Siapa yang Dimuliakan Penguasa?

Felix Siauw
penulis, pengemban dakwah, bersama yang menginginkan tegaknya syariah-khilafah, hamba yang sangat berharap diampuni Allah di hari pembalasan
Konten dari Pengguna
2 Juni 2017 6:44 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Felix Siauw tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ayah dan anak (Foto: Unsplash)
Menjadi kepala keluarga ibarat memimpin sebuah ekspedisi, dan hal paling utama bagi pemimpin adalah memberikan gambaran jelas tentang perjalanan itu. Mengapa kita berjalan, ke mana arahnya, bagaimana caranya, hanya sebagian kecil dari dasar yang harus diketahui oleh tiap anggota perjalanan, agar mencapai tujuan.
ADVERTISEMENT
Keluarga saya pun begitu. Sejak awal kita coba tanamkan bahwa arah keluarga ini adalah ridha Allah, hingga semua distandarkan dari situ, semua dievaluasi dari nilai itu. Maka, saat saya tahu bahwa nilai matematika anak saya menurun, saya tidak begitu peduli. Yang saya tanyakan justru, "Bagaimana shalatnya? Bacaan Al-Qur'annya?"
Bukan berarti matematika tidak penting, hanya masih banyak waktu untuk mengajarinya hal itu, sebab bagi saya shalat dan bacaan Al-Qur'annya lebih penting. Begitu pula saya biasa saja ketika mendengar anak-anak saya termasuk yang terbaik di kelasnya, tapi saya sangat bahagia saat mereka mampu menambah hafalannya.
Saya menegaskan hadiah tersedia bagi mereka yang mampu membuktikan perhatiannya pada shalat dan Al-Qur'an agar mereka mencintai keduanya, mementingkannya.
ADVERTISEMENT
Itu kepala keluarga. Sama seperti kepala negara, apa yang penting baginya bisa terlihat dari siapa yang dihargainya, siapa yang diberi hadiah olehnya, yang diundangnya.
Di masa Sultan Muhammad Al-Fatih, yang diundang oleh penguasa adalah para ulama, ahli-sastra, dan ilmuwan, untuk dimintai pendapat dan kemudian dihadiahi segala hal. Sejarah pun memberitahu kita, bahwa dulu yang dianggap keren oleh penguasa adalah para jenius dan faqih dalam agama, Imam Syafi'i atau Imam Bukhari misalnya
Berbeda dengan saat ini, siapa yang mampu mewacanakan tentang pluralisme, relativisme agama, sinkretisme, liberal, itu yang diundang dan dicitrakan oleh penguasa. Apa tujuannya? Ya memberi sebuah arahan, bahwa di masa depan perlu lebih banyak orang semisal itu, yang muda dan mewacanakan tentang de-Islamisasi.
ADVERTISEMENT
Dari situ kita tahu, ke mana arah penguasa kita hari-hari ini. Dari siapa yang diberi penghargaan, siapa yang diapresiasi, dan yang jelas hari-hari ini bukan pada ulama.
Terlepas urusan plagiarisme, kedepan kita akan disuguhkan hal-hal model begini, pencitraan positif bagi hal-hal yang tak islami, seolah undangan bagi kaum muda agar menirunya. Padahal sebenarnya banyak sekali yang lebih layak diapresiasi, ada yang hafidz Al-Qur'an walau tuna netra, ada anak-anak yang hafal hadits ratusan dan sebagainya.
Tapi tentu saja, mereka yang faqih dalam agama hanya dihargai oleh penguasa yang faqih juga, sementara yang mementingkan pencitraan, juga akan tertarik pada hal yang sama.
Tapi, bagi mereka yang Allah adalah tujuannya, anak berbakat adalah yang faqih dalam agama, dan itulah yang paling penting bagi kita, dan itu yang kita siapkan untuk masa depan.
ADVERTISEMENT