Konten dari Pengguna

Media Pers di Era Proklamasi dan Revolusi Kemerdekaan

Fitirian Jingga Arimbi
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Semarang
25 April 2022 11:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fitirian Jingga Arimbi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber gambar: Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber gambar: Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT
Pada awal abad ke-20 para pemuda sadar bahwa kunci kemerdekaan adalah persatuan. Belanda yang terancam oleh semangat baru itu lantas melakukan tekanan fisik serta menyiarkan berita-berita negatif melalui kantor beritanya yaitu Anita. Oleh karena itu, beberapa pemuda bertemu dan sepakat untuk membentuk sebuah kantor berita sendiri sebagai tandingan dari kantor berita milik Belanda dengan nama Antara. Empat Pemuda Indonesia yakni Adam Malik, Soemanang, A. M Sipahoetar dan Pandoe Kartawigoena yakin bahwa dengan memiliki kantor berita sendiri mereka dapat turut berjuang demi cita-cita kemerdekaan.
ADVERTISEMENT
Dengan segala tantangan dan hambatan yang telah dihadapi bangsa Indonesia sebelumnya, akhirnya proklamasi kemerdekaan berhasil dikumandangkan pada pukul 10.00, hari Jumat 17 Agustus 1945, bertempat di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Cikini Jakarta Pusat. Soekarno didampingi Hatta membacakan teks proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Disaat itu, pada dasarnya sensor pers di zaman kependudukan Jepang sangatlah ketat sehingga berita mengenai proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia ini tidak dimuat dalam surat kabar yang beredar saat itu. Hal ini dapat dilihat saat Asia Raya menerbitkan surat kabar pada tanggal 18 Agustus 1945 yang memuat berita dengan judul di halaman depan “Pengangkatan Kepala Negara Indonesia Insinyur Soekarno dan Doktorandus Muhammad Hatta”, namun bila diperiksa dengan teliti tidak ada satu katapun yang menyebutkan tentang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dokumentasi foto-foto masa proklamasi tidak terlepas dari perjuangan Mendur Bersaudara yaitu Frans Mendur dan Alex Mendur. Mereka berhasil mengabadikan momen bersejarah tersebut dengan penuh perjuangan. Negatif film yang telah mereka pegang bahkan sempat dikubur agar tidak dirampas oleh Jepang. Foto-foto itu sendiri baru diterbitkan pada bulan Februari 1946, setelah pada tanggal 1 Oktober 1945, Frans ikut merebut percetakan Reuni bersama BM Diah dan lain-lain. Kemudian di hari itu mereka mendirikan surat kabar Merdeka. Pada saat itu juga Frans dan Alex Mendur bergabung dengan Harian Merdeka. Baru pada 2 Oktober 1946 mereka mendirikan IPPHOS di Indonesia.
Di akhir tahun 1945 terjadi pemindahan Ibukota ke Yogyakarya, yang sementara itu Belanda terus melakukan serangan dengan Agresi Militernya. Saat itulah wartawan juga ikut terjun dalam pertempuran fisik, walaupun kekurangan fasilitas dan perlengkapan tidak mengurangi semangat wartawan gerilya ini untuk menulis laporan dengan kertas merang berwarna kuning yang dipakai sebagai kertas koran, tak peduli apapun masalahnya pemberitaan di surat kabar harus tetap terbit.
ADVERTISEMENT
Pasukan Belanda yang menyerbu kota Yogjakarta saat Agresi Militer II, lalu menggerebek kantor Antara dan menyita sebanyak 17 karung dokumen foto kumpulan berita dan surat kabar. Barang-barang itu diangkut ke Semarang dan tidak pernah kembali lagi. Antara bukan cuma kehilangan lebih dari separuh juru kameranya dalam tempo yang singkat, tetapi juga seluruh koleksi fotonya dari periode 1945 hingga 1949 yang berjumlah ratusan ribu negatif foto. Dari 25.000 koleksi foto yang dimiliki oleh IPPHOS hanya sekitar 10% yang pernah diterbitkan secara luas.
Selama empat setengah tahun itu penggambaran revolusi sangat mengangkat persoalan konflik-konflik yang terjadi. Padahal terdapat juga koleksi foto yang ternyata menunjukkan kesehariannya dari masyarakat. Seperti orang mengantri dan menonton bioskop, orang sedang berdansa yang uang hasil itu dipakai untuk sumbangan membeli pesawat atau persenjataan. Bahkan orang masih bertani di sawah, masih ada pekerja di pabrik gula, dan masih banyak lagi. Tapi foto-foto itu tidak pernah muncul di buku-buku sejarah kita, yang mungkin masih terdapat permainan politik-politik yang hanya ingin menunjukkan hitam dan putih dari periode itu.
ADVERTISEMENT
Terdapat sebuah kalimat yang terkenal dikalangan para jurnalis “Jika tidak ada yang mendokumentasikan dan menyebarluaskan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, hanya orang-orang yang hadir di Pegangsaan Timur 56 saja yang tahu bahwa Indonesia telah merdeka”.
References :
Ardiwinata, M. (2018). Fungsi Surat Kabar Gelora Rakjat di Bogor Sebagai Media Penguatan Spirit Nasionalisme Indonesia Pada Masa Revolusi 1945-1947. Universitas Diponegoro.
Isnaeni. Hendri F. (2015). Seputar Proklamasi Kemerdekaan: Kesaksian, Penyiaran, dan Keterlibatan Jepang. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Yuliati, D. (2018). Pers, Peraturan Negara, dan Nasionalisme Indonesia. Jurnal ANUVA, 2(3), 253–272.