Konten dari Pengguna

Pencegahan Korupsi Di Tingkat Pendidikan Perguruan Tinggi

Albert Saragih
Journalist At EZO Group Indonesia
26 Desember 2020 19:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Albert Saragih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Stop Korupsi Pada Tingkat Perguruan Tinggi
zoom-in-whitePerbesar
Stop Korupsi Pada Tingkat Perguruan Tinggi
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini kita dikejutkan oleh 2 menteri yaitu menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan menteri sosial Juliandri Batubara yang tertangkap dalam selang waktu hanya seminggu saja karena tersangkut kasus korupsi. Seperti yang kita ketahui kedua menteri ini sama-sama bergelar Magister, bahkan salah satunya bergelar Doktor. Dari sini kita bisa lihat tingginya pendidikan seseorang tidak menjamin integritas seseorang. Bahkan mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi 2015-2019 , Laode M Syarif, mengatakan bahwa dalam rentang waktu 2004-2015, sebanyak 86% pelaku korupsi merupakan lulusan perguruan tinggi. Dengan adanya hal ini kita dapat melihat bahwa pendidikan moral di ranah perguruan tinggi masih belum efektif dan maksimal dalam membangun integritas dan akuntabilitas para lulusannya.
ADVERTISEMENT
Adapun tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk meninjau apakah praktik korupsi di lingkungan kampus marak pelaksanaannya oleh mahasiswa. Dan juga langkah-langkah apa yang telah dilakukan dan juga harus dilakukan oleh pihak perguruan tinggi dan pemerintah untuk mencegah pelanggaran ini, karena sebenarnya mahasiswa merupakan generasi penerus bangsa yang akan memegang jabatan di masa depan. Jika saat berkuliah saja sudah sering melakukan korupsi, bagaimana saat memegang jabatan nanti?
Banyaknya pelaku melakukan tindak pidana korupsi disebabkan karena berbagai kesempatan yang ada. Kesempatan ini tidak hanya ada saat seseorang sudah memiliki jabatan tinggi namun kesempatan dapat ditemukan sejak seseorang menjadi mahasiswa. Pada lingkungan kampus ada beberapa kesempatan yang dapat dimanfaatkan oleh mahasiswa untuk melakukan tindakan korupsi terutama pada saat mahasiswa mengelola sebuah program kerja. Program kerja kegiatan kampus dan organisasi adalah tempat yang sangat rentan untuk melakukan praktik korupsi dikarenakan rendahnya tingkat pengawasan oleh pihak kampus.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, korupsi yang dilakukan di kalangan mahasiswa juga termasuk perbuatan sekecil melakukan berbagai kecurangan seperti menyontek dan plagiarisme. Dengan melakukan tindakan-tindakan tersebut membuktikan kurangnya integritas yang dimiliki oleh para mahasiswa.
Dengan semakin tingginya pendidikan seseorang juga memberi kesempatan bagi orang tersebut memperoleh jabatan yang semakin tinggi pada sebuah institusi. Dan semakin tingginya jabatan seseorang juga memberi kesempatan baginya untuk melakukan tindak korupsi. Ini karena di jabatan yang semakin tinggi, jumlah pengawasan semakin rendah dan akses yang didapatkan juga semakin banyak.
Sejauh ini pemerintah telah melakukan beberapa upaya untuk mengurangi praktik korupsi oleh mahasiswa. Salah satunya adalah pendidikan moral khususnya pada pendidikan pancasila dan kewarganegaraan di dalam sistem edukasi seperti yang tercantum Pasal 37 UU Sisdiknas mewajibkan kurikulum pendidikan dasar, menengah, dan tinggi memuat pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan moral yang diupayakan pemerintah bertujuan untuk meningkatkan kapasitas berpikir secara moral dan mengambil keputusan dengan menekankan pada metode pertimbangan moral. Pendidikan moral ini merupakan upaya pencegahan praktik korupsi dengan memberikan seseorang dasar-dasar dan pola pikir yang sesuai dengan moralitas. Upaya peningkatan moral melalui pendidikan adalah faktor kunci yang bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang korupsi.
ADVERTISEMENT
Pendekatan preventif memiliki peran yang sangat strategis dalam pemberantasan korupsi karena upaya pencegahan akan bersifat lebih luas dengan efek jangka panjang terhadap lingkungan bebas korupsi. Partisipasi pendidikan dalam upaya mencegah korupsi memiliki posisi strategis antisipatif. Beberapa negara yang memiliki tingkat korupsi yang tinggi telah mendorong budaya anti korupsi melalui berbagai upaya. Tidak kalah pentingnya Indonesia, beberapa daerah telah melakukan upaya untuk meningkatkan budaya anti-korupsi. Itu didasarkan pada sensitivitas terhadap masalah bangsa yang telah dicegah dari mata dari generasi bangsa di sektor pendidikan.
Marvin Berkowitz (1998) menyatakan bahwa pendidikan moral yang dilakukan sekolah tidak memperhatikan dampak dari pendidikan yang diberikan kepada perubahan perilaku. Pendidikan moral yang sekarang diterapkan pada sistem edukasi di Indonesia hanya memberikan aspek pengetahuan kepada pelajar dan tidak mendorong seseorang untuk mengaplikasikannya pada kesehariannya.
ADVERTISEMENT
Salah satu langkah yang harus dilakukan untuk memberhentikan praktik korupsi yang dilakukan oleh mahasiswa adalah dengan cara melakukan tindakan represif berupa sanksi yang berat agar para pelaku mendapatkan efek jera sehingga mereka tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Permasalahanya, di Indonesia sendiri setiap perguruan tinggi memiliki peraturan dan sanksi yang berbeda terhadap para mahasiswa yang melakukan korupsi sehingga tidak semua mahasiswa mendapatkan perlakuan dan sanksi yang sama atas perlakuan korupsi yang dilakukan. Hal ini tentunya membuat tidak ada jaminan bagi seluruh mahasiswa di Indonesia yang melakukan tindakan korupsi di lingkungan kampus mendapatkan efek jera yang sama sehingga memperkecil peluang praktik korupsi terjadi kedepannya.
Contoh tindakan represif yang ternilai sangat efektif adalah yang dilakukan di negara Cina. Disana tindakan menyontek saat ujian serentak masuk universitas dapat dikenakan hukuman hingga 7 tahun penjara. Cara itu mungkin terkesan terlalu ekstrim namun itu dinilai perlu mengingat tingkat keketatan pada seleksi masuk universitas di negeri itu sangat tinggi.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia sendiri walaupun urgensinya belum seperti di Cina, pemerintah tetap perlu membuat peraturan tegas untuk menangani masalah ini. Pemerintah dapat memberlakukan drop out bagi mereka yang melakukan kecurangan, baik itu menyontek saat ujian maupun plagiarisme dalam pembuatan makalah. Terbukti di perguruan tinggi yang memberlakukan ini seperti Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), tindakan kecurangan seperti ini sangat minim terdeteksi. Bahkan di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), peraturan ini dibarengi dengan beberapa peraturan lainnya seperti nilai minimal IPK membuat standarisasi nilai yang relatif tinggi pada nilai para mahasiswanya. Dari hal ini kita dapat melihat bahwa sanksi yang tegas tidak hanya akan membangun integritas di dalam diri para mahasiswa, tetapi juga mendorong para mahasiswa untuk lebih berprestasi.
ADVERTISEMENT
Lain halnya dengan mahasiswa yang berasal dari kampus yang tidak memiliki peraturan serupa, menyontek dan plagiarisme menjadi suatu hal yang lazim dilakukan. Mahasiswa terbiasa meniru jawaban tugas temannya dan bahkan menyewa joki untuk menyelesaikan tugasnya. Menyontek saat ujian juga sering dilakukan, bahkan beberapa mahasiswa sampai-sampai membawa telepon seluler untuk memudahkan aksinya tersebut.
Oleh karena itu diperlukan peraturan pemerintah mengenai penyeragaman sanksi yang ketat terhadap tindak korupsi yang dilakukan oleh mahasiswa seperti contohnya hukuman drop out bagi mahasiswa yang melakukan hal apapun yang terkait dengan tindak pidana korupsi di kampus. Sehingga para pelaku mendapatkan efek jera dan tidak akan mengulangi perbuatannya kelak nanti. Pemerataan sanksi juga diperlukan untuk mengatasi tindakan korupsi di tingkat mahasiswa. Sanksinya dapat berupa mengulang mata kuliah tersebut ataupun drop out. Selain efektif untuk memberi efek jera, ini juga dapat membuat mahasiswa berpikir kembali sebelum melakukan berbagai tindak kecurangan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan pada pembahasan sebelumnya, terdapat beberapa hal yang dapat dibenahi dalam membangun karakter lulusan perguruan tinggi kita yang tidak hanya memiliki kompetensi, tetapi juga berintegritas. Pendidikan moral yang selama ini ada hanya sebatas edukasi tentang pembeda benar dan salah, tetapi kurang efektif dalam mendidik para pelajar untuk menjauhi perbuatan yang salah. Ini karena orang-orang tahu bahwa walaupun perbuatan itu salah, mereka diuntungkan. Oleh karena itu perlu diadakan perombakan kurikulum yang tidak hanya memberi tahu perbedaan baik dan buruk, tetapi juga mendorong yang dididik untuk menjauhi perbuatan yang salah.
Sumber:
ADVERTISEMENT