Konten dari Pengguna

Illusory Truth Effect dan Bahayanya dalam Pemilu

Ferdian Ahya Al Putra
Dosen Hubungan Internasional, Universitas Sebelas Maret
16 Januari 2024 16:07 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ferdian Ahya Al Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Demokrasi. Foto: Unsplash/Arnaud Jaegers
zoom-in-whitePerbesar
Demokrasi. Foto: Unsplash/Arnaud Jaegers
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2024 ini, masyarakat Indonesia akan menjalani pesta demokrasi untuk memilih calon anggota legislatif dan calon presiden serta calon wakil presiden yang akan memimpin Indonesia 5 tahun mendatang.
ADVERTISEMENT
Kontestasi dalam pemilihan umum merupakan suatu keniscayaan, sehingga sebagai upaya untuk memperoleh suara masyarakat, berbagai langkah dan strategi dilakukan. Strategi yang diambil tidak menjadi masalah ketika masih berada pada koridor demokrasi yang sehat.
Namun, pada praktiknya terdapat banyak pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan. Berbagai pelanggaran tersebut misalnya dilakukan dengan kampanye hitam atau black campaign dan munculnya berbagai macam ujaran kebencian, dan berita bohong.
Terlebih lagi, di era keterbukaan informasi ini, sering muncul narasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Fenomena ini sering dikaitkan dengan istilah misinformasi, disinformasi, dan malinformasi.
Definisi menurut The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menjelaskan bahwa misinformasi adalah informasi yang tidak akurat, namun pihak yang menyebarkannya berkeyakinan bahwa informasi tersebut benar dan dapat dipercaya. Kemudian, disinformasi adalah informasi yang tidak benar namun direkayasa sedemikian rupa oleh pihak-pihak yang berniat membohongi masyarakat, sengaja ingin mempengaruhi opini publik dan mendapatkan keuntungan tertentu.
ADVERTISEMENT
Sementara, malinformasi merupakan informasi yang memiliki cukup unsur kebenaran, baik berdasarkan penggalan atau keseluruhan fakta objektif, namun dikemas sedemikian rupa untuk melakukan tindakan yang merugikan bagi pihak lain atau kondisi tertentu, ketimbang berorientasi pada kepentingan publik.
Dari ketiga hal di atas, disinformasi atau hoaks sering menjadi ancaman bagi pesta demokrasi. Menurut data yang dirilis Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), telah teridentifikasi terdapat 203 isu hoaks dengan total sebaran di platform digital sebanyak 2.882 konten per Januari 2024.

Mengapa disinformasi atau hoaks berbahaya dalam Pemilu?

Pada studi tentang media, terdapat istilah illusory truth effect, yang menurut Lynn Hasher, et al (1977), merupakan sebuah fenomena seperti kebohongan yang diungkapkan terus menerus atau disebarluaskan kepada seseorang, sehingga seseorang tersebut yakin oleh kebenaran tersebut.
ADVERTISEMENT
Sementara menurut Bromberg (2023), ini mengacu pada kecenderungan manusia untuk mempercayai suatu informasi sebagai kebenaran setelah diekspos berkali-kali. Dengan kata lain, jika masyarakat mendengar atau membaca sesuatu berulang kali, kemungkinan besar masyarakat akan memercayainya, walaupun hal tersebut bertentangan dengan pengetahuan sebelumnya.
Berbagai disinformasi/hoaks yang beredar di masyarakat dalam hal ini menjadi berbahaya ketika itu disebarkan secara terus menerus, sehingga informasi tersebut dianggap menjadi suatu kebenaran. Kebenaran ini tentunya hanya bersifat ilusi yang berpotensi menyebabkan persoalan yang lebih besar, terutama ketika ini menyangkut isu-isu SARA karena mampu menyebabkan potensi disintegrasi bangsa.
Menyadari bahwa illusory truth effect berpotensi menyebabkan disintegrasi bangsa dan mampu menggiring opini masyarakat, maka kita perlu menyikapi dengan serius terkait berbagai informasi pemilu yang kita peroleh. Masyarakat harus pandai memilah mana informasi yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, dan mana yang termasuk dalam misinformasi, disinformasi, maupun malinformasi.
ADVERTISEMENT
Ketika menemui fenomena tersebut, maka sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk melaporakannya pada pihak berwenang seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dinas Komunikasi dan Informasi setempat, sehingga pihak terkait dapat mengklarifikasi kebenarannya.
Satu hal yang tidak kalah penting adalah dengan menanamkan pada diri masing-masing bahwa perbedaan pilihan bukanlah suatu masalah. Dengan demikian, masyarakat dapat terhindar dari fanatisme berlebihan, sehingga tidak melakukan kampanye hitam terutama yang berkaitan dengan illusory truth effect.