Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Menelisik Kegunaan Kebaya: Seberapa Jauh Kebaya Membatasi Ruang Gerak Perempuan?
2 Desember 2024 11:20 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Feni Suci Diah Permatasari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dahulu kebaya merupakan pakaian sehari-hari yang dikenakan oleh wanita Indonesia. Mulai dari mengurus rumah tangga, pergi ke pasar, hingga menghadiri acara sosial, kebaya selalu menjadi pilihan yang tidak bisa dipisahkan. Di balik setiap lipatan kainnya, kebaya menyimpan banyak makna, tidak hanya sebagai saksi sejarah, namun juga sebagai media ekspresi diri yang kompleks, mencerminkan identitas pribadi, gender, dan status sosial pemakainya. Perubahan tren ini menimbulkan pertanyaan: Apakah kebaya masih bisa mewakili perempuan Indonesia di era modern ini, atau justru menjadi simbol yang membatasi kebebasan dan geraknya dalam kehidupan sehari-hari?
ADVERTISEMENT
Pakaian dan perempuan adalah pembahasan yang tidak bisa dipisahkan. Pakaian memiliki peran penting dalam kehidupan perempuan, bukan hanya sebagai pelindung tubuh, tetapi juga sebagai sarana untuk mengekspresikan identitas, kepribadian, dan bahkan status sosial. Dalam banyak budaya, termasuk Indonesia, pakaian seringkali menjadi simbol yang merefleksikan kedudukan seseorang di tengah masyarakat, baik dari segi ekonomi, kelas sosial, maupun perannya dalam lingkungan sosial.
Salah satu pakaian tradisional yang penuh makna dan narasi adalah kebaya. Di dalam setiap helai kebaya tersimpan narasi yang saling membenang dengan berbagai aspek kehidupan perempuan Indonesia, mulai dari feminitas yang melekat, identitas personal, hingga representasi identitas kelas yang tercermin dari jenis bahan dan gaya kebaya yang dikenakan., Menurut Trismaya (2019) seperti dikutip oleh (Nagata dan Sunarya, 2023), kebaya pada masa kolonial Belanda memiliki peran sebagai simbol status sosial. Hal ini terlihat dari perbedaan model kebaya yang dikenakan oleh perempuan Belanda dan perempuan Indonesia, yang mencerminkan adanya pemisahan berdasarkan status sosial.
ADVERTISEMENT
Pada masa Orde Baru, kebaya mendapatkan perhatian lebih sebagai bagian dari narasi nasionalisme yang berusaha memperkuat identitas perempuan Indonesia melalui simbol-simbol budaya, Kebaya tidak hanya menemani perempuan indonesia setiap hari, tapi lebih jauh juga membangun sebuah narasi baru dari konsep Ibuisme yang lahir pada saat orde baru. Konsep ibuisme pada masa Orde Baru menempatkan perempuan secara sistematis di posisi kedua dalam struktur masyarakat. Perempuan diarahkan untuk menjalankan peran di ranah domestik, seperti mendidik anak dan mengelola rumah tangga, sementara peran di ranah publik dianggap kurang relevan bagi mereka.
Semua tindak-tanduk Ibu Tien Soeharto di masa Orde Baru menjadi standar ideal yang seolah harus diikuti oleh perempuan Indonesia. Sikap lemah lembut, selalu mendampingi suami, dan mengenakan kebaya dalam berbagai kesempatan menjadi representasi perempuan yang sesuai dengan nilai-nilai ibuisme negara. Namun, dibalik keanggunannya, kebaya kerap kali memuat batasan fisik yang nyata bagi perempuan. Dengan desain yang memprioritaskan estetika tradisional, kebaya sering membatasi ruang gerak perempuan, baik secara simbolis maupun praktis. Julia Suryakusuma menyebut fenomena ini sebagai bentuk ibuisme negara, atau state ibuism, yang secara sistematis mendomestikasi peran perempuan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Julia Suryakusuma menjelaskan bahwa ibuisme negara merupakan hasil pertemuan antara tradisi feodal dan sistem kapitalis (Trismaya, 2019). Perempuan dikonstruksikan sebagai pekerja domestik tanpa bayaran, menopang perekonomian negara dengan tenaga yang tidak diakui secara formal. Kebaya, sebagai simbol tradisional, turut memperkuat narasi ini. Sanggul yang membuat kepala sulit bergerak bebas, selop dan jarik yang membatasi langkah, serta korset, stagen, dan kemben yang membebat tubuh hingga sulit bernapas, semuanya menjadi metafora fisik dari kontrol yang diterapkan pada perempuan. Pada akhirnya, kebaya menjadi simbol: di satu sisi, ia merepresentasikan keanggunan budaya perempuan Indonesia, tetapi di sisi lain, ia juga menjadi wujud nyata dari pembatasan yang mengekang perempuan dalam ruang gerak mereka, baik secara fisik maupun sosial. Kebaya tidak hanya mencerminkan nilai tradisional, tetapi juga secara tidak langsung menegaskan posisi perempuan di bawah sistem patriarkal Orde Baru.
ADVERTISEMENT
Julia Suryakusuma, dalam eksibisi "Reading the Kebaya" oleh Victoria Cattoni (2003), menjelaskan bahwa kebaya memiliki dua sisi makna yang berbeda. Di satu sisi, kebaya bisa dianggap membebaskan karena mencerminkan keindahan, keanggunan, dan identitas budaya perempuan Indonesia. Kebaya dapat membantu perempuan merasa percaya diri dengan menonjolkan sisi feminin mereka. Namun, di sisi lain, kebaya juga bisa dianggap membelenggu karena sering digunakan untuk menempatkan perempuan dalam peran tertentu yang lebih banyak diatur oleh norma-norma sosial.
Cattoni juga menyebut bahwa perempuan yang memakai kebaya biasanya terlihat feminin dan anggun, tetapi kebaya juga membawa kesan seksi (Trismaya, 2019). Feminin sering dipandang sebagai sesuatu yang positif, karena berhubungan dengan kelembutan dan keanggunan, sedangkan kesan seksi lebih sering dipandang kontroversial di masyarakat. Dalam banyak kasus, kesan seksi ini bisa membuat perempuan terjebak dalam stereotip yang membatasi mereka untuk bergerak dan tampil di masyarakat terutama dalam budaya Indonesia.
ADVERTISEMENT
Di era modern, kebaya memiliki peluang untuk kembali hadir sebagai simbol kekuatan perempuan di ruang publik tanpa kehilangan esensi tradisionalnya. Penggunaan kebaya kini dapat disesuaikan dengan kebutuhan perempuan modern, baik dari segi desain, bahan, maupun kenyamanan, sehingga tidak lagi membatasi gerak fisik mereka. Kebaya tidak harus menjadi pakaian yang membelenggu, melainkan bisa menjadi alat ekspresi yang merepresentasikan identitas budaya sekaligus kemajuan perempuan Indonesia. Dalam berbagai acara formal hingga kegiatan sehari-hari, kebaya dapat menunjukkan bahwa perempuan Indonesia mampu memadukan tradisi dan modernitas. Dengan adaptasi ini, kebaya memiliki potensi untuk mempengaruhi ruang gerak perempuan secara positif, bukan lagi sebagai simbol pembatas, tetapi sebagai pengingat akan sejarah panjang perjuangan perempuan Indonesia yang tetap relevan di setiap motif dan benangnya.
Sumber Referensi:
Nagata, T., & Sunarya, Y. Y. (2023). Perkembangan kebaya kontemporer sebagai transformasi budaya. Jurnal Seni dan Reka Rancang: Jurnal Ilmiah Magister Desain, 5(2), 239-254.
ADVERTISEMENT
Trismaya, Nita. (2019). Kebaya Dan Perempuan: Sebuah Narasi Tentang Identitas. JSRW (Jurnal Seni Rupa Warna)
Adzhane, A. (2023). Cuap-cuap tentang Kebaya : Kebayanisasi Tien Soeharto dan Paham Ibuisme Negara. https://adzhane.medium.com/cuap-cuap-tentang-kebaya-kebayanisasi-tien-soeharto-dan-paham-ibuisme-negara-8c4d73fb2149