Meredupnya Etika Para Penegak Hukum di Indonesia

Ferina Widyawati Ayu Silvi
Mahasiswa Fakultas Hukum UAD
Konten dari Pengguna
24 Desember 2020 11:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ferina Widyawati Ayu Silvi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Gambar diambil dari: Hukumonline.com "Kala Penegak Hukum Masih Melanggar Hukum"
Etika menjadi salah satu obyek pembahasan yang sering kita dengar di kalangan masyarakat. Ketika masyarakat memperbincangkan sikap dan perilaku seseorang, dapat dipastikan bahwa “etika” akan menjadi obyek menarik yang menimbulkan perdebatan panjang. Apalagi ketika masyarakat dihadapkan dengan etika para penegak hukum di negara ini yang realitanya semakin hari semakin meredup dan mengalami kemerosotan. Seolah-olah menjadi hal yang lumrah ketika para penegak hukum justru melanggar hukum dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) serta melakukan perbuatan tercela.
ADVERTISEMENT
Menurut K. Bertens ada dua pengertian etika, yakni etika sebagai praktis dan sebagai refleksi. Sebagai praktis, etika berarti nilai- nilai dan norma- norma moral yang baik yang dipraktikkan atau justru tidak dipraktikkan, walaupun seharusnya dipraktikkan. Etika sebagai praktis sama artinya dengan moral atau moralitas yaitu apa yang harus dilakukan, tidak boleh dilakukan, pantas dilakukan, dan sebagainya. Etika sebagai refleksi adalah pemikiran moral.
Ruang lingkup dari istilah “penegak hukum” luas sekali, karena mencakup mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung berkecimpung dibidang penengakan hukum, mencakup bertugas dibidang-bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan, dan pemasyarakatan (Soerdjono Soekanto, 2005: 64). Penegak hukum merupakan pilar penting dalam mewujudkan cita-cita bangsa ini yakni mewujudkan kesejahteraan rakyat, memberikan perlindungan terhadap masyarakat serta mewujudkan hukum yang berkeadilan.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, masyarakat kerapkali dihadapkan dengan pelbagai kasus penegak hukum yang melanggar hukum, melanggar HAM, dan melakukan perbuatan-perbuatan tercela. Tidak jarang kita mendengar kabar bahwa telah terjadi kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), penganiayaan, pelecehan dan pengedaran narkoba yang melibatkan para penegak hukum. Seperti kasus yang baru-baru ini terjadi yakni pencabulan seorang anak dibawah umur yang melanggar lalu lintas. Yang mana dalam kasus ini ternyata pelakunya adalah seorang oknum polisi yakni Brigadir DY. Dengan barang bukti keterangan korban dan hasil visum dokter, Polisi tersebut akhirnya ditetapkan sebagai tersangka dan diancam Pasal 76 UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan anak dengan ancaman 15 tahun penjara (Republika, 21/092020).
Kemudian, pelanggaran hukum juga dilakukan oleh pengacara, salah satunya yakni Anita Kolopaking yang merupakan buronan kasus korupsi Bank Bali Djoko Tjandra. Anita Kolopaking telah ditetapkan sebagai tersangka pembuatan surat jalan palsu Korps Bhayangkara (CNN Indonesia, 30/07/2020). Selain itu, pelanggaran hukum juga dilakukan oleh seorang hakim. Dimana seorang hakim bernama hakim lasito dinonaktifkan oleh Mahkamah Agung usai ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan suap Bupati Jepara Ahmad Marzuqi (CNN Indonesia, 07/12/2012).
ADVERTISEMENT
Kasus-kasus tersebut hanya sebagian kecil saja, masih banyak kasus pelanggaran hukum lain yang melibatkan para penegak hukum. Dari situ menunjukkan bahwa etika penegak hukum di negara ini telah mengalami peredupan. Alih-alih memberikan contoh yang baik pada masyarakat, mereka justru melakukan perbuatan tercela yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Penegak hukum dibebani oleh harapan masyarakat untuk bertanggungjawab dan menjalankan tugasnya sesuai aturan yang ada dan berorientasi pada masyarakat yang dilayani. Sehingga, segala tindakan dan perbuatan mereka akan selalu menjadi sorotan publik.
Meredupnya etika para penegak hukum tersebut akan berakibat pada hilangnya kepercayaan publik terhadap para penegak hukum. Masyarakat akan beranggapan “tak apa melanggar hukum, wong penegaknya saja melanggar hukum kok”. Ketika hal tersebut benar-benar terjadi maka tindakan pelanggaran dan perbuatan tercela tidak akan dapat dihindarkan lagi dan aturan-aturan yang ada pun hanya akan menjadi formalitas semata. Penyair Syauqy Beq menyebutkan ”sesungguhnya bangsa itu jaya selama mereka masih mempunyai akhlak (moral) yang mulia, maka apabila akhlak mulianya telah hilang, maka hancurlah bangsa itu”.
ADVERTISEMENT