Konten dari Pengguna

Elite Politik dan Perpecahan Akar Rumput

Fendi Agus Syaputra
Dosen Sosiologi FISIP Universitas Andalas
6 Maret 2025 14:44 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fendi Agus Syaputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dokumen Pribadi Penulis
zoom-in-whitePerbesar
Dokumen Pribadi Penulis
ADVERTISEMENT
Secara sederhana kita memahami bahwa aktivitas politik melibatkan dua pihak, politisi dan rakyat akar rumput. Salah satu jenis politisi yang bernaung dalam partai politik adalah elite politik yang jumlahnya tak banyak tapi pengaruhnya dalam pengambilan keputusan politik justru yang paling besar. Elite politik ini jugalah yang paling banyak mendapatkan keuntungan dalam berbagai aktivitas politik yang berlangsung selama ini.
ADVERTISEMENT
Kekuasaan adalah tujuan yang dikejar oleh para politisi, yang dalam berbagai kontestasi politik yang ada mereka menggunakan kepiawaian dan tak jarang juga kepicikan strategi politik untuk memenangkan tujuan tersebut. Salah satu syarat mereka mendapatkan kekuasaan yang sah adalah memperoleh jumlah suara sebanyak-banyaknya dalam pemilihan seperti pilkada salah satunya. Syarat itu hanya bisa terpenuhi jika mereka mampu meyakinkan rakyat yang merupakan pihak yang memegang hak suara.
Para politisi menggunakan berbagai strategi untuk mendapatkan suara-suara tersebut. Membeli suara juga merupakan cara yang digunakan, dengan berbagai bentuk suara-suara itu “dibeli”. Secara terang-terangan menggunakan amplop-amplop, atau yang secara terselubung dengan menggunakan paket-paket sembako yang muncul hanya ketika mendekati pemilihan. Strategi yang lainnya adalah dengan berkampanye bahwa partai politiknya merupakan yang terbaik, berkampanye bahwa calon-calon yang mereka usung adalah calon-calon terbaik untuk rakyat. Pesan bahwa mereka yang terbaik diiringi dengan pesan bahwa partai politik lainnya, kandidat saingannya adalah yang buruk kualitasnya, tak baik bagi rakyat jika calon-calon lainnya yang menang.
ADVERTISEMENT
Pesan-pesan itu dibungkus dalam bermacam-macam kemasan, tergantung partai politik yang sedang mengirimkan pesan-pesan itu. Jika partai politik yang menampilkan diri sebagai nasionalis, maka pesan itu disampaikan dalam bentuk bahwa merekalah yang paling mencintai Indonesia, yang menjunjung tinggi Pancasila, partai lainnya berbahaya bagi kesatuan nasional, terindikasi anti-pancasila. Jika partai politik yang menyampaikan menggunakan agama sebagai jubah kebesaran partai mereka, maka pesan-pesan itu disebarkan dalam dikemas dengan ayat-ayat suci, kebaikan umat adalah misi utama mereka, memberikan mereka suara adalah bentuk jihad dalam melawan kedzaliman, untuk memperkuat pesan itu maka ditampilkan wajah-wajah shaleh sebagai penyampai pesan. Seiring dengan pesan-pesan itu disertai dengan pesan bahwa partai-partai lainnya adalah partai dzalim pada umat, partai yang meminggirkan agama, calon-calon yang diusung diragukan keimanannya dan berbagai pesan-pesan yang senada.
ADVERTISEMENT
Rakyat yang menjadi target pesan-pesan itu sayangnya sebagian besar menelan berbagai pesan itu. Meyakini dengan seyakin-yakinnya, mempercayai pesan-pesan itu. Mereka kemudian menjadi pembela partai-partai yang mereka percayai, menjadikan diri sebagai tameng bagi partai, menjadi pagar hidup bagi politisi yang mereka yakini. Sayangnya, sikap membela itu disertai dengan ketidaksukaan yang bahkan tak jarang menjadi kebencian terhadap partai politik dan politisi yang lain, kebencian itu juga diarahkan kepada siapapun yang memilih partai dan politisi lain itu. Mereka lupa bahwa yang memilih dan membela partai dan politisi lain itu juga sesama rakyat.
Jika kita kembali melihat kebelakang, maka kita akan ingat bagaimana sesama rakyat dengan pilihan politik yang berbeda saling serang. Saling serang ini terjadi mulai dari interaksi di sosial media hingga saling serang yang dilakukan secara fisik. Pesan-pesan politik yang mereka terima menjadi bahan bakar kebencian pada pihak yang lain, mereka menganggap bahwa rakyat yang memiliki pilihan politik yang berbeda adalah musuh. Miris memang, tapi kita tahu bahwa itu kenyataan.
ADVERTISEMENT
Saat mendekati kontestasi politik, saling serang itu dapat kita temukan dengan mudah. Iklim media sosial menjadi begitu panas. Konten saling hujat dilakukan oleh akun-akun pendukung yang kolom komentarnya menjadi arena pertukaran cacian dan hujatan. Grup-grup percakapan seperti Whatsapp juga diwarnai dengan hal-hal serupa. Bagi mereka itu adalah sesuatu upaya memperjuangkan kebenaran dan yang berbeda dengan mereka adalah orang-orang yang berada dijalur yang salah. Kita juga sering mendapati berita-berita bentrokan karena pilihan politik saat mendekati kontestasi politik. Bentrokan antar pendukung politisi-politisi tertentu yang sedang berlaga. Bentrokan antar pendukung partai politik juga tak kalah sering terjadi.
Ketegangan antar pendukung ini tidak selesai meskipun kontestasi politik yang diikuti oleh partai dan politisi yang mereka junjung ikuti sudah selesai dan sudah mendapatkan siapa yang lebih unggul dalam perolehan suara. Pendukung partai yang menang tetap melanjutkan olok-olok mereka kepada pendukung partai yang kalah. Sementara itu, pendukung partai yang kalah melanjutkan ketidaksukaan mereka kepada partai pemenang dengan berbagai cara mulai dari mengkritik dengan tidak berdasar hingga menyebarkan hoax diberbagai media sosial.
ADVERTISEMENT
Rakyat sepertinya tidak menyadari, bahwa pesan-pesan yang disebarkan oleh partai politik maupun politisi hanya sebatas bahan kampanye. Rakyat justru memegang teguh pesan-pesan itu sebagai sebuah keyakinan yang begitu kuat. Padahal dikemudian hari partai politik, politisi yang saling hujat tadi bisa saja membangun koalisi bersama. Partai politik yang awalnya menyampaikan pesan bahwa politisi tertentu merupakan ancaman bagi kepentingan rakyat, kemudian hari bisa saja menjadi partai pengusung politisi tersebut. Rakyat sudah terpecah belah begitu saja karena pesan-pesan sebelumnya.
Sudah begitu sering ini terjadi, partai politik maupun politisi begitu dinamis dalam upaya mendapatkan kekuasaan termasuk dengan “menjilat ludah sendiri”. “Tak ada kawan dan lawan abadi dalam politik, yang ada hanya kepentingan abadi” terlihat begitu jelas dan sayangnya rakyat seringkali lupa soal itu. Lawan politik dalam satu kontestasi tertentu, menjadi kawan politik dalam kontestasi yang lain.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) adalah salah satu partai yang bergabung dalam koalisi besar Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Prabowo-Gibran. Politisi PSI adalah salah satu partai yang seringkali muncul di media untuk membela pasangan Prabowo-Gibran. Jika kita mundur ke masa-masa pemilihan presiden tahun 2019, maka kita akan menemukan kondisi yang berbeda, PSI yang saat itu mendukung Jokowi-Ma’ruf justru menjadi “penghujat” utama Prabowo yang kala itu maju bersama Sandiaga Uno pada kontestasi saat itu. Tentu kita tidak akan lupa begitu saja PSI pernah menghadiahi Prabowo dengan award kebohongan.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah contoh lainnya. Pada kontestasi pilkada DKI Jakarta pada tahun 2017 menjadi salah satu pengusung Anies Baswedan yang maju menjadi calon gubernur saat itu. Anies Baswedan berhadap-hadapan dengan Basuki Tjahaja Purnama yang kala itu tersandung kasus penistaan agama. Kasus penistaan agama BTP saat itu memiju aksi bela Islam yang kemudian kita kenal dengan 212, PKS adalah bagian dalam aksi itu. Kasus itu juga membuat label “partai penista agama” disematkan kepada partai-partai pengusung BTP saat itu. Kemudian hari, di Pilpres 2024 kita justru disuguhkan dengan koalisi yang dibangun oleh PKS dan Nasdem, padahal Nasdem adalah salah satu dari “partai penista agama” yang mengusung BTP.
ADVERTISEMENT
Kita menyadari bahwa rakyat perlu diedukasi bahwa partai politik maupun politisi begitu cair dalam interaksi sesama mereka, sebagian besar ucapan dan perbuatan mereka adalah strategi untuk mendapatkan kekuasaan yang kemudian hari bisa saja berbalik arah. Rakyat harus sadar bahwa yang seharusnya kita pegang adalah nilai dan kita mendukung partai yang membawa nilai itu dengan tetap menyadari bahwa mereka akan berbalik arah suatu hari nanti. Oleh karenanya, mendukung secukupnya, tidak suka sekedarnya. Rakyat justru harus menyadari bahwa sesama rakyat justru harus saling pikul, karena ketika partai politik dan politisi berubah arah, hanya sesama rakyatlah yang tersisa untuk saling bantu.