Sirekap dan Digitalisasi Pemilu Yang Kusut Masai

Fendi Hidayat
Dosen dan Peneliti Universitas Batam, Ketua Umum PP IA Polbat, Mahasiswa S3 MSDM Universitas Batam, Manajer Sertifikasi LSP Digital TIK, Asessor Kompetensi BNSP
Konten dari Pengguna
22 Februari 2024 5:57 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fendi Hidayat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sirekap sebagai alat bantu penghitungan suara yang tersambung dengan server KPU RI, saat simulasi pemungutan dan penghitungan suara Pemilu 2024 di Kantor KPU Jakarta Timur, Jakarta, Senin (18/12/2023). Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Sirekap sebagai alat bantu penghitungan suara yang tersambung dengan server KPU RI, saat simulasi pemungutan dan penghitungan suara Pemilu 2024 di Kantor KPU Jakarta Timur, Jakarta, Senin (18/12/2023). Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Niat baik KPU menghadirkan Sistem Rekapitulasi Elektronik (Sirekap) untuk menggantikan Situng sebagai bagian dari proses digitalisasi Pemilu sepertinya melewati jalan terjal, Kusut Masai. Alih-alih memberikan transparansi hasil dan masyarakat bisa melakukan check and balance justru kian menuai kontroversi.
ADVERTISEMENT
Akurasi data yang terus dipertanyakan semakin membuat kebisingan diruang publik. Hingga harus berkali-kali KPU melakukan klarifikasi untuk meluruskan berbagai pendapat miring yang terlanjur tersebar ke publik. Hingga Nasionalisme mereka juga diragukan mana kala server datanya yang diungkap oleh beberapa pakar ternyata tidak berada di Indonesia. Meskipun KPU sudah membantahnya, namun publik bisa dengan mudah melakukan pengecekan datanya di internet. Lalu mau percaya siapa ? silahkan nilai sendiri.
Pemilu 2024 menjadi babak baru langkah Demokrasi digitlal di Indonesia. Kali pertama sistem berbasis digital disertakan dalam setiap proses tahapan Pemilu. Mulai dari pendaftaran pemilih, pendaftaran peserta Pemilu, pendaftaran komisioner KPU hingga yang terbaru Sirekap untuk menampilkan hasil Pemilu.
Periode sebelumnya memang sudah ada sistem berbasis digital digunakan oleh KPU namun hanya sebagai cadangan, tidak digunakan sebagai bagian dari proses tahapan. Dalam hal ini upaya KPU patut diapresiasi, karena langkah KPU untuk menghasilkan Pemilu yang transparan dan akuntabilitas dengan memanfaatkan teknologi informasi ini cukup berani.
ADVERTISEMENT
Pelaksanaan Pemilu yang berintegritas dan transparan menjadi tanggung jawab penyelenggara khususnya KPU sehingga dapat menumbuhkan kepercayaan publik sehingga ada legitimasi kuat terhadap Pemimpin yang terpilih yg harapannya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penggunaan sistem digital merupakan solusi untuk menghadirkan transparansi. Dengan sistem yang dirancang untuk menampilkan hasil secara real time membuat sirekap sangat dinanti masyarakat.
Sepertinya harapan masyarakat tidak berbanding lurus dengan performa Sirekap yang lamban dalam update data dan akurasinya juga dipertanyakan. Secara khusus dalam Pemilu 2024 ada operator khusus yaitu KPPS 4 yang ditugaskan untuk menginput data hasil penghitungan di TPS. Sehingga hasil penghitungan di TPS dapat langsung dilihat di Sirekap tidak lama setelah proses rekapitulasi penghitungan suara di TPS selesai dilakukan. Faktanya, hingga hari ini tepat seminggu pasca Pemilu, data yang terkirim ke Sirekap belum juga sampai 75%.
ADVERTISEMENT
Lalu akurasi data yang dikirim yang menimbulkan kegaduhan dan menurunkan kepercayaan publik terhadap hasil Pemilu tentu tidak lepas dari teknologi yang digunakan oleh KPU. Penggunaan teknologi Optical Character Recognition (OCR) yang kurang berhasil menjadi salah satu penyebab utama masih banyaknya data perhitungan yang tidak sesuai.
Secara sederhana teknologi ini akan membaca gambar dan merubahkan menjadi karakter atau angka. Dengan menggunakan algoritma kecerdasan buatan, teknologi ini tentu dipengaruhi oleh banyak faktor agar mampu menghasilkan data yang akurat. Diantaranya adalah jumlah dataset atau database sample data yang digunakan, kualitas gambar yang dikirimkan dan stabilitasi jaringan.
Karena sistem kerja teknologi ini adalah menggunakan metode pencocokan pola yang bekerja dengan cara memisahkan citra karakter, yang disebut glyph, dan membandingkannya dengan glyph serupa yang telah disimpan. Pengenalan pola hanya berhasil jika glyph yang tersimpan memiliki font dan skala yang mirip dengan glyph input. Teknik ini efektif ketika diterapkan pada pemindaian citra dokumen yang telah diketik menggunakan font yang dapat dikenali.
ADVERTISEMENT
Hamad Karez Abdulwahhab (2016) menyatakan untuk mendapatkan hasilkan yang optimal, penggunaan teknologi OCR memerlukan citra berkualitas tinggi atau resolusi yang baik. Karena akurasi OCR juga dipengaruhi oleh kualitas kamera, jika pengambilan gambar menggunaan kamera yang berkualitas tinggi dapat menghasilkan output yang lebih akurat.
Faktor lain juga diungkap oleh Awel Muna Ahmed (2019) bahwa ketepatan hasil scanning menggunakan OCR, termasuk adanya objek lain dalam gambar, kondisi lingkungan, sudut pengambilan gambar, ketidakjelasan citra, jenis huruf, dan objek yang mengalami kerusakan. Selain itu, Sahu Narendra (2017) juga menjelaskan bahwa hasil OCR dapat ditingkatkan dengan menyesuaikan warna objek, melakukan manipulasi gambar, mengubah citra berwarna menjadi hitam putih, meningkatkan kontras, menghapus objek yang ambigu, dan menyaring noise pada objek untuk mencegah kesalahan karakter. Sehingga kualitas gambar hasil rekapitulasi yang diunggah ke Sirekap juga patut dicermati dengan seksama ketika menghasilkan pembacaan karakter yang salah dan menimbulkan kesalah pahaman publik.
ADVERTISEMENT
Selain teknologi OCR faktor berikutnya adalah KPPS 4 selaku operator Sirekap tidak diberikan akses untuk melakukan perbaikan, hasil bacaan sistem langsung dikirim tanpa bisa memperbaikinya. Kendala lainnya adalah proses rekapitulasi TPS yang biasanya selesai tengah malam, sehingga dengan sisa-sisa tenaga dan pencahayaan yang minim menyebabkan hasil gambar yang diunggah menjadi tidak akurat dibaca oleh Sirekap. Beberapa faktor krusial ini menjadi penting diperhatikan dan menjadi bahan evaluasi KPU agar keandalan Sirekap bisa menghadirkan kepercayaan publik.
ilustrasi Demokrasi Digital, Foto : freepik.com
Demokrasi Digital
Mengingat semangat awal penggunaan Sirekap adalah agar menjadi bagian dari perbaikan demokrasi elektoral di Indonesia. Sirekap bagian dari upaya KPU untuk menggunakan teknologi terkini ditengah era Demokrasi digital saat ini. Tidak bisa dipungkiri, berbagai teknologi yang lahir saat ini memberikan dampak terhadap proses Demokrasi.
ADVERTISEMENT
Gilardi (2016) menjelaskan bagaimana perkembangan teknologi digital mempengaruhi proses demokrasi, mulai dari mobilisasi politik, strategi kampanye, polarisasi opini publik, hingga tata kelola pemerintahan, mengalami transformasi signifikan seiring dominasi teknologi digital. Pengaruh ini tidak terbatas pada wilayah Barat, melainkan mencakup seluruh dunia.
Selain memengaruhi praktik politik dalam demokrasi kontemporer, revolusi teknologi digital juga berdampak langsung pada produksi dan penyebaran ilmu-ilmu sosial. Big data, sains kompleksitas, crowd sourcing, mesin pembelajaran baru, bahkan kurikulum ilmu sosial di berbagai perguruan tinggi dunia beradaptasi dengan revolusi digital ini.
Era demokrasi digital menandai periode baru dalam sejarah manusia dan membentuk arah masa depan global. Demokrasi digital memiliki peran penting dalam meluaskan keterlibatan masyarakat, memberikan nilai tambah dengan menciptakan kesetaraan bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik.
ADVERTISEMENT
Supangat (2017) menjelaskan bahwa pada era demokrasi digital, mengelola informasi yang tersebar luas menjadi tantangan yang signifikan, memerlukan tindakan bijak untuk memastikan kelancaran dan keterlibatan yang inklusif dalam partisipasi politik. Masyarakat harus memiliki keterampilan dalam menyaring dan memverifikasi informasi guna mencegah penyebaran disinformasi atau hoaks yang dapat merugikan proses demokrasi.
Dengan realitas itu, maka KPU sebagai salah satu lembaga penyelenggara demokrasi juga dituntut untuk menyajikan data yang valid untuk menjaga kepercayaan publik ditengah demokrasi digital saat ini. Informasi yang dihasilkan Sirekap pada Pemilu 2024 ini telah menimbulkan guncangan publik karena data yang disajikannya tidak akurat.
Bahkan dengan carut-marutnya Sirekap pada hari Rabu (21/2/2024) secara resmi PDI-P telah mengeluarkan surat pernyataan untuk menolak menggunakan Sirekap. Dalam suratnya, PDIP menyatakan bahwa kegagalan Sirekap dalam pemungutan suara di TPS dan rekapitulasi di tingkat PPK dianggap sebagai dua hal yang berbeda. PDIP berpendapat bahwa penundaan tahapan rekapitulasi di PPK tidak relevan.
Digitalisasi Pemilu dengan E-Vote Foto : MARKETEERS.COM
Digitalisasi Pemilu
ADVERTISEMENT
Pada era digitalisasi, penggunaan teknologi dalam pemilu dianggap sebagai kebutuhan yang mendesak. Digitalisasi diharapkan memberikan kemudahan, efisiensi anggaran, dan sumber daya manusia, serta meningkatkan transparansi dan pengawasan pemilu. Meski memberikan banyak manfaat, penggunaan teknologi dalam pemilu juga dihadapkan pada kelemahan, seperti masalah keamanan sistem yang dapat berdampak pada kepercayaan masyarakat, yang merupakan aspek kritis dalam pelaksanaan pemilu.
Menurut direktur eksekutif Perludem, Khoirunnisa memandang Pemilu 2024 dipengaruhi oleh pemilih baru yang terhubung erat dengan sosial media, dan platform ini dianggap sebagai saluran utama untuk mendistribusikan informasi Pemilu dan kampanye. Meskipun demikian, Khoirunnisa mengakui kekurangan mitigasi risiko di media sosial, seperti disinformasi dan kurangnya transparansi.
Kekhawatiran terkait transparansi dan efisiensi penyelenggaraan direspon baik oleh KPU untuk memulai tahapan Pemilu 2024 dengan mengintegrasikan teknologi digital.Penggunaan teknologi diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, mengurangi beban kerja petugas pemilu, dan membuka ruang transparansi bagi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, terdapat tantangan seperti keamanan siber dan rendahnya literasi teknologi masyarakat yang perlu diatasi. Penggunaan teknologi di Pemilu diharapkan dapat memperkuat demokrasi, meskipun pengalaman beberapa negara menunjukkan bahwa implementasi digital tidak selalu berhasil.
Soekarwo (2021) mengungkapkan bahwa kecepatan digitalisasi dan dampak pandemi memicu transformasi di berbagai sektor, termasuk potensi digitalisasi pemilu dan demokrasi di Indonesia. Data dari Lembaga Internasional untuk Demokrasi dan Pendampingan Pemilu (International IDEA) menunjukkan 106 negara telah menerapkan teknologi pemilu, seperti e-voting dan tabulasi perolehan suara.
Meskipun beberapa negara seperti India, Filipina, Belgia, dan Brasil menggunakan mesin e-voting, ada yang kembali ke pemilu manual, seperti Belanda dan Jerman, akibat masalah keamanan dan kelemahan yang menurunkan kepercayaan pemilih. Di Indonesia, pembicaraan mengenai e-voting pada Pemilu 2024 telah dimulai di berbagai level, dan banyak pihak melihatnya sebagai kontribusi positif untuk kemajuan demokrasi.
ADVERTISEMENT
Dibanding e-voting, KPU lebih memilih menggunakan Sirekap meskipun sama-sama menggunakan teknologi informasi. Sirekap diharapkan menjadi penyegar dalam upaya meningkatkan demokrasi elektoral di Indonesia, terutama dengan pemanfaatan kemajuan teknologi informasi. Keberhasilan penerapan teknologi informasi dalam pelaksanaan pemilihan memerlukan dukungan kuat dari kepercayaan masyarakat.
Saat uji coba Sirekap tahun 2020, Perludem menggarisbawahi beberapa aspek yang kritis yang harus diperhatikan oleh KPU. Aspek pertama adalah infrastruktur teknologi, yang mencakup peningkatan pada C1 Plano, standarisasi fitur crop, penggunaan barcode pada C1 Plano, persetujuan digital, dan transparansi hasil pemilu. Aspek kedua adalah kesiapan sumber daya manusia, termasuk pelatihan yang memadai untuk petugas TPS. Aspek ketiga adalah kekurangan regulasi terkait bukti digital, lembaga yang bertanggung jawab untuk mengaudit, dan sanksi terhadap pelanggaran dalam rekapitulasi elektronik. Aspek keempat adalah penerimaan dari pemangku kebijakan dan masyarakat, termasuk kesepahaman antara KPU dan Bawaslu, sosialisasi yang memadai, dan pemahaman yang merata di kalangan masyarakat. Untuk memastikan keberhasilan Sirekap, perbaikan pada teknologi, regulasi, dan penerimaan dari berbagai pihak harus menjadi fokus utama KPU.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Dalam perjalanan menuju digitalisasi Pemilu di Indonesia, implementasi Sistem Rekapitulasi Elektronik (Sirekap) oleh KPU menghadapi tantangan serius yang mengundang keraguan dan kontroversi. Meskipun niat baik untuk meningkatkan transparansi dan efisiensi dalam proses pemilu, Sirekap terlihat kusut dan menuai kegaduhan. Ketidakpastian akurasi data, keraguan terhadap keberadaan server di Indonesia, dan kontroversi seputar penerimaan Sirekap menjadi sorotan publik. Upaya KPU untuk membawa demokrasi ke ranah digital, terutama dengan memanfaatkan teknologi informasi, patut diapresiasi, namun, perjalanan ini terhambat oleh berbagai permasalahan teknis dan kebijakan.
Pemilu 2024 menjadi tonggak sejarah bagi demokrasi digital di Indonesia, dengan teknologi berbasis digital menjadi bagian integral dari seluruh tahapan pemilu. Langkah KPU menuju pemilu yang transparan dan akuntabel dengan memanfaatkan teknologi informasi sejatinya membangkitkan harapan masyarakat. Namun, kenyataannya, Sirekap menghadapi sejumlah tantangan, seperti lambannya pembaruan data, ketidakakuratan hasil, dan keberagaman kendala teknis. Operator khusus, yaitu KPPS 4, juga menghadapi kendala dengan tidak diberikan akses untuk melakukan perbaikan, sehingga hasil yang dikirim langsung tanpa dapat diperbaiki.
ADVERTISEMENT
Penggunaan teknologi Optical Character Recognition (OCR) dalam Sirekap menjadi titik kritis, di mana akurasi pembacaan karakter sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kualitas gambar, kondisi lingkungan, dan jenis huruf. Faktor-faktor ini perlu diperhatikan secara seksama untuk memastikan hasil yang akurat. Di tengah-tengah demokrasi digital, KPU dihadapkan pada tanggung jawab besar untuk menyajikan data yang valid dan dapat dipercaya, mengingat pentingnya kepercayaan publik dalam proses demokratis. Meskipun demikian, tantangan seperti disinformasi, keamanan siber, dan kurangnya literasi teknologi masyarakat juga perlu diatasi.
Dalam konteks global, demokrasi digital telah memberikan dampak signifikan pada proses demokrasi, dari mobilisasi politik hingga tata kelola pemerintahan. KPU sebagai penyelenggara demokrasi di Indonesia harus bersikap bijak dalam mengelola informasi yang tersebar luas dan memastikan partisipasi politik yang inklusif. Pemilihan untuk memanfaatkan teknologi dalam pemilu adalah langkah yang tepat, namun implementasinya harus memperhitungkan faktor-faktor risiko dan memastikan kepercayaan masyarakat. Kesimpulannya, perjalanan digitalisasi Pemilu yang diawali dengan niat baik, namun dihambat oleh kusutnya implementasi, membutuhkan evaluasi mendalam dan perbaikan menyeluruh untuk menghadirkan demokrasi elektoral yang sesungguhnya transparan, efisien, dan dipercayai oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT