Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.90.0
Konten dari Pengguna
Green Productivity: "Paradigma Baru dalam Produktivitas"
20 Desember 2021 9:10 WIB
Diperbarui 5 Januari 2023 15:12 WIB
Tulisan dari Ficky Augusta Imawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Semakin kesini, kenapa makin panas ya suhu di bumi?", kalimat inilah yang sering kita dengar beberapa tahun belakangan saat musim kemarau tiba.
ADVERTISEMENT
Tidak bisa kita pungkiri, jumlah populasi dan aktivitas manusia yang kian terus bertambah, pertumbuhan industrialisasi yang semakin masif pada banyak negara, dan eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan tanpa disertai dengan waste management yang memadai akan mengantar kita pada dampak negatif. Dampak yang dapat dirasakan antara lain penurunan kualitas air dan udara akibat peningkatan emisi, perubahan iklim yang ekstrem, terancamnya ekosistem dan keanakeragaman hayati, krisis pangan, tingkat produktivitas, yang pada akhirnya akan berdampak pada perekonomian secara keseluruhan.
Lalu, bagaimana sikap dunia menghadapi perubahan iklim yang begitu ekstrem?
COP26 yang berlangsung di Glasgow pada bulan November 2021, merupakan salah satu wujud komitmen dunia untuk menekan emisi yang berdampak pada perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Berawal dari Paris Agreement, hampir 200 Negara di dunia sepakat untuk menekan dampak perubahan iklim yang di antaranya menahan laju kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat celcius dari angka di masa pre-industrialisasi dan melanjutkan upaya untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat celcius. Mengutip dari NASA-Global Climate Change, jika peningkatan suhu rata-rata bumi mencapai 2 derajat celcius maka akan memberikan dampak yang serius bagi kehidupan antara lain 70% garis pantai akan mengalami kenaikan permukaan laut lebih dari 0.66 kaki (20 cm), dan hal ini tentunya akan meningkatkan potensi berbagai bencana.
ADVERTISEMENT
Bagaimana kondisi perubahan iklim di Indonesia?
Di Indonesia sendiri, berdasarkan data BMKG tren temperatur udara dari tahun 1981-2018 mengalami peningkatan dengan rata-rata kurang lebih 0.03 derajat celcius setiap tahun. BMKG mencatat bahwa pada tahun 2020, merupakan salah satu tahun terpanas relatif terhadap suhu rata-rata periode normal (pengamatan 1981-2010), dengan anomali temperatur udara sebesar 0.7 derajat celcius. Jadi, wajar saja apabila kalian merasa musim kemarau terasa lebih terik dari tahun-tahun sebelumnya. Kenaikan temperatur udara tersebut berdampak pada kenaikan permukaan air laut di Indonesia yang mencapai 0,6-1,2cm/tahun, terjadinya iklim kering serta berkuranganya curah hujan yang menyebabkan lahan gambut menjadi kering dan mudah terbakar.
Sementara itu, Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Nasional mengalami tren kenaikan dari tahun 2000 hingga 2019 dengan total GRK masing-masing 1.186.228 GgCO2e dan 1.866.552 GgCO2e. Pada tahun 2019, kontribusi terbesar terhadap emisi GRK nasional adalah sektor kehutanan dan kebakaran gambut (50%), diikuti dengan sektor energi (34%), pengolahan limbah (7%), pertanian (6%) dan Industrial Processes and Product Use (3%). Peningkatkan emisi ini lah yang seharusnya kita waspadai dan menjadi perhatian bersama agar kualitas hidup manusia tidak mengalami penurunan.
ADVERTISEMENT
Apa saja komitmen Indonesia dalam menghadapi dampak perubahan iklim?
Indonesia, sebagai salah satu Negara yang menyambut baik adanya politik internasional dalam penanganan perubahan iklim juga turut andil dalam upaya pengurangan jumlah emisi. Indonesia dalam updated NDC (Nationally Determined Contribution) berkomitmen untuk melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 29% (unconditional) dengan kemampuan negara secara mandiri dan dapat meningkat sebesar 41% (conditional) dengan dukungan dari pihak internasional, dari business as usual (BAU) scenario, masing-masing sebesar 834Mt CO2e dan 1.185Mt CO2e, pada tahun 2030. BAU scenario 2030 diproyeksikan mencapai 2.87 GtCO2e.
Dalam RPJMN 2020-2024, Indonesia juga telah memasukkan aspek pembangunan lingkungan hidup, peningkatan ketahanan bencana, dan perubahan iklim sebagai salah satu prioritas untuk mendukung pembangunan ekonomi berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, respons kebijakan dan instrumen dari beberapa regulator dalam mendukung green economy antara lain penerbitan green sukuk Republik Indonesia di pasar global yang bertujuan untuk membiayai proyek berwawasan lingkungan, penerapan pajak karbon di Indonesia yang akan berlaku pada tahun 2022 untuk sektor ekonomi tertentu, kebijakan Otoritas Jasa Keuangan dalam bentuk penyusunan sustainability finance roadmap sebagai dukungan pendanaan yang berpihak pada aspek lingkungan serta pemberian insentif terhadap kredit kendaraan bermotor berbasis listrik, pemberlakuan uji emisi kendaraan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, serta komitmen PLN dalam mendukung transisi penggunaan energi bersih.
Green Productivity Concept
Lantas bagaimana perubahan iklim dapat berdampak pada tingkat produktivitas?
Perubahan iklim dan penurunan kualitas lingkungan akan memengaruhi tingkat produktivitas, misalnya perubahan temperatur dan ketidakpastian pola curah hujan yang dapat berdampak pada produktivitas di sektor pertanian, yang pada akhirnya mengakibatkan penurunan kualitas dan kuantitas hasil pertanian sebagai salah satu bahan baku dalam industri pengolahan berikutnya. Untuk itu, keseimbangan antara aspek lingkungan dengan aspek produksi perlu menjadi perhatian bagi pelaku industri sebagai upaya untuk mendukung ekonomi berkelanjutan khususnya bagi kehidupan manusia di masa mendatang. Konsep keseimbangan tersebut dikenal dengan green productivity.
ADVERTISEMENT
Green productivity atau produktivitas hijau dapat kita maknai sebagai sebuah strategi untuk meningkatkan produktivitas usaha dengan memperhatikan aspek lingkungan secara bersamaan dalam rangka pembangunan ekonomi sosial secara keseluruhan. Green productivity menekankan pada pengurangan tingkat polusi/emisi dan limbah yang dapat berdampak pada pencemaran lingkungan namun dengan mempertahankan tingkat produksi dan tingkat profitabilitas sebagai business resultant.
Green productivity dapat diproksikan ke dalam 2 hal yaitu eco-efficiency dan eco-effectiveness. Eco-efficiency dapat dilakukan melalui 3 tahapan: pertama, mengurangi polusi, limbah, dan konsumsi yang tidak diperlukan melalui optimalisasi dan rasionalisasi penggunaan sumber daya input termasuk reduce, reuse, recycle dari sumber daya input. Kedua, penggantian bahan baku yang berbahaya dan beracun menjadi bahan baku yang ramah lingkungan untuk mengurangi dampak pencemaran sebagai contohnya antara lain mengurangi penggunaan penggunaan batu bara dan beralih ke energi baru terbarukan. Ketiga, mematuhi peraturan yang terkait antara lain keselamatan dan kesehatan kerja. Sementara eco-effectiveness, dilakukan melalui perbaikan atau inovasi teknologi untuk dapat mencapai nilai tambah dengan memperhatikan aspek lingkungan hidup.
ADVERTISEMENT
Apa sih yang membedakan green productivity dengan convensional producitivity?
Setidaknya terdapat 4 kriteria dalam penerapan green productivity, pertama integrated people-based approach, yaitu melibatkan pekerja dalam sebuah sistem perusahaan untuk memberikan solusi khususnya terkait dengan isu lingkungan, menciptakan lingkungan kerja yang nyaman, memperhatikan keselamatan dan kesehatan kerja, tidak melakukan diskriminasi kepada pegawai termasuk isu kesejahteraan. Kedua, productivity improvement, penggunaan metodologi KAIZEN atau Plan-Do-Check-Action (PDCA) dengan memasukkan unsur perbaikan terhadap lingkungan. Ketiga information-driven improvement, dengan mendokumentasikan secara akurat dan efektif hasil pengukuran dan evaluasi kinerja perusahaan berdasarkan indikator green productivity. Keempat, environmental compliance, yaitu tingkat kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan terkait perlindungan dan dampak lingkungan.
Green productivity bagi pelaku industri bukan merupakan sebuah pilihan melainkan sebuah paradigma yang harus diterapkan dalam menjalankan kegiatan usaha. Di sisi implementasi, konsep green productivity memerlukan investasi yang besar termasuk biaya penelitian dan pengembangan green design, pengadaan teknologi dan strategi produksi, pengelolaan limbah produksi, serta biaya pengembangan kapasitas sumber daya manusia. Hal ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi pelaku industri mengingat penerapan green productivity relatif akan memengaruhi harga penjualan barang dalam jangka pendek (short term macroeconomics shocks). Dalam jangka panjang, konsep green productivity diharapkan dapat menjadi salah satu jawaban dalam mengurangi dampak buruk bagi lingkungan yang pada akhirnya mendorong penghematan biaya dan mencapai tingkat efisiensi.
ADVERTISEMENT
Dari sisi kebijakan, penerapan green productivity perlu didukung dengan green taxonomy yang dapat berlaku standar di Indonesia dan berguna sebagai guiding principles bagi pelaku industri, peningkatan awareness dari sisi pelaku industri dan konsumen, pemberian capacity building dan technical assistance bagi industri, dan pengembangan kebijakan insentif termasuk program pendukung.
Jadi, isu perubahan lingkungan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, namun bagi pelaku industri dan konsumen juga turut serta di dalamnya. Yuk mulai bijak menggunakan sumber daya yang kita miliki agar bumi kita tetap terjaga untuk generasi berikutnya.
“The future depends on what you do today” – Mahatma Gandhi.