Konten dari Pengguna

Seribu Jalan Menuju Ibu Kota Medang, Benarkah di Utara Jawa?

Finariyah
Bachelor of Humanities, Diponegoro University
15 September 2024 9:02 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Finariyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pantai utara Jawa (Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Pantai utara Jawa (Shutterstock)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Jika Majapahit mempunyai Trowulan, bagaimana dengan Medang? Di mana letak ibu kota kerajaan Jawa kuno yang legendaris itu?”
ADVERTISEMENT
Pertanyaan ini menghantui Stutterheim, pria kelahiran Rotterdam 1892 yang kemudian menjabat Kepala Dinas Kepurbakalaan (Oudheidkundige Dienst) Hindia Belanda tahun 1936-1942.
Ketika banyak sejarawan dan arkeolog mencari pusat dari Medang di bagian selatan Jawa Tengah, ia justru mengalihkan pandangnya ke utara Jawa Tengah. Banyaknya peninggalan arkeologis seperti candi, prasasti, dan lain-lain tentu menjadi daya tarik para peneliti untuk mencari Medang di selatan. Sementara di bagian utara, wilayah ini sangat miskin peninggalan arkeologis bahkan beberapa di antara wilayahnya tampak seperti kota tak berpenduduk.
Stutterheim justru berpendapat bahwa kehadiran candi di selatan menjadikannya kawasan alam orang mati. Menurutnya candi adalah mausoleum, semacam kuburan yang indah. Hal ini kemudian didukung pula dengan temuan pecahan keramik dan tembikar di kawasan Prambanan dan dataran Sorogedug pada 1939 dan 1940. Pecahan-pecahan tersebut memang berasal dari periode yang sama seperti monumen candi. Namun tidak ada temuan barang rumah tangga sehingga tidak menunjukkan keberadaan tempat tinggal di kawasan itu. Atas dasar ini, dengan segera Stutterheim meminta de Flines untuk melakukan penelitian di kawasan utara Jawa Tengah.
ADVERTISEMENT
Pria bernama Egbert Willem van Orsoy de Flines yang dipilih Stutterheim ini bukan sosok yang asing di telinga para pemerhati sejarah. Ia sendiri telah berhasil mengumpulkan 1.100 keramik kuno pada tahun 1929 yang sangat membantu dalam proses rekonstruksi sejarah di tanah Hindia Belanda. Berkat keahliannya, ia diangkat menjadi penasihat koleksi keramik Dinas Kepurbakalaan pada tahun 1940. Segera setelah pengangkatannya itu, ia diberi tugas untuk mencari persebaran keramik kuno di bagian utara Jawa Tengah. Penelitian ini dilakukan de Flines atas perintah Dinas Kepurbakalaan pada 18 Agustus 1940 yang dikukuhkan dengan surat No. 1541/E 2 tanggal 19 Agustus 1940 yang kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam surat No. 1540/E 2 dengan tanggal yang sama kepada Gubernur Pusat Jawa.
ADVERTISEMENT
Secara umum, penelitian ini dilakukan untuk menambah wawasan tentang sebaran dan kepadatan pecahan-pecahan keramik di bagian utara Jawa Tengah. Namun secara khusus, penelitian ini dilakukan untuk menemukan pusat dari Kerajaan Medang pada abad ke-8 hingga ke-10. Ada apa saja di tempat itu dan seperti apa bentuk pusat administrasi negara itu?
Wilayah penelitian ini mencakup Kabupaten Semarang, Grobogan, Demak, Jepara, Pati, Kudus, Blora, Rembang. Karena wilayahnya yang sangat luas, maka temuannya kemudian dibagi dalam dua kelompok. Pertama, keramik material abad ke-8 sampai ke-10 yang Stutterheim sarankan menjadi landasan untuk mencari pusat Medang. Kedua, keramik masa lebih baru yang ditemukan di lembah sungai dan dataran aluvial.
Desakan Stutterheim mendorong de Flines untuk memulai penyelidikan dari kawasan legendaris Medang Kamulan di timur Grobogan. Cerita turun temurun menyatakan Medang Kamulan itu berada di Grobogan. Di sana ada banyak desa yang menyebut nama “Medang” seperti Medang, Medang Ramesan, Medang Remit, Medang Kemulan dan lain-lain, adapula aliran sungai bernama Medang. Bagaimanapun pandangan tradisi yang mengakar kuat mengenai lokasi Medang Kamulan pasti punya dasar sejarah sehingga perlu dikaji lebih lanjut. Terbukti di Majapahit dan Singosari candi selalu dibangun di luar ibu kota atau bahkan jauh dari sana. Setelah eksplorasi di timur Grobogan, de Flines melanjutkan penelitian dengan rute Blora, Rembang, Pati, Jepara, Kudus, dan kembali ke Grobogan untuk penelitian lebih jauh.
ADVERTISEMENT
Memulai Perjalanan Panjang
Setelah eksplorasi di wilayah yang dikenal sebagai Medang di timur Grobogan, de Flines dan timnya bergerak ke Blora. Wilayah ini menghasilkan sedikit temuan serpihan keramik dari masa sebelum abad ke-10. Desa Medang (Sendangharjo) dan Kamolan di Blora sayangnya tidak menghasilkan informasi yang penting. Namun di sekitar barat daya Blora dan Cepu terdapat temuan berupa pecahan kapal pada abad ke-9 dan ke-10 yang tercampur dengan temuan pecahan dari masa yang lebih muda yang ditemukan berulang sehingga menjadi sesuatu yang perlu diwaspadai.
Perjalanan berlanjut menuju ke Rembang. Dari beberapa desa yang didatanginya, di Desa Waru ditemukan pecahan awal abad ke-9 dan ke-10. De Flines juga mencatat bahwa di daerah perbukitan di lereng timur Gunung Lasem, dekat Desa Terjan di Kecamatan Sedan kemungkinan ada cagar alam megalitik; sekitar 20 puluh kursi batu, kepala binatang, dan batu buatan lainnya. Ada tempat bernama Krapyak yang namanya berasal dari sebuah bukit yang tidak jauh dari Gunung Lasem. Dari bukit itu kita bisa melihat pemandangan pantai dan Laut Jawa yang bersih dan luas. Catatan Groeneveldt tentang Kepulauan Melayu dan Malaka yang disusun dari sumber-sumber China: “di pegunungan terdapat Lang-pi-ya, tempat raja sering melihat laut.” Pernyataan tersebut didapat dari catatan sejarah Dinasti T’ang sekitar abad ke-9. Kata “sering” menandakan lokasi tersebut tidak terlalu jauh dari tempat tinggal raja. Mungkinkah Krapyak adalah Lang-pi-ya? Mungkinkah Raja Kaling yang dimaksud adalah Raja Medang?
ADVERTISEMENT
Berdasar temuan pecahan keramik yang didapatinya, de Flines berasumsi bahwa lokasi selanjutnya yakni Pati mustahil menjadi pusat kegiatan sebelum tahun 1000. Namun di sekitar Desa Gajihan dan Sunan distrik Taju ditemukan pecahan keramik masa abad ke-10 hingga ke-14. 80% dari pecahan tersebut berasal dari Tiongkok dan sisanya dari India sehingga sangat potensial untuk dikaji lebih lanjut.
Jepara menjadi kabupaten termuda daripada wilayah lainnya di pantai utara Jawa Tengah dalam hal temuan keramik kuno. Tidak ada satupun keramik dari abad ke-9 atau sebelumnya. Sementara pecahan dari masa abad ke-10 ditemukan secara sporadis. Namun de Flines berharap ada penelitian lebih lanjut terutama pada situs Kalinyamat. Ia menemukan beberapa hal seperti pecahan keramik berbahan semi porselen Tonkin yang dihias sedemikian rupa. Sementara itu Kudus hanya memiliki temuan terbatas untuk pecahan keramik masa abad ke-8 sampai ke-10. Namun wilayah ini cukup kaya akan temuan pecahan keramik masa yang lebih baru sehingga potensial untuk dikaji lebih lanjut.
ADVERTISEMENT
Di Grobogan penelitian dimulai dari Kecamatan Wirosari yang kemudian menjadi wilayah terkaya akan temuan keramik asing sebelum tahun 1000. Di Dusun Medang Ramesan, Desa Sendangrejo ditemukan pecahan kecil dari India abad ke-10 hingga ke-14. Di ladang Kalanglundo ditemukan barang-barang Tiongkok berkualitas bagus dari abad ke-9 termasuk pecahan kendi T’ang yang terkenal dengan hiasan relief buah anggur. Sementara itu, di Dusun Medang yang biasa dikenal dengan nama Medang Kemit di Desa Banjarejo yang menurut legenda setempat adalah pusat Medang ditemukan pecahan abad ke-9 dan 10 namun hanya dalam jumlah kecil dan bukan berupa keramik halus atau hias. Tempat menarik justru de Flines temukan di barat daya Kuwu. Di tempat itu ditemukan pecahan porselen dan semi porselen abad ke-9 dan ke-10 hingga pecahan mangkuk dangkal berlapis kaca berwarna krem dengan cincin dasar yang sangat lebar asal China Selatan yang sangat terkenal. De Flines berasumsi desa-desa itu merupakan bekas pemukiman Tionghoa. Hal ini didukung pula dengan catatan masa Dinasti T’ang tentang garam Kuwu pada abad ke-9. Di dukuh Medang dan Desa Srawe terdapat bongkahan barang pecah belah tua dan beberapa pecahan bangunan namun umurnya tidak lebih tua dari abad ke-12.
ADVERTISEMENT
Akhir dari Perjalanan Panjang
Penelitian de Flines dalam mencari ibu kota Medang di utara Jawa Tengah itu terpaksa terhenti pada 1942 bersama dengan datangnya masa perang dengan bangsa Jepang. Sementara wilayah lain yakni Kabupaten Semarang dan Demak baru sedikit tereksplorasi.
Setelah berkelana dua tahun lamanya, ia tidak banyak menemukan pecahan keramik dari abad ke-8 hingga ke-10. Memang dari beberapa tempat ia bisa menemukan pecahan keramik itu. Namun tidak jarang pula ia menemui beberapa tempat yang memberikan hasil nihil karena hanya didapati keramik yan tidak lebih tua dari abad ke-18. Hal ini membuatnya bertanya-tanya apakah wilayah itu tidak dihuni sebelum 1700?
Pertanyaannya itu terjawab dari penelitian Van Bemmelen yang berjudul The Geology of Indonesia (1949). Menurutnya hamparan yang membentang dari Semarang-Rembang merupakan sebuah dataran aluvial. Awalnya Gunung Muria merupakan sebuah pulau di lepas pantai utara Jawa Tengah yang dipisahkan dengan selat yang menjadi muara sungai. Akibatnya terjadi pendangkalan pada selat Semarang-Rembang itu yang secara perlahan kemudian memunculkan beberapa wilayah baru di utara Jawa Tengah.
ADVERTISEMENT
Namun berdasar penelitian yang telah ia lakukan itu, sayangnya de Flines tidak bisa menarik kesimpulan. Hal ini disebabkan medan yang diteliti terlalu luas dan komponennya terlalu heterogen. Namun dapat ia pastikan bahwa wilayah Kabupaten Grobogan telah berperan penting dalam kehidupan ekonomi dan politik Jawa Kuno sejak Abad Pertengahan.
Semua hasil penelitiannya itu kemudian ia tulis dalam Oudheidkundig verslag 1941-1947 yang diterbitkan oleh Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen pada 1949. Tulisannya kerap menjadi rujukan dalam mencari lokasi Medang seperti yang dilakukan R. Soekmono pada 1967. Hingga kini keberadaan ibu kota Kerajaan Medang itu masih menjadi misteri bagi sejarah bangsa Indonesia.