Merebut Suara Pemilih Pemula

Fendi Hidayat
Dosen dan Peneliti Universitas Batam, Ketua Umum PP IA Polbat, Mahasiswa S3 MSDM Universitas Batam, Manajer Sertifikasi LSP Digital TIK, Asessor Kompetensi BNSP
Konten dari Pengguna
24 Mei 2023 18:13 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fendi Hidayat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Salah satu peserta perempuan yang melakukan pelatihan tata cara pencoblosan di Tempat Pemungutan Suara  (TPS) di GOR Bulungan, Jakarta, Sabtu (6/4). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu peserta perempuan yang melakukan pelatihan tata cara pencoblosan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) di GOR Bulungan, Jakarta, Sabtu (6/4). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jelang pemilu 2024 mendatang, dunia maya belakangan ini dipenuhi dengan partai politik, politisi dan tokoh masyarakat yang gencar melakukan tebar pesona di media sosial. Mereka mencoba membangun branding di media sosial demi meraup suara pemilih pemula pada perhelatan pesta demokrasi mendatang.
ADVERTISEMENT
Ceruk pemilih pemula yang besar memang menggiurkan bagi partai politik, politisi dan tokoh masyarakat yang akan menjadi peserta Pemilu mendatang untuk berebut meraih simpati pemilih pemula ini.
Menurut August Mellaz selaku Komisioner KPU RI yang membidangi divisi sosialisasi dan partisipasi masyarakat bahwa jumlah pemilih pemula jumlahnya berkisar antara 53 sampai 60 persen, diperkirakan mencapai 110 juta pemilih dari total jumlah pemilih di Pemilu 2024 nanti. Jadi hampir lebih dari setengah lebih total pemilih pada Pemilu 2024 adalah pemilih pemula.
Angka yang fantastis dan merupakan market politik yang besar bagi pemburu kursi kekuasaan. Maka wajar saja jika peserta Pemilu baik itu calon legislatif/calon eksekutif akan gencar tebar pesona ke pemilih yang memiliki rentang usia antara 17 sampai 40 tahun saat hari pemungutan berlangsung.
ADVERTISEMENT
Segala upaya dan strategi akan dikeluarkan demi mengeruk lebih dari setengah total pemilih ini. Personal branding akan dilakukan dengan menampilkan sosok yang dekat dengan kalangan muda ini. Memoles diri dan mencitrakan diri sebagai tokoh muda atau tokoh yang peduli anak muda baik secara tampilan ataupun melalui komunikasi yang bergaya anak muda pun akan dilakukan demi menarik ceruk pemilih muda ini.

Karakter Politik Pemilih Pemula

Ilustrasi pemungutan suara atau TPS Foto: Hendra N/Antara
Memahami keinginan dan persoalan anak muda akan menjadi bagian terpenting agar dapat mengeluarkan strategi jitu dalam mengeruk suara pemilih muda ini. Hal ini senada dengan pendapat Philip Kotler dan Neil Kotler yang menyatakan bahwa mengetahui kebutuhan dasar dan menjaring aspirasi dari calon pemilih diperlukan agar program-program yang ditawarkan oleh peserta Pemilu dapat sesuai dengan sasaran.
ADVERTISEMENT
Pemilih muda cenderung adaptif dan dinamis, selain itu juga sangat responsif terhadap isu-isu politik terkini serta memiliki ketertarikan pada katakter calon pemimpin yang memiliki kejujuran dan mendukung pemberantasan korupsi.
Jika dilihat dari rentang usia pemilih muda ini yang berada dikisaran antara 17 sampai 40 tahun maka kita dapat melihat bahwa ada dua kelompok generasi yang masuk dalam kategori pemilih muda ini, yaitu generasi millenial dan generasi z atau lebih dikenal dengan Gen Y dan Gen Z.
Meskipun sama-sama pemilih muda, namun dua generasi ini memiliki karakteristik yang berbeda. Menurut Wasisto Raharjo Jati, salah seorang peneliti politik BRIN menjelaskan bahwa Gen Y yang lahir dari rentang tahun 1980 hingga 1995 memiliki kecenderungan untuk menentukan pilihan politiknya berdasarkan preferensi politik dari relasi kolegialitas, artinya jika temannya memiliki kecenderungan memilih calon A maka akan diikuti oleh temannya yang lain.
ADVERTISEMENT
Sedangkan Gen Z yang lahir dari rentang tahun 1997 hingga 2000an memiliki jiwa independent, ekspresif, mengandalkan logika dan kritis. Perbedaan yang mendasar dalam menentukan pilihan politik ini tentu harus betul-betul dipahami oleh para calon legislatif maupun calon eksekutif (Capres/Cakada) agar tidak salah membuat strategi dalam menggaet pemilih muda.
Gen Y dan Gen Z merupakan jenis pemilih yang akan mencari informasi terlebih dahulu sebelum memutuskan suatu pilihan. Teknologi internet dan sosial media merupakan platform yang digunakan dalam menggali informasi yang mereka perlukan.

Landscape Digital Indonesia

Ilustrasi media digital. Foto: sdecoret/Shutterstock
Berdasarkan data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJI) tingkat penetrasi internet di Indonesia sebesar 78,19 persen dari jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2023 yang berjumlah 275,77 juta jiwa. Sekitar 215,63 juta penduduk Indonesia yang menggunakan internet, jumlah ini meningkat sebanyak 5 juta jiwa atau sekitar 1,17 persen dari total pengguna pada tahun 2022 lalu.
ADVERTISEMENT
Menurut rilis yang di-publish datareportal.com tahun 2023 menjelaskan bahwa total pengguna internet di Indonesia terdapat 167 juta jiwa yang merupakan pengguna media sosial dan 79.5 persen di antaranya merupakan anak muda. Jika dirinci lagi sekitar 36.7 persen merupakan pengguna muda yang berjenis kelamin perempuan dan 42.6 persen yang berjenis kelamin laki-laki.
Sedangkan aplikasi media sosial yang paling disukai adalah Whatsapp, instagram, facebook, tiktok dan twitter. Para pengguna sosial media ini akan mengikuti beberapa tipe akun seperti : 1) teman, keluarga dan orang yang dikenalnya; 2) penyanyi, band dan pemusik; 3) hiburan, parodi dan memes; 4) aktor, komedian dan pelaku hiburan; 5) influencer atau pakar tertentu; 6) acara tv.
Untuk mencari informasi, berdasarkan data dari Google, saat ini Gen Z lebih memilik TikTok untuk mendapatkan informasi yang mereka perlukan. Andriyendi dkk (2023) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa media sosial yang menggunakan saluran internet memberikan pengaruh signifikan pada partisipasi politik pemilih pemula. Dijelaskan juga bahwa pemilih pemula lebih suka menikmati konten politik secara santai.
ADVERTISEMENT
Sehingga untuk dapat meraup suara pemilih muda maka tidak heran saat ini pejabat, pesohor, tokoh atau calon legeslatif maupun calon eksekutif sangat sering membuat konten di media sosial untuk mengenalkan diri dan kegiatan mereka sehari-hari. Tebar pesona dilakukan dengan membangun citra positif di sosial media agar bisa menarik pemilih muda pada gelaran pesta demokrasi tahun depan.

Tebar Pesona di Media Sosial

Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
Pemilih muda merupakan masyarakat sosial yang menggunakan sosial media untuk menampilkan ekspresi suara ataupun terlibat secara aktif pada isu sosial dan politik. Mereka juga mengakses berita dan informasi melalui cara baru dengan menggunakan teknologi.
Media sosial telah menjadi saluran untuk menyampaikan berbagai informasi penting serta dapat digunakan sebagai saluran untuk memberikan pendidikan politik bagi masyarakat. Dengan menggunakan media sosial informasi seperti isu terkini, berita-berita terbaru dan kondisi politik terhangat bisa dengan cepat tersebar luas dan diakses oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pemilu Amerika Serikat tahun 2008, 2012 dan 2017 menjadi bukti nyata pemanfaatan media sosial untuk menguatkan jaringan pendukung dan melakukan mobilisasi pemilih yang masih belum menentukan pilihannya. Percakapan di media sosial juga diolah menjadi bahan kampanye yang sesuai dengan perilaku calon pemilihnya.
Penggunaan sosial media untuk menarik pemilih muda di Indonesia sebenarnya bukan hal baru, karena hal ini mulai marak digunakan sejak pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 lalu. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Indah Tavania Muttaqien dkk dari Fakultas Hukum UGM mengungkapkan bahwa 60 persen responden yang merupakan pemilih muda menggunakan hak pilihnya karena dipengaruhi lewat sosial media. Hal ini membuktikan bahwa konten di sosial media memberikan pengaruh besar pada preferensi politik pemilih muda.
ADVERTISEMENT
Pola komunikasi politik dan marketing politik mengalami perubahan seiring berkembangnya media sosial. Diperlukan adaptasi yang baik atas berbagai perubahan yang ditimbulkan dari adanya media sosial ini. Mengingat kecenderungan pemilih saat ini yang memiliki ketergantungan terhadap media sosial.
Maka wajar jika media sosial saat ini menjadi arena pertarungan politik baru untuk memburu calon pemilih potensial. Demi menguasai arena pertarungan ini, partai politik dan para tokoh politik secara khusus membentuk tim yang fokus mengelola bagian ini.
Tebar pesona dengan membuat konten dan komunikasi politik yang santai dan humoris menjadi salah satu cara yang digunakan di media sosial agar menarik minat pemilih muda untuk mengikuti konten mereka.
Tidak hanya pola komunikasi saja yang dibuat seolah menjadi anak muda, partai politik saat ini juga terus berbondong-bondong menggaet anak-anak muda potensial untuk menjadi kader mereka. Mereka berlomba-lomba memberikan pesona sebagai partai anak muda.
ADVERTISEMENT
Membangun citra positif menyesuaikan dengan karakter pemilih muda menjadi hal penting karena pemilih muda yang sangat erat dengan gawai canggih memiliki sikap kritis, kreatif dan memiliki pemikiran terbuka.
Adaptasi yang baik dan membentuk tim khusus media sosial merupakan langkah wajib yang harus ditempuh peserta pemilu untuk mengeruk suara pemilih muda. Tebar pesona yang dilakukan akan berdampak positif jika dilakukan dengan cara-cara kreatif dan santai. Untuk menarik pemilih muda sebaiknya hindari pola kampanye lama yang kaku, formal dan terlalu serius.

Kesimpulan

Pemilih pemula yang berkisar antara 53 sampai 60 persen dari total pemilih merupakan market politik yang fantastis sehingga perlu digarap dengan serius oleh peserta politik. Pemilih pemula yang kebanyakan anak muda adalah generasi yang melek teknologi mereka memiliki kebiasaan menggunakan media sosial dalam kehidupan sehari-hari, termasuk mencari informasi.
ADVERTISEMENT
Kebiasaan yang sangat erat dengan media sosial membuat peserta pemilu harus beradaptasi dengan cepat ke arena kampanye baru ini dengan tetap memahami karakter pemilih muda agar tidak salah dalam membuat konten maupun interaksi dengan pemilih muda di media sosial.
Membuat tim kreatif yang khusus menggarap media sosial merupakan langkah wajib yang harus dilakukan oleh peserta pemilu agar proses tebar pesona yang dilakukan benar-benar dapat menarik pemilih muda. Tim kreatif harus mengetahui secara pasti keinginan pemilih muda agar bisa menguasai market yang besar ini.
Upaya untuk membangun citra positif di media sosial oleh para peserta pemilu akan menemukan tembok penghalang yang harus segera diruntuhkan, yaitu masih adanya pejabat publik yang terjerat kasus hukum.
ADVERTISEMENT
Survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia mengungkapkan bahwa 52,7 persen anak muda menilai bahwa partai politik maupun politisi gagal mewakili masyarakat dalam menyuarakan berbagai aspirasinya. Menurut mereka, pesta demokrasi yang dilaksanakan tiap 5 tahun sekali ini hanya menjadi ritual untuk mengganti pemimpin tanpa adanya inovasi atau perbaikan nyata untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Maka tak heran jika dalam survei yang dilakukan Center for Strategic and International Studies (CSIS) mengungkapkan bahwa pemilih muda memiliki keinginan untuk dipimpin oleh orang yang memiliki karakter jujur dan tidak korupsi, merakyat dan sederhana, berwibawa, berprestasi dan memiliki pengalaman serta kecakapan dalam memimpin.
Arita Nugraheni menjelaskan dalam penelitiannya bahwa pemilih muda ini merupakan pemilih yang rasional dalam pilihan politiknya dan memiliki pendirian. Maka menjadi tantangan besar bagi peserta pemilu supaya tebar pesona yang dilakukan di media sosial dapat meraup ceruk pemilih pemula yang besar dengan memberikan optimisme dan meyakinkan pemilih pemula bahwa citra ataupun pesona yang ditampilkan adalah wujud nyata dalam menjaga amanah dan memperjuangkan aspirasi masyarakat dengan sepenuh hati.
ADVERTISEMENT