news-card-video
5 Ramadhan 1446 HRabu, 05 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Saatnya Kembali pada Kepemimpinan Berbasis Gagasan

Fernanda Putra Aditya
Fungsionaris Bidang Kajian Nilai dan Ideologi PB PMII, Alumnus Perpajakan Universitas Terbuka dengan Konsentrasi Pengawasan dan Kebijakan Pajak serta Fakultas Hukum UPN "Veteran" Jawa Timur dengan Konsentrasi Hukum Tata Negara
4 Maret 2025 11:02 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fernanda Putra Aditya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gagasan harus menjadi dasar fundamental dalam sebuah kepemimpinan.
zoom-in-whitePerbesar
Gagasan harus menjadi dasar fundamental dalam sebuah kepemimpinan.
ADVERTISEMENT
“Ketika berdemokrasi tanpa menggunakan gagasan, maka kita seperti berjalan tanpa arah.” – Anies Baswedan, dalam Podcast Keep Talking (01/03/2025).
ADVERTISEMENT
Pernyataan Anies Baswedan ini mencerminkan kondisi kepemimpinan saat ini, di mana pemimpin yang seharusnya dipilih karena visi dan pemikirannya justru lebih banyak ditentukan oleh elektabilitas, pencitraan, dan kekuatan logistik.
Dalam beberapa tahun terakhir, politik nasional semakin didominasi oleh kalkulasi elektoral dan strategi pencitraan, sementara ruang untuk pertarungan gagasan semakin menyempit. Debat kebijakan yang seharusnya menjadi tolak ukur kualitas pemimpin kini tergantikan oleh survei popularitas dan strategi komunikasi politik yang dikemas dengan narasi populis. Akibatnya, banyak pemimpin yang naik ke tampuk kekuasaan bukan karena kapasitas intelektual atau rekam jejak yang kuat, tetapi karena keberhasilan mereka dalam membangun citra yang menarik di mata publik.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di tingkat nasional, tetapi juga di berbagai organisasi, mulai dari lembaga mahasiswa hingga institusi profesional. Pemimpin yang memiliki gagasan progresif sering kali kalah oleh mereka yang memiliki akses lebih besar ke sumber daya politik dan finansial. Jika dibiarkan, tren ini hanya akan memperburuk kualitas kepemimpinan di Indonesia dan memperlemah fondasi demokrasi itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Dari Demokrasi ke Otoritarianisme Populis
Salah satu dampak terbesar dari hilangnya pertarungan gagasan dalam politik adalah munculnya pola kepemimpinan yang cenderung otoriter meski terpilih secara demokratis. Pemimpin yang naik dengan strategi populisme sering kali menggunakan kekuasaannya untuk mempersempit ruang kritik, mengontrol lembaga-lembaga negara, dan melemahkan mekanisme check and balances. Dalam siniar yang sama, Prof. Sukidi Mulyadi menyebutkan, "Demokrasi kita justru mati di tangan presiden yang terpilih melalui instrumen demokrasi, lalu membunuh demokrasi itu sendiri." Pernyataan ini relevan dalam konteks politik saat ini, di mana banyak pemimpin yang menggunakan demokrasi sebagai alat legitimasi kekuasaan, tetapi justru mereduksi prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri.
Tren ini juga terlihat dalam berbagai pemilihan kepala daerah dan pemimpin organisasi. Banyak pemilihan yang lebih berorientasi pada strategi kemenangan elektoral daripada uji kelayakan visi dan gagasan. Kampanye yang seharusnya menjadi arena adu konsep dan kebijakan malah dipenuhi oleh perang opini di media sosial, slogan-slogan kosong, dan serangan personal. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka demokrasi Indonesia hanya akan menjadi prosedural belaka tanpa substansi. Demokrasi yang sejati bukan hanya tentang memilih pemimpin, tetapi juga tentang memastikan bahwa kepemimpinan tersebut dibangun atas dasar gagasan yang kuat dan kebijakan yang berpihak pada rakyat.
ADVERTISEMENT
Ketika Logistik Mengalahkan Gagasan
Fenomena pemilihan berbasis logistik ini juga terjadi dalam berbagai organisasi, baik di lingkungan akademik, serikat pekerja, maupun lembaga sosial. Pemimpin yang memiliki visi kuat dan gagasan inovatif sering kali tersingkir karena kurangnya modal kampanye atau dukungan dari kelompok berpengaruh. Sebagai contoh, dalam banyak pemilihan ketua organisasi mahasiswa, kandidat yang memiliki ide-ide besar untuk reformasi sering kali kalah oleh mereka yang memiliki jaringan kuat dan kemampuan mobilisasi massa. Fenomena ini mencerminkan melemahnya meritokrasi dalam sistem kepemimpinan, di mana kualitas pemimpin tidak lagi menjadi faktor utama dalam pemilihan. Akibat dari fenomena ini adalah stagnasi organisasi. Pemimpin yang terpilih lebih sibuk mengamankan posisinya daripada membawa perubahan nyata. Seperti dalam politik nasional, organisasi yang dikelola tanpa pertarungan gagasan hanya akan mempertahankan status quo dan gagal menjadi ruang bagi inovasi.
ADVERTISEMENT
Mengembalikan Kepemimpinan Berbasis Gagasan
Jika demokrasi ingin tetap relevan dan organisasi ingin tetap berkembang, maka kepemimpinan berbasis gagasan harus dikembalikan ke tempat yang seharusnya. Salah satu langkah awal adalah meningkatkan budaya berpikir kritis dalam masyarakat dan organisasi. Pemilih harus didorong untuk menilai pemimpin berdasarkan visi dan kebijakan yang mereka tawarkan, bukan sekadar berdasarkan elektabilitas atau pencitraan media. Selain itu, meritokrasi harus kembali menjadi standar utama dalam pemilihan pemimpin. Baik dalam politik maupun organisasi, sistem seleksi kepemimpinan harus berbasis kualitas dan rekam jejak, bukan sekadar faktor elektabilitas atau dukungan finansial. Dalam konteks politik, ini berarti memastikan bahwa proses pemilu tidak didominasi oleh transaksi finansial yang membatasi ruang bagi kandidat berkualitas tetapi minim sumber daya. Dalam organisasi, ini berarti memastikan bahwa proses seleksi kepemimpinan berbasis transparansi dan objektivitas.
ADVERTISEMENT
Terakhir, ruang debat kebijakan harus diperkuat. Pemimpin harus diuji dalam diskusi publik yang substansial, bukan hanya diukur berdasarkan hasil survei popularitas. Jika ruang perdebatan semakin menyempit, maka kita akan terus terjebak dalam sistem yang hanya melahirkan pemimpin tanpa visi. Seperti yang dikatakan Anies Baswedan, "Ketika berdemokrasi tanpa menggunakan gagasan, maka kita seperti berjalan tanpa arah." Jika kondisi ini terus berlanjut, demokrasi akan kehilangan maknanya, dan kepemimpinan dalam organisasi hanya akan menjadi simbol tanpa substansi. Sudah saatnya kita mengembalikan politik dan organisasi kepada esensinya: sebagai arena pertarungan gagasan, bukan sekadar ajang perebutan kekuasaan.