Konten dari Pengguna

Tokoh Wayang Bawor dalam Kearifan Lokal Masyarakat Banyumas

Fhesa Avia Yuwanda
Mahasiswa Sastra Indonesia - Universitas Jenderal Soedirman
21 April 2022 15:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fhesa Avia Yuwanda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(Dokumentasi pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
(Dokumentasi pribadi)

Masyarakat Indonesia yang majemuk menciptakan keunikan khasanah budaya di berbagai wilayah. Salah satunya adalah kesenian wayang kulit.

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Wayang merupakan kesenian yang mendapat pengaruh dari agama Hindu. Sekitar tahun 1445, wayang dimanfaatkan oleh Sunan Kalijaga sebagai media penyebaran agama Islam khususnya di Pulau Jawa (Hartojo, 1982:4). Pada umumnya wayang dipertunjukan di malam hari dan cerita yang dibawakan berasal dari naskah Ramayana dan Mahabarata.
ADVERTISEMENT
Pertunjukan wayang disebut juga dengan istilah Pakeliran/Pedalangan. Pakeliran yang tersebar di wilayah Nusantara, khususnya di Pulau Jawa, menciptakan berbagai gaya pertunjukan atau gagrak. Antara lain wayang kulit gagrak Yogyakarta , wayang kulit gagrak Surakarta, maupun wayang kulit gagrak Jawa Timuran.
Selain ketiga gagrak di atas, ada satu lagi jenis gagrak yang memiliki keunikannya tersendiri. Yaitu wayang kulit gagrak Banyumas. Banyumas merupakan sebuah kabupaten yang terletak di sebelah selatan Gunung Slamet, Jawa Tengah. Wilayahnya berupa dataran subur karena masih banyak sawah sebagai sumber penghasilan masyarakatnya. Kabupaten Banyumas berbatasan langsung dengan Kabupaten Banjarnegara, Cilacap, Purbalingga, Kebumen, dan Purworejo.
Dalam pewayangan terdapat banyak tokoh penting pengisi cerita. Salah satunya adalah Punakawan yang terdiri dari empat tokoh wayang yaitu Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Khusus dalam gagrak Banyumas terdapat tokoh Punakawan yang menjadi ciri khas dari pewayangan Banyumasan. Tokoh wayang tersebut bernama Bawor. Bawor merupakan padanan dari tokoh Bagong dalam pewayangan Yogyakarta maupun Surakarta.
ADVERTISEMENT
Tokoh wayang Bawor menjadi unik karena hanya ada di pewayangan Banyumas dan merupakan kearifan lokal masyarakat Banyumas. Karena digambarkan memiliki karakter seperti masyarakat Banyumas.

Wayang Bawor Menjadi Maskot Banyumas

Pada tahun 1987, salah satu pemerhati kebudayaan Banyumas, Bambang S. Purwoko, mengusulkan tokoh wayang Bawor dijadikan sebagai maskot atau ikon Banyumas. Ide tersebut disetuji oleh Bupati Banyumas Djoko Soedantoko. Awalnya wayang Bawor digunakan sebagai logo Kejuaraan Renang Antar Perkumpulan (KRAP) di Puwokerto pada tahun 1990. Kemudian, pada pemerintahan Bupati Djoko Sudantoko, yaitu tahun 1988-1998, Bawor mulai disosialisasikan menjadi maskot Banyumas. Melalui Bagian Humas Pemerintah Kabupaten Banyumas, tokoh wayang Bawor digunakan sebagai logo spanduk dan logo pada buku hari jadi Banyumas. Pada saat itu penetapan Bawor sebagai maskot Banyumas tanpa melalui sidang DPRD ataupun penetapan dalam bentuk Perda atau Perbub. Melainkan ditetapkan begitu saja tanpa melalui musyawarah.
ADVERTISEMENT
Penetapan Bawor sebagai maskot Banyumas tidak mengalami pertentangan dari masyarakat Banyumas. Masyarakat cenderung menerima dengan keputusan tersebut. Maskot Banyumas ini juga dapat dijumpai, dalam bentuk patung, di depan Museum Wayang Banyumas yang terletak di sebelah timur pendopo duplikat Si Panji.

Kesamaan Karakter Bawor dengan Karakter Masyarakat Banyumas

Masyarakat Banyumas dikenal akan dialek ngapaknya. Bahasa Ngapak Banyumas telah menjadi identitas dan kekayaan kearifan lokal masyarakat Banyumas. Struktur bahasa Jawa Banyumasan dikenal masih terpengaruh oleh bahasa Jawa Kuno. Ciri yang paling signifikan adalah penekanan pada konsonan di akhir kata. Serta pengucapan vokal juga diucapkan dengan jelas. Melalui ciri ini, masyarakat dapat dengan mudah membedakan Bahasa Jawa Banyumasan dengan Bahasa Jawa Surakarta maupun Yogyakarta.
Masyarakat Banyumas cenderung lebih menyukai penggunaan bahasa Jawa ngoko dalam berkomunikasi. Tingkatan tutur seperti kromo atau kromo inggil hanya digunakan sesekali, seperti untuk menghormati seseorang. Bukan berati penggunaan ngoko mencirikan bahwa masyarakat Banyumas tidak memiliki unggah-ungguh. Namun, ini dilakukan untuk menciptakan keakraban antar mitra tutur.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, dalam pewayangan Banyumas terdapat tokoh Bawor yang menggambarkan masyarakat Banyumas. Wayang Bawor menjadi salah satu bentuk pertunjukan lisan yang kerap kali dibawakan oleh dalang. Dalam pembawannya, dalang akan menggambarkan tokoh Bawor sebagai sosok yang cablaka (terus terang).
Pada pertunjukan wayang, tokoh Bawor biasa akan muncul pada babak goro-goro. Goro-goro ditandai dengan munculnya para Punakawan yang akan memberikan wejangan atau nasihat kepada para penonton dengan diselingi kisah humor. Goro-goro berlangsung setelah tengah malam atau saat pertunjukan wayang akan berakhir. Sebagai representasi masyarakat Banyumas, tokoh Bawor pun dimainkan dengan karakter yang lugu dan terus terang apa adanya.
Sumber:
Prasetya, J. (2016). Kajian Makna Simbolik Pada Wayang Bawor (Analisis Semiotika Charles Sanders Peirce). Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Purwokerto.
ADVERTISEMENT
Solihin, H, Dkk. (2017) . Ensiklopedia Wayang Indonesia. Sena Wangi : Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia.