Konten dari Pengguna

Pemilu: Hati-Hati Janji Manis Politisi!

Fiderman Gori
Penulis Merupakan Penggiat Literasi Sosial
24 Agustus 2023 14:04 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fiderman Gori tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Kampanye Politisi Pada Pemilu 2024 (Mohamed_hassan/Pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Kampanye Politisi Pada Pemilu 2024 (Mohamed_hassan/Pixabay.com)
ADVERTISEMENT
Pemilihan umum (pemilu) atau sebutan lain “pesta demokrasi” kembali digelar pada 14 Februari 2024 mendatang. Suatu momen yang ditunggu-tunggu bangsa Indonesia setelah pemilu yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tahun 2019 lalu.
ADVERTISEMENT
Berangkat dari tujuan pemilu, secara singkat diselenggarakan sebagai sarana kedaulatan rakyat dalam menghasilkan pemimpin pemerintahan yang baru, baik eksekutif maupun legislatif. Di mana esensinya, rakyat secara langsung menentukan sosok/figur pemimpin yang dikehendakinya melalui mekanisme pemilu. Namun, terlepas dari hak kedaulatan rakyat, asas kejujuran dan keadilan suatu tarikan yang tak terpisahkan dalam demokrasi kita.
Pemilu 2024 bukan pesta demokrasi pertama di Indonesia, tetapi merupakan pemilu kesekian kali pasca reformasi dan demokrasi berdiri. Meski pada proses dan mekanismenya pemilu memiliki nuansa atau sistem yang berbeda-beda, namun memiliki tujuannya yang sama.
Perbedaan terlihat pada pemilu 2014 yakni, pileg dan pilpres dilaksanakan dengan rentan waktu yang tidak bersamaan atau dilaksanakan terpisah. Sementara pada pemilu 2019 dan 2024 disuguhi dengan pemilu serentak antara legislatif yakni, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota serta pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dari rangkaian sistem dan mekanisme demokrasi tersebut dibuat berdasarkan kepentingan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara.
ADVERTISEMENT
Dalam tradisi demokrasi, satu kegiatan krusial yang tidak dapat dipisahkan dalam pemilu adalah kegiatan politik praktis. Para politisi peserta pemilu biasanya bertindak sebagai penjual gagasan, program, visi dan misi dan rakyat sebagai pembeli serta penguji kualitas dari narasi tersebut. Cara berpolitik seperti ini masih normal dalam demokrasi, bukan sesuatu yang baru setiap pemilu dilaksanakan.
Fenomena lain yang kerap terjadi dalam pemilu adalah kampanye politik yang disinyalir tindak-tanduk berbagai baliho, spanduk, dan pamflet di berbagai sudut kota dan desa. Sudut-sudut rakyat disuguhi oleh berbagai macam foto wajah dan narasi politik keberpihakan.
Meski di lain sisi jenis kampanye demikian masih sulit jadikan sebagai parameter bagi rakyat dalam menentukan pilihan berkualitas. Dan lagi-lagi itulah realitas empiris demokrasi politik para politisi untuk mendapat kepercayaan rakyat.
ADVERTISEMENT
Intinya kegiatan politik tersebut dibangun sebagai politik strategi di tengah persaingan politik para politisi, agar mimpi duduk di kursi kekuasaan sebagai pemimpin maupun perwakilan rakyat dapat terwujud.
Akan tetapi kalau kita flashback ke belakang arus kampanye politik menjelang pemilu suatu keadaan yang tak dapat dibendung. Dengan berbagai janji politik yang ditawarkan, kita seringkali dikepung oleh janji-janji manis politisi yang belum tentu pasti direalisasiakan dengan baik.
Banyak janji yang ditawarkan berharap dapat memikat hati rakyat agar dirinya terpilih. Namun sedihnya para politisi tak paham bagaimana langkah melakukan penetrasi kebijakan untuk merealisasikan janji tersebut.
Bahkan sangat disayangkan lagi adalah ketika calon legislatif menawarkan janji politiknya tidak didasari riset atau bertemu dengan pemilihnya. Tetapi dengan semangat dan mudah melontarkan janji-janji politik seolah-olah kata-kata yang diucapkan mewakilkan kebutuhan rakyat. Pada hal janji politik yang tawarkan tidak rasional dengan kebutuhan konstituennya.
ADVERTISEMENT
Contoh janji politik yang dikalkulasikan sebatas bahan kampanye politik misalnya, pengadaan bibit jagung untuk mendongkrak ekonomi rakyat. Pada hal objek pengadaan bibit jagung tidak memiliki pasokan pupuk dan sarana pertanian yang memadai. Alhasil, bantuan bibit jagung yang ditanam tak kunjung menghasilkan sebagai sumber ekonomi rakyat.
Bahkan di kalangan politisi calon legislatif, janji politik yang mustahil diwujudkan pun diucapkan penuh percaya diri demi mendapatkan kepercayaan (suara) rakyat. Berjanji akan membangun infrastruktur, meningkatkan fasilitas pendidikan, meningkatkan ekonomi dan sebagainya hal yang kerap disuarakan kepada rakyat. Jika dicermati secara politik narasi tersebut hanya sebagai alat propaganda dan halusinasi politisi yang ingin berkuasa.
Sebab, kalau berbicara membangun infrastruktur, pendidikan, dan ekonomi, legislatif tidak memiliki kewenangan mutlak untuk membangun sebuah infrastruktur. Legislatif hanya berhak mengusulkan kepada lembaga eksekutif. Terlepas usulan tersebut direalisasikan eksekutif tentu berdasarkan proses kebijakan dan keputusan sebagai pelaksana program pemerintah.
ADVERTISEMENT
Menurut amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 20A ayat 1 menyebutkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Dari tiga fungsi ini merupakan tupoksi utama wakil-wakil kita yang terpilih melalui proses demokrasi politik yakni, pemilu.
Menurut hemat saya, para politisi khususnya calon legislatif jauh lebih efektif jika fokus menawarkan program substansial sesuai tupoksi yang bersentuhan langsung dengan kehidupan rakyat. Jangan membuat janji-janji politik diluar kapasitas sebagai legislatif yang pada akhirnya sulit untuk diwujudkan setelah terpilih.

Bijak Menentukan Pilihan

Pemilu 2024 sudah di depan mata. Seluruh instrumen pemilu telah dipersiapkan dengan matang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Rakyat sebagai pemberi hak pilih memiliki tanggung jawab moral untuk ikut terlibat dalam demokrasi politik. Agar pemilu 2024 benar-benar melahirkan pemimpin altruistik bukan pemimpin egois, narsistik dan arogan.
ADVERTISEMENT
Memahami figur politik yang akan dipilih menjadi atensi yang harus dilihat secara komprehensif dan sistematis. Memperhatikan rekam jejak, kapasitas, dedikasi dan integritas seorang politisi suatu cara untuk memfilter masing-masing calon, baik calon legislatif maupun eksekutif.
Karena dari beberapa pemilu yang diselenggarakan di negeri ini, kita telah memiliki pengalaman yang relatif banyak bagaimana suara rakyat dijadikan komoditas kekuasaan belaka. Janji-janji manis politik amat disesalkan, janji tinggal janji, tidak dipikirkan dan tidak dipertimbangkan apa lagi direalisasikan.
Jadi, menuju pemilu 2024 sikap apatisme dan pesimisme diubah dengan paradigma politik partisipatif. Sebab, peran rakyat dalam pemilu ibarat dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan untuk menentukan kualitas para politisi peserta pemilu. Lima tahun bukan waktu yang singkat, begitu banyak persoalan yang diselesaikan jika pilihan kita jatuh di tangan politisi yang tepat.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, rakyat sebagai pemegang hak suara dalam pemilu harus bijak dan cerdas menentukan pilihan politiknya. Karena memilih dan menilai tingkat rasionalitas setiap janji politik yang ditawarkan para politisi akan menentukan masa depan bangsa.