Tanjung Priok Tidak Seburuk Kata Mereka

Fazjri Abdillah
Independent journalist based in Jakarta.
Konten dari Pengguna
14 Juli 2021 13:34 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fazjri Abdillah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Tanjung Priok. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Tanjung Priok. (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
DKI Jakarta dikenal sebagai kota metropolitan dengan gedung-gedung pencakar langitnya. Megah dan mewah, berdiri tegap nan kokoh di atas tanah.
ADVERTISEMENT
Mengarah ke Utara Jakarta, terdapat sebuah 'kota kecil' yang terkenal akan stigma negatifnya yang dilontarkan oleh kebanyakan orang. Adalah Tanjung Priok, salah satu wilayah dengan tingkat aktivitas perekonomian tinggi di Indonesia. Selain perputaran uang dari aktivitas jual-beli di masyarakat, kegiatan ekspor-impor juga terjadi di 'kota kecil' ini, tepatnya di Pelabuhan Tanjung Priok. Satu dari sekian pelabuhan tersibuk di Indonesia. Tidak mengenal kata libur, truk peti kemas terus berlalu-lalang di sini, ‘merayap’ di jalan-jalan besar. Mendistribusikan barang-barang kepada distributor sebelum akhirnya jatuh di tangan konsumen.
'Kota kecil' yang terletak di sisi Utara Jakarta ini sudah lumrah menerima stigma dan stereotipe negatif dari masyarakat luar. Kesenjangan sosial memang masih ada di sini, di mana si ‘kecil’ hidup bersanding dengan si ‘besar’. Kriminalitas juga kerap terjadi di kota ini. Dan sampah-sampah masih ‘berkeliaran’ di sejumlah lokasi. Tapi, bukankah ketiga hal tersebut umum terjadi di kota-kota besar dunia?
ADVERTISEMENT
Berdasar pada sejarah, Tanjung Priok dulunya merupakan sebuah kawasan rawa-rawa dan hutan bakau. Seiring berjalannya waktu, pemerintah kolonial Belanda akhirnya mengubah Tanjung Priok menjadi kawasan terbuka sehingga menjadi kota pelabuhan. Bahkan Tanjung Priok pernah menjadi pelabuhan tersohor pada masanya. Di masa lalu, Tanjung Priok memang dikenal sebagai slum area dengan tingkat premanismenya yang tinggi. Kedua hal itulah yang memancing munculnya stigma negatif untuk 'kota kecil' ini. Namun, wajah Tanjung Priok sudah berkembang perlahan dari sebelumnya.
Masyarakat yang tinggal di 'kota kecil' ini dominan hidup tenang dengan kekerabatan di tengah keragaman yang begitu kental. Tanjung Priok adalah tanah harapan bagi para pribumi dan pendatang yang berasal dari berbagai pelosok wilayah Indonesia. Mereka ‘mengundi’ nasib dengan melakukan pekerjaan yang tidak terstruktur alias ‘kerja apa pun jadi asalkan halal’, mulai dari nelayan hingga tukang semir sepatu. Di sini, tersimpan 1001 kisah yang mengemas senyum, tawa, dan rasa-rasa lainnya, di balik derasnya kerja keras yang mengalir di setiap ruas jalan hingga sudut-sudut gang setiap harinya. Relasi-relasi besar di kota ini tumbuh di tengah masyarakat dari hal-hal kecil dan sederhana.
ADVERTISEMENT
Di 'kota kecil' ini, orang-orang tumbuh dan berproses setiap harinya. Karakter yang kuat, membuat kebanyakan masyarakat di sini mampu bertahan dari keras dan kejamnya kehidupan. Tanjung Priok adalah tanah eksotis sekaligus surga, bagi mereka yang mampu memaknai kehidupan sebagaimana mestinya. Tanjung Priok tetaplah menjadi surga, bagi mereka yang pintar perihal bersyukur, sekalipun hanya mendapatkan lima lembar mata uang Rp.1.000,00 per harinya.
Tanjung Priok, tidak seburuk kata mereka.
(Fazjri Abdillah/Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta)