Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
OPINI: Pilkada 2024: Bagaimana Media Sosial Mengubah Cara Kita Memilih
1 Desember 2024 18:44 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Feriyadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
a 2024

Bagaimana Media Sosial Mengubah Cara Kita Memilih pada Pilkada 2024
ADVERTISEMENT
Dalam era digital yang semakin maju, media sosial telah menjadi salah satu alat komunikasi yang paling berpengaruh di dunia. Tidak hanya mengubah cara kita berinteraksi sehari-hari, media sosial juga memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk opini publik dan memengaruhi pilihan politik pada masyarakat. Dapat kita ambil contoh dalam Pilkada 2024 yang menjadi salah satu momen penting untuk mengukur sejauh mana pengaruh media sosial ini, apakah lebih banyak memberikan manfaat sebagai sarana edukasi politik dan penyampaian informasi, atau justru membawa ancaman dengan penyebaran hoaks, ujaran kebencian, serta polarisasi masyarakat. Bagaimana sebenarnya dampak media sosial terhadap kualitas demokrasi kita di tengah tantangan yang semakin kompleks ini?
Pilkada 2024 diprediksi menjadi ajang politik yang penuh warna, dikarenakan akibat dorongan dari sebagian besar media sosial. Platform yang biasa kita gunakan seperti Facebook, Instagram, TikTok, dan Twitter kini menjadi panggung utama bagi kandidat dalam berkampanye dan menjangkau pemilih. Hal ini tidak hanya mempermudah akses informasi politik, tetapi media sosial juga memungkinkan interaksi langsung antara pemimpin dan masyarakat. Namun dalam hal tersebut, fenomena ini tidak lepas dari sejumlah tantangan. Yang dimana tantangan tersebut dapat dilihat seperti adanya disinformasi, manipulasi algoritma, hingga polarisasi yang semakin tajam menjadi ancaman nyata. Dalam konteks demokrasi Indonesia, media sosial menghadirkan peluang sekaligus risiko yang perlu diantisipasi secara bijak oleh semua masyarakat yang menggunakan media sosial tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks media sosial pada politik saat ini, memberikan kebebasan berekspresi yang luar biasa. Yang dimana setiap kandidat kepala daerah kini dapat memanfaatkan platform ini untuk menyampaikan visi-misi, menjawab kritik, atau bahkan berinteraksi secara langsung dengan masyarakat. Namun, apakah keterbukaan ini benar-benar menghasilkan pemilu yang lebih transparan dan demokratis? bisa kita jawab bersama-sama sesuai sudut pandang kita masing-masing. Atau sebaliknya, apakah media sosial justru menjadi ladang subur bagi hoaks, ujaran kebencian, serta kampanye hitam yang mengaburkan kebenaran? Dengan jumlah pengguna media sosial di Indonesia yang mencapai lebih dari 139 juta orang dari total populasi Indonesia aktif menggunakan media sosial per januari 2024, pertanyaan ini menjadi semakin relevan.
Media sosial telah mengubah lanskap atau tata ruang politik dengan memberikan akses informasi yang lebih luas. Pada Pilkada sebelumnya, banyak kandidat menggunakan media sosial untuk menjangkau pemilih muda, yang kini menjadi kelompok mayoritas dalam daftar pemilih. Kampanye berbasis media sosial lebih hemat biaya dibandingkan iklan televisi atau baliho. Namun, di balik kelebihannya, ada tantangan besar yang mengintai yaitu seperti:
ADVERTISEMENT
1. Disinformasi dan Hoaks
Menurut data Kominfo yang diperlihatkan, hoaks politik meningkat signifikan menjelang pemilu. Yang mana media sosial disini sering kali menjadi sarana penyebaran informasi palsu yang dirancang untuk memanipulasi opini publik. Misalnya, klaim palsu tentang kandidat tertentu yang sengaja diviralkan untuk merusak citra mereka.
2. Fenomena Filter Bubble dan Echo Chamber
Algoritma media sosial dirancang untuk menyajikan konten yang relevan dengan preferensi pengguna. Hal ini menciptakan ruang gema (echo chamber), Yang di mana pengguna hanya terpapar informasi yang mendukung pandangan mereka. Akibatnya, diskusi yang seharusnya konstruktif berubah menjadi penguatan bias yang memperburuk polarisasi.
3. Pengaruh Buzzer dan Kampanye Hitam
Di media sosial, banyak buzzer dan akun anonim menjadi alat yang sering digunakan untuk menggiring opini. Mereka menyebarkan narasi yang menguntungkan pihak tertentu, tanpa memperhatikan etika atau kebenaran informasi. Dalam konteks Pilkada, praktik ini tidak hanya merusak demokrasi, tetapi juga memperkeruh kepercayaan publik terhadap proses politik.
ADVERTISEMENT
"Ibarat sebilah keris bermata dua, selain memberi tantangan, media sosial juga memberi peluang partisipasi publik yang lebih luas dalam proses politik. Rakyat dapat dengan cepat merespons isu-isu terkini, membagikan pandangan mereka, dan berpartisipasi dalam kampanye politik dengan cara yang tidak pernah mungkin sebelumnya. Media sosial memberikan akses cepat dan mudah terhadap berita dan informasi politik. Ini memungkinkan masyarakat untuk lebih terinformasi dan dapat mengambil keputusan yang lebih baik dalam proses demokrasi." - Bagas Dirgantara Yusa. Namun, ketika informasi palsu atau manipulasi algoritma mendominasi, dampaknya bisa sangat merugikan." Contoh nyatanya dapat dilihat pada pemilu di berbagai negara, di mana media sosial menjadi medan perang informasi. Pengalaman ini seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia dalam pelaksanaan Pilkada 2024.
ADVERTISEMENT
Media sosial merupakan pisau bermata dua dalam konteks Pilkada 2024. Di satu sisi, platform ini memberikan ruang yang lebih besar bagi kandidat untuk menjangkau masyarakat luas. Namun, di sisi lain, ancaman disinformasi, polarisasi, dan manipulasi algoritma tidak bisa diabaikan. Sehingga kita sebagai pengguna media sosial harus bijak dalam mengambil langkah untuk mengatasi tantangan ini, ada beberapa langkah yang dapat diambil yaitu:
1. Meningkatkan Literasi Digital
Pendidikan literasi digital harus digencarkan, terutama untuk generasi muda, agar mereka mampu menyaring informasi dan tidak mudah terpengaruh oleh hoaks.
2. Regulasi yang Lebih Ketat
Pemerintah perlu memperkuat regulasi terhadap konten politik di media sosial, termasuk penerapan sanksi tegas terhadap penyebar hoaks.
3. Komitmen Etis dari Kandidat
ADVERTISEMENT
Kandidat dan tim kampanye perlu bersaing secara sehat dengan mengedepankan program kerja yang berbasis fakta, bukan manipulasi.
4. Partisipasi Aktif dari Masyarakat
Sebagai pemilih, masyarakat memiliki tanggung jawab untuk menjadi kritis dan bijaksana dalam menerima informasi. Diskusi sehat harus dikedepankan untuk menciptakan demokrasi yang lebih inklusif.
Pilkada 2024 merupakan momentum penting bagi Indonesia. Media sosial harus dimanfaatkan untuk memperkuat demokrasi, bukan merusaknya. Dengan kerja sama dari semua pihak, kita dapat memastikan bahwa proses demokrasi tetap berjalan jujur, adil, dan berintegritas. Sehingga dari hal tersebut, kita dapat mengaitkannya dengan teori Sistem Pemerintahan Indonesia, terutama dalam konteks demokrasi Pancasila dan kedaulatan rakyat sebagaimana yang sudah diatur dalam UUD 1945. Demokrasi Pancasila menekankan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan politik, dan media sosial menjadi medium penting untuk mendukung partisipasi tersebut. Dengan akses informasi yang lebih luas, media sosial memungkinkan rakyat untuk menyalurkan aspirasi dan mengawasi jalannya pemerintahan. Namun, ada juga beberapa tantangan yang dihadapi, seperti penyebaran hoaks dan manipulasi algoritma, yang dapat mengancam kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 UUD 1945. Untuk menjaga kualitas demokrasi, pemerintah diharapkan memperkuat regulasi terhadap konten politik di media sosial, sementara literasi digital menjadi bagian penting dari pendidikan kewarganegaraan agar masyarakat dapat berperan aktif dan kritis. Oleh karena itu, media sosial harus dikelola dengan bijak agar dapat memperkuat demokrasi Indonesia, sesuai dengan prinsip transparansi, keadilan, dan integritas dalam sistem pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Feriyadi, Mahasiswa PPKn Universitas Tanjungpura.