Konten dari Pengguna

Korupsi dan Hakim Konstitusi Seumur Hidup

Feri Amsari
Anak kampung. Peminat studi hukum tata negara, konstitusi, perbandingan hukum, dan hukum pidana.
1 Februari 2017 15:56 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Feri Amsari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi hakim (Foto: Eddward SK)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hakim (Foto: Eddward SK)
Di tengah keributan tertangkap tangannya salah satu hakim konstitusi, ada sekelumit cerita lain. Soal nafsu berkuasa.
ADVERTISEMENT
Saat ini, masa jabatan hakim konstitusi hendak diubah. Model masa jabatan 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali periode (total 10 tahun) dianggap gagal menghasilkan hakim konstitusi yang independen.
Mahkamah Konstitusi mengusulkan -melalui rancangan undang-undang Mahkamah Konstitusi (RUU-MK)- lima variasi masa jabatan, yaitu: 5 tahun, 8 tahun, 9 tahun, sampai pensiun (berusia 70 Tahun), bahkan seumur hidup (Kompas, 26 November 2016).
Bersamaan dengan usul itu, MK sedang menyidangkan perkara Nomor 53/PUU-XIV/2016 dan Nomor 73/PUU-XIV/2016 yang pada pokoknya menghendaki hakim konstitusi menjabat hingga pensiun, bahkan seumur hidup.
Pada perkara Nomor 53, MK diminta membatalkan ketentuan yang mengatur masa jabatan 5 tahun bagi hakim konstitusi. Pemohon mendalilkan bahwa pendeknya masa jabatan tersebut telah menyebabkan hakim konstitusi tidak independen.
ADVERTISEMENT
Meskipun tidak mencantumkan bukti yang cukup untuk menjelaskan ketidak-independenan hakim konstitusi selama ini, Pemohon meminta agar hakim konstitusi dapat menjabat hingga berusia 70 tahun.
Sedangkan pada perkara Nomor 73, Pemohon juga meminta agar pasal-pasal tentang masa jabatan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Meski tidak memberikan tawaran model masa jabatan hakim konstitusi, Pemohon dalam dalil-dalil (posita) permohonannya memberikan pandangan bahwa masa jabatan seumur hidup adalah model yang mampu menjaga independensi hakim sebagaimana diterapkan di Belanda.
Melalui dalil itu, Pemohon sedang menawarkan kesempatan bagi hakim konstitusi untuk menafsirkan bahwa masa jabatan seumur hidup adalah model yang paling cocok diterapkan.
Dua permohonan itu pada dasarnya searah dengan usulan MK di atas. Sehingga dapat dirasakan bahwa hakim konstitusi memiliki kepentingan tersendiri dalam permohonan tersebut.
ADVERTISEMENT
Dari sudut pandang hukum, hakim konstitusi telah terjebak melanggar asas nemo judex in causa sua (hakim tidak dapat mengadili perkara yang berkaitan dengan dirinya sendiri).
Seumur hidup
Secara konstitusional, masa jabatan seumur hidup tidak dikenal dalam UUD 1945 awal maupun hasil perubahan. Tidak satu pasal pun dalam konstitusi yang memberikan masa jabatan seumur hidup pada pejabat lembaga negara tertentu, termasuk hakim konstitusi dan hakim agung.
Untuk masa jabatan yang sangat panjang itu, sekiranya memang penting bagi perlindungan independensi hakim, mustahil para penyusun konstitusi tidak mencantumkannya secara eksplisit di dalam batang tubuh UUD 1945.
Berbeda dengan UUD 1945, penyusun Konstitusi Amerika memang memberikan kesempatan agar masa jabatan seumur hidup diterapkan bagi hakim agung dan hakim lainnya. Artikel III Bagian 1 Konstitusi Amerika mengatur ketentuan bahwa hakim akan terus menjabat sepanjang berkelakuan baik (shall hold their offices during good behavior).
ADVERTISEMENT
Hakim hanya akan berhenti jika meninggal dunia, memutuskan untuk pensiun, atau terbukti melakukan pelanggaran dalam sidang impeachment (gugatan pemberhentian). Meskipun termaktub di dalam Konstitusi Amerika, tidak sedikit pakar yang mengeritik model masa jabatan hakim tersebut.
Setidaknya terdapat dua alasan utama penolakan terhadap masa jabatan seumur hidup. Pertama, Philip Oliver menyebut masa jabatan yang terlalu panjang cenderung akan dimanfaatkan hakim untuk keuntungan pribadi.
Adagium Lord Acton, “power tends to corrupt, absolute powers corrupt absolutely,” menguatkan pendapat Oliver tersebut.
Kedua, masa jabatan yang terlalu panjang menyebabkan turunnya kualitas putusan. Henry Paul Monaghan menyebut faktor usia uzur yang disertai menurunnya kemampuan telah menghasilkan putusan yang buruk (Steven Calabresi dan James Lindgren; 2005).
ADVERTISEMENT
Jika pandangan Monaghan itu dipahami berdasarkan konteks kewenangan hakim konstitusi di Indonesia, maka dapat dibayangkan kualitas putusan hakim konstitusi jika diberi jabatan seumur hidup. Apalagi persidangan MK dibatasi tenggat waktu sehingga segala sesuatu harus diputus dengan cepat dan berkualitas.
MK harus memutuskan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah sebelum 45 hari kerja dan 14 hari kalender dalam perselisihan hasil pemilu Presiden. Sanggupkah hakim konstitusi yang berusia uzur menjalani proses persidangan yang mendesak dengan kualitas putusan yang tetap mampu menjaga demokrasi konstitusional?
Saya terus terang meragukannya. Keraguan saya memiliki alasan.
Secara perbandingan, tidak ada hakim konstitusi di negara apapun yang menjabat seumur hidup. Hanya negara-negara yang tidak memiliki Mahkamah Konstitusi saja yang menerapkan masa jabatan seumur hidup bagi hakimnya, seperti Amerika dan Belanda.
ADVERTISEMENT
Tidak terdapatnya jabatan seumur hidup pada Mahkamah Konstitusi di dunia karena hakim konstitusi memiliki tanggung-jawab memutuskan perkara-perkara yang berkaitan dengan kualitas demokrasi dan politik.
Permohonan yang berupaya memberikan masa jabatan seumur hidup bagi hakim konstitusi di Indonesia tidak hanya akan merusak tatanan pengadilan konstitusional tersebut tetapi juga akan berbahaya terhadap perlindungan kualitas demokrasi konstitusional di negeri ini.
Lalu adakah alasan kepentingan konstitusional yang memaksa (constitutional importance) MK untuk menyidangkan perkara yang memperpanjang masa jabatannya sendiri? Saya hanya melihat kepentingan pribadi hakim dalam upaya perpanjangan masa jabatan ini.
Marwah
Asas hakim dilarang menyidangkan perkara yang berkaitan dengan kepentingannya adalah upaya melindungi marwah hakim dan putusannya. Tanpa asas nemo judex in causa sua, hakim dan putusannya dapat dicurigai publik telah menyusupkan kepentingan personal atau kelompoknya (conflict of interest) untuk memperoleh keuntungan.
ADVERTISEMENT
Apabila masalah kepentingan orang lain saja dikorupsi, apalagi perihal kepentingan diri sendiri. Itu sebabnya kerap putusan Mahkamah Konstitusi dicurigai memiliki kepentingan tak sehat, peradilan akan kehilangan marwah dan akan ditinggalkan para pencari keadilan.
Wajar kemudian ketika hakim konstitusi menyidangkan perkara yang menginginkan perpanjangan masa jabatan bagi dirinya sendiri dilaksanakan, beberapa pihak merasa hakim konstitusi sedang “merobek” jubah penuh marwah dan kewibawaannya sendiri.
Apa perlunya jabatan seumur hidup jika nama baik menjadi cela kemudian? Apa gunanya jabatan seumur hidup jika dimanfaatkan untuk korupsi?
Mungkin maxim tradisional ini dapat mengingatkan hakim konstitusi untuk terus menjaga marwahnya: “gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama baik.”
ADVERTISEMENT
Hakim pada dasarnya akan mewariskan putusan-putusannya. Putusan-putusan yang baik akan terus dikenang anak-cucu kita. Sebaliknya, putusan-putusan yang buruk akan terus menghinakan pembuatnya. Semoga marwah hakim konstitusi terus terjaga.
Feri Amsari
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas; Pengurus DPP Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Anggota Koalisi Selamatkan MK