Rapuhnya Partai Politik di Indonesia

Ferryal Abadi
Lecturer/Socioprenuer/Writer
Konten dari Pengguna
6 Maret 2021 7:42 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ferryal Abadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Partai Demokrat Foto: Fitra Andrianto/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Partai Demokrat Foto: Fitra Andrianto/kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa hari ini kita melihat perpecahan di Partai Demokrat. Partai Demokrat yang dipimpin oleh Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) ingin dilengserkan oleh kader demokrat lainnya dalam Kongres Luar Biasa (KLB) dan terlaksana pada tanggal 5 Maret 2021 yang memilih Moeldoko menjadi Ketua Umum. Dalam beberapa jam kemudian AHY melakukan konferensi pers bahwa KLB tersebut adalah ilegal. Mungkin drama politik perpecahan partai bukan kali ini terjadi tapi hampir semua partai besar di Indonesia pernah mengalami perpecahan.
ADVERTISEMENT
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) merupakan perpecahan dari PDI yang pada saat itu Ketua Umum Megawati Sukarno Putri di lengserkan oleh Soerjadi. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) versi Matori Abdul Djalil dan Versi Alwi Shihab bahkan Muhaimin Iskandar harus berseteru dengan Gus Dur. Partai Golongan Karya ( Golkar ) mengalami 2 Ketua Umum yaitu Aburizal Bakrie dan Agung Laksono. Kemudian Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga mempunyai 2 versi Ketua Umum Djan Faridz dan Ketua Umum Romahurmuzy atau Romy.
Selain mempunyai 2 kepengurusan akibat perpecahan di dalam internal ada juga yang mendirikan partai baru. Kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mendirikan Partai Gelora dan Kader Partai Amanat Nasional ( PAN) mendirikan Partai Umat.
ADVERTISEMENT
Dengan banyak kasus perpecahan partai politik di Indonesia menandakan masih rapuhnya dalam pengelolaan sebuah partai. Masalah pengkaderan dan pendanaan menjadi salah satu masalah yang harus diatasi partai politik di Indonesia. Hanya beberapa partai yang melakukan pengkaderan dan itupun tidak semua berjalan dari pengurus yang paling bawah seperti pengurus ranting setingkat desa. Partai politik lebih banyak mengambil kader dari organisasi lain yang sudah jadi seperti Muhammadiyah, NU, HMI, KNPI, HIPMI, kampus bahkan dari kalangan militer.
Selain dari organisasi tersebut maka banyak partai yang mengkader keluarganya seperti suami, istri, anak, menantu dan hubungan keluarga lainnya yang pada akhirnya menjadi seperti politik dinasti.
Selain permasalahan kader yaitu permasalahan pendanaan dalam pengelolaan sebuah partai. Dalam melakukan kegiatan operasional, branding partai, sosialisasi, dan kegiatan ke masyarakat tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit. Sehingga partai meminta iuran kepada kader partai yang menjadi anggota dewan atau pejabat daerah dan pejabat negara.
ADVERTISEMENT
Hal ini yang pada akhirnya banyak kader-kader partai yang melakukan korupsi karena selain harus balik modal dari dana yang dikeluarkan untuk kampanye pribadi maka kader tersebut juga harus memberikan iuran kepada partai. Belum lagi harus memberikan dana kepada proposal-proposal yang masuk dari berbagai organisasi atau masyarakat.
Pengkaderan dan pendanaan yang rapuh menyebabkan banyaknya konflik di dalam internal partai. Akhirnya partai di Indonesia dipimpin oleh pengusaha dan penguasa. Penguasa bisa dari kalangan pejabat sipil atau pejabat militer karena mempunyai akses dalam banyak hal.
Pengusaha dan penguasa merupakan kader yang sudah langsung jadi secara modal sosial dan modal finansial. Berbeda dengan aktivitas partai yang harus merangkak dari bawah dari akar rumput tapi ketika sampai posisi atas partai dia harus tersingkir dari kader yang berasal dari pengusaha atau penguasa.
ADVERTISEMENT
Ke depan partai politik harus bisa melakukan pengkaderan dan pendanaan yang baik sehingga konflik-konflik internal tidak akan terjadi. Partai politik harus menjadi ujung tombak pembangunan karena kader-kader partai politik yang mempunyai peran sentral membuat kebijakan yang bermanfaat bagi masyarakat. Tidak berpikir pragmatis dan hanya mementingkan kepentingan pribadi tetapi memikirkan kepentingan bersama walau dalam politik ada adagium dari Cicero:
Ferryal Abadi, Ketua Pemuda Muhammadiyah Kab Bekasi (2016-2020)
.