Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Mengenal Garis Putus-putus pada Peta Tiongkok untuk Laut China Selatan
2 Desember 2019 8:50 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari F Zamzari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Begitu mendengar Sengketa Laut China Selatan, kebanyakan orang pasti akan berpandangan masalah ruwet, tidak jelas, kompleks, konflik yang tidak kunjung selesai, waspada perairan Indonesia, dan lain sebagainya. Kali ini penulis ingin mengajak pembaca untuk sedikit mengenal garis putus-putus pada peta Tiongkok. Jadi kita tidak akan bahas legalitas, politik, kepemilikan, tumpang tindih klaim, klaim kontroversial, siapa benar atau salah, atau pun ruwetnya sengketa. Namun penulis akan mengulas apa yang bisa kita ketahui dari garis putus-putus pada Peta Tiongkok untuk Laut China Selatan.
ADVERTISEMENT
Peta Tiongkok ini memang misterius, karena tidak ada kejelasan dasar hukum, metode penarikan garis, status atau pun zona-zona maritim yang berada di dalamnya. Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sendiri tidak memberikan penjelasan yang gamblang atas makna dari penggunaan garis dimaksud. Karena itulah akhirnya negara-negara lain hanya bisa mengira dan bertanya-tanya atas makna dari garis putus-putus ini.
Peta ini menjadi kontroversial setelah disampaikan oleh RRT kepada United Nation Secretary General pada tanggal 7 Mei 2009 melalui Nota Verbal No. CML/17/2009 dan No. CML/18/2009 . Kedua Nota Verbal tersebut merupakan tanggapan keberatan RRT terhadap submisi yang diajukan bersama oleh Malaysia dan Vietnam, dan juga submisi Vietnam kepada Commission on the Limit of Continental Shelf terkait batas landas kontinen melebihi 200 nm. Nota Verbal menyertakan narasi yang menyatakan RRT memiliki kedaulatan tidak terbantahkan (undisputed sovereignty) atas pulau-pulau di Laut China Selatan dan perairan sekitarnya, dan menikmati hak berdaulat serta yurisdiksi atas perairan dan dasar laut. Dalam peta yang dilampirkan terdapat sembilan garis putus-putus, karena itulah peta ini sering kali dirujuk sebagai nine dash line.
Seperti terlihat pada peta di atas, pada kolom legend (kiri bawah yang ditandai kotak warna merah oleh penulis), tampak penggunaan simbol garis menyambung untuk menujukkan batas darat dan garis putus-putus untuk batas laut, dengan pinyin 未定 (Weiding) yang artinya garis batas negara yang belum terselesaikan, dan 国界 (Guojie) sebagai garis batas negara. Terkait dengan lingkup batas maritim tidak terdapat deskripsi lebih lanjut atas zona-zona maritim apa yang tercakup di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Riset gabungan dari akademisi Tiongkok yang dimuat China Science Bulletin, Science China Press pada bulan Maret 2018, dengan artikel berjudul A newly-discovered historical map using both national boundary and administrative line to represent the U-boundary in the South China Sea , memberikan pandangan yang sedikit membantu dalam memahami arti garis ini. Dalam artikel tersebut, para peneliti mencermati penggunaan garis tersambung dalam peta RRT tahun 1951 yang terdapat pada kompilasi peta terbitan SDX Joint Publishing Company.
Garis tersambung diartikan sebagai garis batas wilayah laut teritorial, sehingga garis tersebut merupakan perpanjangan dari batas wilayah darat ke arah wilayah laut. Penggunaan garis menyambung ini digunakan pada peta-peta RRT keluaran tahun 1912, 1927, dan 1936. Selanjutnya setelah tahun 1947 kebanyakan peta RRT menggunakan garis putus-putus dalam memetakan garis batas maritim. Penggunaan garis putus-putus digunakan untuk menggambarkan batas maritim dikarenakan bentuk laut yang berair (fluktuasi), dan perlu mengindikasikan lintas damai bagi kapal-kapal asing yang melintas.
ADVERTISEMENT
Lantas menurut RRT batas maritim atau zona maritim apa saja yang tercakup dalam garis ini? Untuk mengetahui lebih lanjut mari kita merujuk pada Statement of the Government of the People's Republic of China on China's Territorial Sovereignty and Maritime Rights and Interests in the South China Sea (2016/07/12). Dari dokumen tersebut dikatakan bahwa berdasarkan Nanhai Zhudao atau yang disebut sebagai pulau-pulau dan fitur di Laut China Selatan (terdiri dari Dongsha, Xisha, Zhongsha, dan Nansha), Tiongkok memiliki internal waters, territorial sea, contiguous zone, exclusive economic zone, dan continental shelf. Sementara untuk keseluruhan South China Sea terdapat historic rights RRT.
Argumen ini didasarkan pada klaim historic rights (klaim berdasar sejarah, penemuan dan penguasaan) dan outlying archipelagos of a continental State (penerapan rezim negara kepulauan oleh negara kontinental), hal ini terlihat dalam Position Paper of the Government of the People's Republic of China on the Matter of Jurisdiction in the South China Sea Arbitration Initiated by the Republic of the Philippines (2014/12/07). Namun apabila kita cermati isi Putusan Arbitral Tribunal (Arbitral Tribunal constituted under Annex VII to the United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS 1982) terhadap perkara Laut China Selatan antara Filipina dan Tiongkok, tanggal 12 Juli 2016, Tribunal menyatakan klaim RRT atas historic rights, hak berdaulat atau yurisdiksi lainnya di perairan Laut China Selatan melalui nine-dash line adalah bertentangan dengan UNCLOS.
ADVERTISEMENT
Berbagai pemberitaan dan media sering kali menyebut peta RRT ini sebagai nine-dash line map (九段线地图/Jiuduanxian ditu), nine-dotted-lines, cow’s tongue, atau pun, U-shaped line. Dalam putusan Arbitral Tribunal tersebut juga ditekankan bahwa penggunaan istilah ‘nine-dash line’ pada putusan tidak dapat diartikan sebagai pengakuan ataupun merujuk pada nomenklatur yang tepat dan sah. Pemerintah Tiongkok sendiri hanya menyebut peta ini sebagai Peta RRT, tanpa merujuk pada garis putus-putus atau pun istilah lainnya.
Jumlah garis putus-putus pada peta ini telah beberapa kali mengalami perubahan. Pada tahun 1948 saat diterbitkannya Administrative Division Map of the Republic of China (dipetakan oleh Ministry of Interior), garis putus-putus dalam peta adalah berjumlah sebelas. Pada tahun 1953, Pemerintah RRT memutuskan untuk menghapuskan dua garis putus-putus pada bagian laut Gulf of Tonkin, inilah asal mula peta ini dikenal memiliki sembilan garis putus. Dalam perkembangannya, pada tahun 2013, State Bureau of Surveying and Mapping RRT menerbitkan peta dengan sepuluh garis putus-putus, yakni dengan tambahan satu garis baru pada bagian Timur dari Taiwan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan pembahasan dengan kawan penulis yang adalah pengajar senior pada salah satu universitas ternama di Xiamen, Tiongkok, penyebutan peta RRT sebagai nine-dash line, dotted line map, atau pun tongue line adalah tidak tepat, dikatakan bahwa penyebutan yang paling tepat untuk garis tersebut adalah U-shaped line (U形线/U-Xing Xian), karena pemetaan tersebut tidak merujuk pada jumlah garis putus-putus. Jumlah garis akan terus berubah sejalan dengan perkembangan delimitasi batas maritim.
Begitulah kawan sekalian, U-shaped line ini beberapa kali berubah dari sebelas garis di tahun 1948, sembilan garis di 1953, sepuluh garis di 2013, pernah menyambung dan pernah juga putus-putus, karena itu jangan terkecoh dengan jumlah garisnya.
Meski pun tidak memberikan kejelasan yang pasti, namun dari pembahasan di atas setidaknya mungkin dapat membantu kawan-kawan pembaca kumparan untuk sedikit memahami garis putus-putus persebut. Namun perlu penulis sampaikan pula bahwa hanya Pemerintah RRT yang bisa mengklarifikasi pengertian sesungguhnya. Apa yang penulis sampaikan diatas hanya sekadar berbagi pengalaman, setelah mencermati isu ini di Beijing pada kurun tahun 2016-2019.
ADVERTISEMENT
Salam Maritim!