Konten dari Pengguna

Double Meeting: Hustle Culture yang Dinormalisasikan

Irma Luthfiya
Mahasiswa Program Studi Jurnalistik Universitas Padjadjaran
28 Desember 2021 13:24 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Irma Luthfiya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Multitasking (sumber: Freepik.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Multitasking (sumber: Freepik.com)
ADVERTISEMENT
Kebanyakan orang sudah tidak asing dengan kalimat di atas, kalimat yang awalnya menjadi salah satu motivasi saya untuk “produktif” lambat laun malah terdengar toxic. Bagaimana tidak? Seringkali saat keinginan untuk berhenti melakukan kegiatan dan kalimat itu muncul, perasaan untuk terus bekerja pun datang. Pada kenyataannya, setiap orang berhak untuk beristirahat, berhak untuk memilih tidak melakukan apa-apa, selama memang tidak berlarut dan tahu kapan harus bekerja lagi. Sayangnya, pandemi membuat banyak orang lupa akan hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Banyaknya kegiatan yang dilakukan dirumah saja terkadang membuat kita merasa tidak melakukan apa-apa, padahal setiap harinya selalu ada saja Zoom Meeting yang tidak henti-henti. Kalau salah satu musisi Indonesia, Hindia menyebut “pindah berkala rumah ke rumah”, sebutan yang cocok untuk generasi sekarang adalah “pindah berkala Zoom ke Zoom.”
Akhir-akhir ini istilah double meeting pun mulai banyak digunakan, bahkan tidak jarang ada triple meeting, mungkin beberapa orang mendengar kalimat tersebut dengan kagum dan para pelakunya menyebutkan dengan bangga, “produktif,” katanya.
Kebiasaan double bahkan sampai triple meeting adalah hal yang kurang efektif. Biasanya orang-orang yang melakukan meeting lebih dari satu dalam waktu yang sama tidak benar-benar memperhatikan keduanya dan fokusnya pasti terbagi.
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah riset yang ditulis oleh peneliti dari Stanford University, Clifford Nass (2009), seseorang yang terbiasa memproses beberapa informasi, terutama dalam bentuk elektronik, dalam waktu yang bersamaan, cenderung tidak (dapat) memperhatikan, mengontrol ingatan, atau mengganti tugas dari satu ke yang lainnya, sebaik mereka yang lebih memilih untuk menyelesaikan satu tugas dalam satu waktu.
Berdasarkan pengalaman pribadi penulis, meeting online cenderung lebih lama karena banyak terjadi pengulangan dalam tiap poin yang dibahas. Hal ini memang terjadi karena beberapa alasan, bisa sinyal, gangguan teknis dari perangkat, atau peserta meeting yang tidak fokus.
Pernah dalam suatu rapat kepanitiaan, pemimpin rapat mengulang satu topik sampai tiga kali hanya karena beberapa peserta rapat yang ketika dijelaskan sedang tidak memperhatikan atau fokus di rapat lainnya. Tentu hal ini lama kelamaan menjadi menjengkelkan.
ADVERTISEMENT
Double meeting dan triple meeting ini merupakan salah satu contoh dari penerapan multitasking. Mungkin hal tersebut memang terdengar hebat, dimana orang melakukan dua kegiatan atau lebih dalam satu waktu, namun hal ini tidak baik jika terus dilakukan.
Psikologis Dr. melissa Gratias mendefinisikan multitasking sebagai bentuk kesalahpahaman yang membuat kita berpikir bahwa kita bisa menyelesaikan banyak hal sekaligus dalam satu waktu. Saat melakukan multitasking otak kita terus menerus pindah fokus dari satu hal ke hal lain seperti saklar yang mati kemudian hidup berkali-kali.
Dr Sandra Bond Chapman, pendiri sekaligus direktur utama Center for BrainHealth University of Texas menyebutkan bahwa multitasking menghasilkan pemikiran dangkal, mengurangi kreativitas, meningkatkan kesalahan dan menurunkan kemampuan kita untuk memblok informasi yang tidak relevan.
ADVERTISEMENT
Clifford Nass juga dalam penelitiannya bersama kedua rekannya, Eyal Ophir dan Anthony Wagner, juga menyebutkan bahwa para multitasker (pelaku multitasking) menunjukkan kurang dapat memberikan performa yang baik dalam mengerjakan sesuatu. Mereka tidak bisa berhenti memikirkan tugas yang tidak sedang mereka lakukan. Mereka tidak bisa menempatkan berbagai hal secara terpisah di pikiran mereka.
Penulis yang awalnya menerapkan multitasking dengan harapan agar pekerjaan bisa cepat selesai pun lambat laun merasa hal ini tidak efektif. Keadaan sulit fokus pun benar dialami ketika melakukan multitasking. Misal, ketika melakukan tugas bersamaan dengan rapat online, keduanya menjadi tidak maksimal, tugas selesai sekadarnya dan rapat pun tidak fokus.
Otak manusia tidak dirancang untuk melakukan multitasking, maka semakin lama otak akan mengalami tingkat stres dan depresi yang meningkat dan menurunkan kemampuan intelektual secara umum, katanya. Meski ada semakin banyak bukti bahwa multitasking bukanlah hal yang efektif, kebiasaan lama dan teknologi baru membuat hal ini semakin banyak terjadi di beberapa tempat. Hal ini pun juga mengarah ke kebiasan budaya gila kerja atau hustle culture.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini tumbuh dalam kehidupan kaum Millenial dan Gen Z disebabkan oleh banyaknya tekanan dari perkembangan zaman Revolusi 4.0 yang serba cepat. Bahkan, kondisi pandemi Covid-19 yang membuat seluruh pergerakan dari setiap kegiatan menjadi terbatas, bukan lagi menjadi masalah untuk tetap produktif dan terus bekerja.
Work Life Balance
Istilah work life balance sudah sulit ditemukan atau dilakukan oleh generasi saat ini karena budaya hustle ini tanpa kita sadari sudah menjamur dan banyak terjadi di sekitar kita. Contohnya pada orang yang saya tahu, ia adalah seorang pegawai di salah satu perusahaan A dan terobsesi untuk sukses dan memiliki loyalitas yang tinggi kepada tempat kerjanya.
Akibat dari obsesi dan loyalitasnya yang tak memiliki batas, ia hampir menghabiskan 24 jam hanya untuk bekerja. Semata-mata karena ingin mengejar mimpinya dan bangga dengan kesibukannya. Alhasil, kini diagnosa beberapa penyakit dan sudah tidak bisa menatap layar terlalu lama.
ADVERTISEMENT
Budaya ini seharusnya tak dilakukan lebih lama lagi. Akibatnya sudah kita ketahui. Mulai dari depresi, abai dengan lingkungan sekitar, dan masalah mental hingga ada juga sampai bunuh diri. Lebih baik jika kita hidup tidak hanya memikirkan tentang materialistik dan duniawi semata. Segala hal yang dilakukan berlebihan memanglah tak baik. Semuanya harus seimbang antara pekerjaan dan kehidupan sosial serta urusan lainnya.