Konten dari Pengguna

TikTok Shop Ditutup, Solusi atau Masalah?

Fiderman Gori
Penulis Merupakan Penggiat Literasi Sosial
8 Oktober 2023 20:37 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fiderman Gori tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Aplikasi TikTok (Cottonbro Studio/Pexels.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Aplikasi TikTok (Cottonbro Studio/Pexels.com)
ADVERTISEMENT
Belakangan ini ramai pembicaraan tentang platform TikTok Shop setelah resmi ditutup pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag RI), pada Rabu 4 Oktober 2023. Ditutupnya TikTok Shop tersebut tidak sedikit mengundang banyak kontroversi banyak pihak, termasuk para affiliator dan pengguna jasa TikTok Shop lainnya.
ADVERTISEMENT
Namun, tak lupa dari ingatan para pelaku UMKM konvensional di Indonesia sebaliknya merespons positif kebijakan pemerintah itu dengan ragam argumen. Karena keresahan mereka terhadap TikTok Shop dapat ditepis oleh pemerintah dengan cepat.
Terlepas munculnya pro dan kontra antar pihak, tentu hal ini bukan jalan buntu bagi pemerintah untuk memberikan keadilan bagi seluruh sektor yang terdampak.
Pemerintah dengan instrumen yang dimiliki telah memformulasikan hal ini sebagai agenda penting dalam menata transaksi elektronik atau e-commerce. Walaupun pilihan terakhir, pemerintah memutuskan melarang TikTok beroperasi sebagai social commerce (TikTok Shop) di Indonesia.
Sebelum membahas lebih jauh, tajam, dan komprehensif tentang keresahan dari TikTok Shop yang kini mendapat reaktif tinggi dari masyarakat saat ini. Penting untuk diketahui background aplikasi TikTok ini sebelumnya hingga menjadi social commerce atau TikTok Shop.
ADVERTISEMENT
Dari hasil penelusuran dari beberapa sumber, platform TikTok sendiri masuk ke pasar Indonesia pada September 2017 lalu. Saat platform ini hadir di Indonesia langsung mendapat respons positif dari kalangan masyarakat, mulai anak-anak, remaja, dewasa hingga orang tua.
Media sosial TikTok besutan ByteDance yang berbasis Tiongkok ini, awalnya diluncurkan sebagai platform berbagi video pendek. Namun, seiring perkembangan dan kebutuhan di era digital, TikTok melebarkan sayapnya dengan menambahkan fitur video berdurasi panjang, hingga merambah ke dunia e-commerce, bernama TikTok Shop.
Jadi, melalui platform social commerce atau TikTok Shop inilah para seller membangun usaha/bisnis online dalam satu platform yakini, TikTok dan TikTok Shop.
Dengan teknologi yang mumpuni para seller dapat bertransaksi (jual-beli) dan memasarkan langsung produknya lewat video in-feed, TikTok Live dan fitur keranjang kuning dengan jangkauan yang luas, cepat dan mudah. Kira-kira Itulah, sedikit latar belakang platform TikTok Shop tersebut yang baru saja di banned pemerintah.
ADVERTISEMENT
Berangkat dari alasan kenapa layanan TikTok Shop ditutup, hal ini bermula dari jerit soleh pedagang Tanah Abang, Jakarta Pusat yang sepi pembeli dengan penjualan yang merosot.
Kemerosotan penjual offline ini katanya disebabkan gempuran produk-produk yang sangat murah dari TikTok Shop. Sehingga, pedagang-pedang offline atau UMKM konvensional anjlok dan kalah menguasai pasar dibandingkan TikTok Shop.
Setelah mendapat banyak aspirasi dari pengusaha konvensional (UMKM), pemerintah akhirnya mengatur kegiatan e-commerce tersebut dengan menerbitkan regulasi baru. Yang mana regulasi itu melarang media sosial digabung ke dalam social commerce seperti TikTok dan TikTok Shop.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menuturkan seperti dikutip dari Liputan6.com bahwa, platform social commerce hanya boleh mempromosikan barang atau jasa, tetapi dilarang membuka fasilitas transaksi jual beli bagi pengguna.
ADVERTISEMENT
Penegasan atas larangan tersebut tertuang dalam revisi Peraturan Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 dengan Permendag Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Sementara alasan lain dari sebuah platform dilarang menjalankan bisnis bersamaan dalam satu aplikasi. Menurut Fiki Satari, Staf Khusus Menteri Koperasi dan UKM, dikutip dari Liputan6.com, secara singkat yakni, sebuah platform bisa memonopoli pasar, platform bisa memanipulasi algoritma, platform bisa memanfaatkan traffic dan perlindungan data.
Dari kalkulasi-kalkulasi inilah pemerintah bertindak tegas, melihat kekuatan demikian akan mengancam keberlanjutan ekonomi/bisnis lokal. Lantas, apakah keputusan yang diambil pemerintah tersebut adalah solusi atau masalah?
Saya berpendapat, jika persoalan ini dilihat dari sudut pandang pragmatisme sudah pasti output-nya mengundang banyak kontroversi. Karena tidak sedikit para affiliator terkena imbas atas kebijakan akan pelarangan TikTok Shop tersebut beroperasi.
ADVERTISEMENT
Bisnis yang sudah dijalankan mendadak gulung tikar dan pindah ke pasar baru (platform) yang belum tentu dapat menjawab kondisi penjualan mereka.
Tetapi apabila fenomena ini dilihat dari sudut pandang optimisme, maka saya berpendapat inilah waktunya bangsa ini mempertahankan dan memulihkan kembali kedaulatan ekonomi lokal dari monopoli berkedok aplikasi seperti yang terjadi selama ini.
Pemerintah melalui Kemendag menjadikan ini sebagai agenda penting pemerintah untuk melakukan pengawasan ketat terhadap ekonomi digital yang masuk ke Indonesia.
Dilema dua sudut pandang ini menjadi PR bersama untuk memahami persoalan secara objektif. TikTok Shop ditutup bukan semata-mata pemerintah tidak mampu menyikapi perubahan atau perkembangan digitalisasi secara totalitas. Dan TikTok Shop juga jangan asumsikan hanya karena alasan kemudahan, kecepatan, maupun uang atau keuntungan lain yang didapatkan secara instan.
ADVERTISEMENT
Menurut hemat saya, jauh lebih konstruktif apa bila masalah ini dijadikan sebagai introspeksi dalam membangun ekonomi bangsa ini, sehingga mampu bersaing tanpa ketergantungan dari pihak lain. Menciptakan pasar sendiri langkah konkret agar pasar kita tetap terjaga dan tidak mudah dimonopoli oleh pihak lain.
Pemerintah sebagai pemangku kepentingan harus melakukan evaluasi terhadap kapasitas dan kualitas di seluruh sektor UMKM, agar produk-produk lokal bisa bersaing di pasar digital. Menguasai teknologi digital adalah kunci utama sebagai aksesibilitas dalam mempercepat perkembangan ekonomi, khususnya di sektor UMKM.
Perlu ketahui, pemerintah tidak melarang melakukan jual beli online atau e-commerce. Tetapi pemerintah menata perdagangan melalui sistem elektronik dengan memisahkan antara sosial media dan social commerce, seperti TikTok dan TikTok Shop.
ADVERTISEMENT
Proses penataan ini dilakukan untuk mempertimbangkan akan ancaman terhadap iklim bisnis di dunia digital. Dengan begitu, persaingan bisnis di Tanah Air lebih adil dan tidak memberatkan atau menguntungkan satu pihak saja.
Meski di sisi lain, anggapan banyak pihak, pemerintah terkesan kurang tanggap dan terlambat menyikapi masalah ini, namun lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali.

Sisi Gelap TikTok Shop

TikTok Shop. Foto: Koshiro K/Shutterstock
Seperti yang saya jelaskan sebelumnya, gempuran produk-produk murah dari layanan TikTok Shop memang sangat dikhawatirkan oleh UMKM lokal. Strategi predatory pricing yakni, menjual produk dengan harga murah (jual rugi) adalah cara untuk menyingkirkan kompetitor dari pasaran. Dan Inilah masalah paling krusial sebenarnya bagi UMKM di Indonesia.
Bahkan praktik predatory pricing ini juga menjual barang-barang impor ilegal dengan harga murah lewat social commerce. Dengan kekuatan predatory pricing yang diterapkan, UMKM lokal sudah pasti kalah bersaing, dan pelan-pelan mereka akan menguasai pasar UMKM di Indonesia. Setelah dikuasai apa yang terjadi? Silakan kalian renungkan sendiri.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan pernyataan Presiden Joko Widodo yang dikutip dari Kumparan.com, ada 90 persen barang yang dijual di Indonesia merupakan produk impor. Sementara, ada 123 juta masyarakat yang melakukan transaksi pada platform tersebut. Dan potensi ekonomi digital mencapai sekitar Rp 11,250 triliun.
Dari angka-angka ini dapat disimpulkan bahaya predatory pricing terhadap ekosistem bisnis akan mengancam kedaulatan ekonomi nasional maupun lokal. Bisa dibilang praktik seperti ini adalah penjajahan era modern melalui produk teknologi digital.
Oleh karena itu, regulasi sebagai pengelola sistem dan kontrol bagi negara harus benar-benar melindungi dan memberi rasa aman bagi masyarakat untuk keberlanjutan UMKM di Indonesia, baik di sektor e-commerce maupun konvensional.