yang panjang, diawali dengan munculnya Penny Pers ditahun 1830. Pers ini sendiri merupakan koran harian yang dijual dengan begitu murah, ditujukan kepada masyarakat luas yang juga menggantungkan sumber pendanaan pada pendapatan iklan. Terbitnya koran ini juga mendasari penerbitan media-media lainya, seperti di tahun 1833 muncul juga koran The Sun. Dari sinilah pers kemudian mulai menjadi bagian terpenting dalam sistem sosial yang berkaitan dengan ranah kehidupan seperti politik, budaya, hukum, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Begitu juga di Indonesia pers tidak serta merta ada tanpa adanya pergolakan dan penolakan. Dalam sejarahnya, pers hadir dengan banyak perjuangan. Namun ada sedikit perbedaan pada pers di era ini. Jika kita telisik kembali, keberadaan pers di beberapa tahun silam, dizaman pers yang dibredel dan ditarik haknya oleh pemerintah, pers berjuang dengan gigih dan perkasa. Namun dizaman ini terdapat sedikit ketimpangan yang terjadi. Pemberitan di media media sekarang seperti tidak lagi pada jalan nya, media sudah tercoreng namanya, eveknya masyarakat tidak lagi menomor satukan media sebagai acuan dalam kehidupan. Begitu juga pers yang sedikit kehilangan pamornya sebagai kontrol sosial.
Kondisi ini tentu saja erat kaitanya dengan etika, moralitas, dan hati nurani pers. Tanpa etika, pers tidaklah bisa berjalan semestinya. Etika pers diatur dalam kode etik jurnalistik yang mengatur tentang keberlangsungan pers, karena jurnalis memiliki tugas dan peranan penting dengan selalu mencari kebenaran dan memberikan fakta serta isu secara komprehensif dan berimbang. Begitu juga dengan keberadaan moralitas media, Moralitas tidak hanya berkaitan dengan benar atau salahnya suatu tindakan, namun bisa memiliki makna yang begitu luas. Moralitas juga dapat di kaitkan dengan tindakan yang sopan dan santun serta tindakan yang ber-etiket atau sesuai adat istiadat yang ada terhadap sebuah pemberitaan oleh media.
ADVERTISEMENT
Perkembangan dunia yang pesat juga memunculkan persaingan media yang ketat, memang persaingan disatu sisi memiliki dapak yang positif, yakni diatara persaingan itu akan memunculkan pemberitaan yang lebih berkualitas. Namun di sisi lain persaingan menimbulkan kerja yang kotor. Dalam sejarahnya kompetisi media melahirkan Jurnalisme Kuning atau sering disebut Yellow Journalism. Praktek jurnalisme ini diawali oleh William Randolph Hearts pada akhir abad ke 19 M. Gaya jurnalisme ini menekankan pada foto sensasional dan cerita yang dipilih, headlines yang besar dan memberi penekanan pada human interest dan personality. Gaya semacam ini banyak kita temui juga dalam media-media indonesia hari ini. Media mulai tidak independen, mengarah kepada satu pihak atau memberatkan satu partai politik apalagi ketika masa pemilu dan hal ini sudah menjadi rahasia publik. Masyarakat sudah mengetahui kondisi media, sehingga mereka ragu dan luntur kepercayaan nya terhadap pemberitaan.
ADVERTISEMENT
Keberadaan pers indonesia sejak bangkitnya di tahun 1998 pasca reformasi, seolah terjebak dalam persaingan memperebutkan pasar konsumen. Persaingan ini menyebabkan cendrungnya media menganut jurnalisme kuning. Contoh nyata dapat kita lihat dalam dunia penyiaran televisi, infotainment misalnya sebagai model nyata untuk melihat contoh adanya jurnalisme kuning dalam penyiaran televisi. Begitu juga dalam media cetak dan media online, pemberitaan dikemas dengan gaya bahasa yang hiperbolis dan mengangkat peristiwa dengan bombastis, tanpa adanya kekawatiran akan evek yang terjadi selanjutnya. media seolah menawarkan kemapuannya dapat memberitakan sebuah peristwa yang dilihat dari segala sisi. Bad News Is Good News seolah menjadi acuan utama, seakan penderitaan orang menjadi dayatarik publik, tanpa melihat tekanan yang dirasakan oleh korban. Hinggaa kita pada akhirnya sama sama takut untuk berhadapan dengan media. Media bukan lagi menjadi tameng masyarakat, karena lebih mengutamakan keunggulan akibat persaingan. Dan pada akhirnya menelantarka target utamnya yakni melindungi masyarakat dan mengawasi pemerintah
ADVERTISEMENT