Pengaruh Regulasi Omnibus Law Cipta Kerja terhadap Pekerja Kontrak

Felix Pratama
Mahasiswa International Business Law (Hukum) dari Universitas Prasetiya Mulya
Konten dari Pengguna
7 Agustus 2021 8:09 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Felix Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Massa dari BEM SI membentangkan spanduk saat berunjuk rasa menolak Omnibus Law di kawasan Patung Kuda, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Jumat (16/10) Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Massa dari BEM SI membentangkan spanduk saat berunjuk rasa menolak Omnibus Law di kawasan Patung Kuda, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Jumat (16/10) Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Senin tanggal 5 Oktober 2020 lalu, RUU Omnibus Law Cipta Kerja resmi disahkan menjadi Undang-Undang oleh DPR RI. Pengesahan Omnibus Law ini mendapat protes keras dari berbagai pihak. Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja ini dinilai mampu merugikan rakyat Indonesia, terutama untuk para pekerja kontrak/buruh, yang mengabaikan HAM, anti-lingkungan hidup, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Lebih buruk lagi, bahkan ada beberapa lembaga dan aktivis yang sempat mengeluarkan Mosi Tidak Percaya kepada Pemerintah Indonesia dan DPR RI setelah Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja disahkan.
Pro kontra Omnibus Law Cipta Kerja ini sangat hangat untuk diseruput. Macam kopi pahit yang perlu kepekaan rasa untuk mendapatkan rasa manisnya. Nah, salah satu poin yang menjadi fokus saya dan mendapatkan banyak kontroversi adalah tentang klaster ketenagakerjaan. Adakah rasa manis dibalik kontroversi ini?
Saya mengamati, dengan diciptakannya undang-undang Omnibus Law ini maka nasib para pekerja kontrak/buruh sangat terkena lumpurnya. Seperti yang dikatakan oleh Hadi Subhan seorang pengamat ketenagakerjaan, adanya undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja ini membuat pekerja/buruh menjadi pekerja kontrak seumur hidup. Masih ingat lumpur lapindo? Setelah mereka masuk ke kubangan lumpur, jangan harap bisa keluar. Apakah regulasi ini akan semengerikan itu?
ADVERTISEMENT

Pekerja Terancam Tidak Mendapatkan Pesangon

Dengan berbagai sumber yang saya dapatkan, ternyata UU Omnibus Law Cipta Kerja telah menghapus setidaknya 5 pasal yang berkaitan dengan pemberian pesangon. Akibatnya, para pekerja terancam tidak mendapatkan pesangon ketika ingin mengundurkan diri, atau mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), bahkan meninggal dunia. Adapun beberapa pasal yang dihapus adalah.
Pertama, pasal 81 poin 51 UU Cipta Kerja menghapus ketentuan Pasal 162 UU Ketenagakerjaan yang berisi tentang aturan penggantian uang pesangon untuk para pekerja yang mengundurkan diri. Kedua, pasal 81 poin 52 UU Cipta Kerja menghapus pasal 163 di UU Ketenagakerjaan yang berhubungan dengan pemberian uang pesangon apabila terjadi PHK yang dikarenakan perubahan status, peleburan, penggabungan, atau perubahan kepemilikan perusahaan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, pasal 81 poin 53 UU Cipta Kerja menghapus pasal 164 UU Ketenagakerjaan yang mengatur tentang pemberian uang pesangon bila terjadi PHK yang diakibatkan oleh perusahaan yang mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 tahun atau keadaan yang memaksa.
Keempat, pasal 81 poin 54 UU Cipta Kerja menghapus pasal 165 pada UU Ketenagakerjaan yang berhubungan dengan pemberian uang pesangon jika terjadi PHK yang disebabkan perusahaan pailit. Kelima, pasal 81 poin 55 UU Cipta Kerja menghapus pasal 166 UU Ketenagakerjaan tentang pemberian pesangon kepada ahli waris jika pekerja atau buruh meninggal dunia.
Jika saya perhatikan dari kelima pasal tersebut yang sudah dihapus, itu artinya para pekerja kontrak/buruh tidak akan mendapat pesangon karena bukan pekerja tetap. Hal ini tentunya sangat merugikan pihak pekerja dan menguntungkan bagi pihak perusahaan. Akal – akalan kapitalis?
ADVERTISEMENT

Batasan Maksimum 3 Tahun untuk Pekerja Kontrak Dihapus

Selain para pekerja kontrak/buruh tidak akan mendapat pesangon, mereka juga terancam tidak bisa mendapatkan perpanjangan kontrak maksimal selama 3 tahun seperti dahulu lagi. Pasalnya, pemerintah mengubah dan menghapus sejumlah pasal yang berkaitan dengan ketentuan PKWT (Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu) melalui UU Cipta Kerja ini.
UU Cipta Kerja menghapus pasal yang berisi tentang batasan perpanjangan maksimal 3 tahun. Jadi, jika pasal tersebut sudah tidak ada, para pekerja kontrak bisa saja menjadi pekerja kontrak seumur hidupnya. Pemerintah hanya mencantumkan bahwa pekerjaan pekerja kontrak selesai didasari oleh perjanjian kontrak. Itu artinya, lama masa kontrak bergantung dari kesepakatan si pemberi kerja dan pekerja kontrak atau buruh.
ADVERTISEMENT
Kalau kita melihat ke belakang, dahulu para pekerja kontrak mendapatkan perpanjangan 1 tahun dan perpanjangan 2 tahun yang ditotal menjadi 5 tahun. Sehingga mereka bisa mendapat kesempatan menjadi pekerja tetap untuk di tahun berikutnya. Namun, sayangnya peraturan itu sudah tidak berlaku lagi, yang artinya mereka bisa saja sampai pensiun (60 tahun) masih berstatus kontrak. Miris betul.
Lalu, bagaimana dengan nasib mereka? Hal inilah yang membuat saya sedih, sudah berstatus kontrak seumur hidup, ditambah lagi ketika akan keluar dari perusahaan malah tidak dapat pesangon.
Ini masih hanya sebagian dampak yang ada dari undang-undang Omnibus Law. Jika dilihat dari kedua dampak ini saja, kemungkinan pengaruh lainnya untuk para pekerja kontrak/buruh juga berdampak buruk.
ADVERTISEMENT

Jam Lembur Ditambah Sedangkan Cuti Hilang

Kita beralih ke dampak berikutnya yang membuat saya berpikir apakah manusia buruh Indonesia dipandang sebagai robot? Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja telah mengubah pasal UU 78 UU Ketenagakerjaan tentang waktu kerja lembur menjadi pada Pasal 81 poin 22.
Dulu yang saya ketahui, di dalam UU Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa waktu kerja lembur hanya boleh dilakukan paling banyak 3 jam dalam sehari dan 14 jam dalam seminggu.
Namun, dengan perubahan yang terjadi di dalam UU Cipta Kerja, waktu lembur bertambah menjadi paling lama 4 jam dalam sehari dan 18 jam dalam seminggu. Selain itu, pada Pasal 81 poin 79 juga menghapus tentang ketentuan cuti panjang yaitu 1 bulan pada tahun ke-7 dan 1 bulan pada tahun ke-8.
ADVERTISEMENT
Padahal, awalnya di dalam UU Ketenagakerjaan ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 79 ayat 4 huruf d. Namun, sekarang ketentuan cuti tersebut hilang untuk para pekerja.
Jika saya perhatikan isi dari pasal yang ada di dalam UU Cipta Kerja tersebut, itu artinya sama saja membuat para pekerja kontrak/buruh semakin tertekan dengan adanya penambahan jam lembur. Terlebih lagi adanya penghapusan cuti, itu artinya pemerintah atau perusahaan tidak memberikan kesejahteraan bagi para pekerja kontrak/buruh, padahal mereka sama seperti pekerja tetap lainnya yang memberikan kontribusi untuk perusahaan. Ckckck, mari mengelus dada.

Tidak Ada Lagi UMK

Upah Minimum Kabupaten (UMK) dan upah minimum yang berdasarkan pada wilayah provinsi atau kota/kabupaten telah dihapus dari UU Ketenagakerjaan. Saat ini UU Cipta Kerja sudah tidak mengaturnya. Namun, pemerintah membuat gantinya yaitu gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu berdasarkan kondisi pertumbuhan ekonomi daerah dan inflasi pada kabupaten/kota tersebut.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan pasal tersebut, saya terkagum-kagum sinis saat mengetahui bahwa pekerja kontrak/buruh bisa saja dibayar murah oleh perusahaan. Mungkin untuk daerah DKI Jakarta tidak terlalu masalah karena tidak ada kabupaten/kota, namun bagaimana dengan daerah di luar DKI Jakarta?
Itu artinya perusahaan bisa saja memberikan gaji atau upah yang tidak seharusnya. Hal ini tentunya sangat membebankan para pekerja kontrak/buruh, sedangkan perusahaan hanya seenaknya saja memberikan upah kepada mereka.
Meskipun disebutkan sebagai gantinya pemberian upah kepada pekerja berdasarkan syarat tertentu seperti kondisi pertumbuhan ekonomi daerah dan lain-lain, hal itu tidak menutup kemungkinan untuk perusahaan atau tempat kerja memberikan upah yang tidak sesuai dengan apa yang dikerjakan oleh mereka.
Ketidakjelasan ini sangat mungkin dimanfaatkan oknum-oknum pengunyah permen karet. Hukum bisa ditarik sana sini persis seperti permen karet.
ADVERTISEMENT

PHK Tanpa Ada Surat Peringatan

Pengaruh lainnya dengan adanya Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja ini adalah dapat bertambahnya alasan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) yang tertuang di dalam pasal 154A, sehingga para pekerja kontrak/buruk dapat dengan mudah di PHK. Misalnya, perusahan ini melakukan efisiensi, maka bisa saja mereka langsung memberikan PHK tanpa adanya surat peringatan 1,2 ataupun 3.
Bahkan, jika pekerja melakukan pelanggaran, perusahaan bisa saja langsung memberikan SP 3. Padahal UU Ketenagakerjaan sebelumnya memberlakukan SP 1, SP 2, dan jika pelanggaran terus berulang barulah diberi SP 3. Jika begini, itu artinya kehidupan pada pekerja sangat-sangat tidak sejahtera dan tidak terlindungi.
Setelah saya perhatikan dari beberapa pengaruh atau dampak dari adanya regulasi undang undang Omnibus Law ini, di mana rasa manis dari kopi pahit ini? Sulit sekali melihat adanya kesejahteraan yang bisa didapatkan oleh para pekerja kontrak/buruh, malah mereka lebih mendapatkan tekanan dan kerugian, baik rugi fisik maupun waktu.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, tidak heran kemarin saat undang undang ini diumumkan, banyak pihak-pihak yang tidak setuju. Namun, apadaya pemerintah tetap mengesahkan undang-undang Omnibus Law tersebut.
Dibuat Oleh: Felix Pratama Tjipto (International Business Law-Universitas Prasetiya Mulya)