Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten dari Pengguna
Dampak Penghapusan PBG-BPHTB: Menakar Ketangguhan Pemerintah Daerah
5 Februari 2025 10:40 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari FIDYAH RAMADHANI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Awal tahun 2025 telah membawa perubahan signifikan dalam tata kelola perizinan dan perpajakan di Indonesia dengan diberlakukannya penghapusan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dan Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Penghapusan BPHTB ini diatur dalam pasal 44 UU 1/2022 tentang Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) serta Pasal 63 PP 35/2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (KUPDRD).
ADVERTISEMENT
Pada 25 November 2024, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan umum, dan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) terkait penghapusan 2 jenis pungutan daerah tersebut serta kemudahan persyaratan dan percepatan proses PBG menjadi 10 hari. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan bahwa kebijakan tersebut merupakan arahan dan program unggulan dari Presiden Prabowo Subianto. Tito juga menegaskan bahwa penghapusan BPHTB dan PBG ini semata-mata untuk mendukung pembangunan 3 juta rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). BPHTB sebelumnya memiliki tarif 5% dari harga jual setelah dikurangi Nilai Perolehan Objek Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) yang sekarang diubah menjadi 0%, begitu pula dengan PBG yang dibebas biayakan.
Adapun batas akhir penerbitan Peraturan Kepada Daerah (Perkada) bagi seluruh kabupaten dan kota terkait kebijakan ini ditetapkan pada akhir januari 2025.
ADVERTISEMENT
Kebijakan ini diklaim sebagai upaya untuk mengurangi beban finansial masyarakat dan meningkatkan akses masyarakat terhadap perumahan. Dalam jangka panjang, kebijakan ini juga diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, langkah ini berpotensi mengganggu stabilitas fiskal daerah. Pemerintah pusat seperti ingin mengurangi beban pajak rakyat, tetapi lupa bahwa Pemda tidak punya kapasitas fiskal untuk mengganti pendapatan yang hilang.
Mari kita bahas dampak ekonomi dan sosial yang mungkin muncul, sekaligus menjawab pertanyaan: Apakah Pemda cukup tangguh menghadapi pasca penghapusan PBG-BPHTB?
Dampak ekonomi yang dapat ditimbulkan
Dari sisi ekonomi, dampak penghapusan PBG dan BPHTB dapat mengurangi beban finansial masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan peningkatan permintaan properti. Penghapusan BPHTB 5% dan Retribusi PBG secara langsung mengurangi biaya kepemilikan rumah bagi MBR. Misalnya, untuk rumah senilai Rp200 juta di Bekasi, pengamatan BPHTB mencapai Rp10 juta setelah dikurangi NPOPTKP Rp60 juta. Efisiensi ini bisa mendorong lonjakan permintaan terhadap rumah dan properti. Dalam jangka panjang, euforia in berpotensi memicu kenaikan harga tanah di wilayah sub urban. Pengembang properti mungkin memanfaatkan lonjakan permintaan untuk menaikkan harga lahan, yang justru akan mengurangi manfaat kebijakan bagi MBR.
ADVERTISEMENT
Dampak ekonomi lainnya yaitu potensi berkurangnya pendapatan asli daerah (PAD). Di beberapa kabupaten/kota, BPHTB menjadi penerimaan pajak yang berkontribusi besar pada PAD. Sebagai contoh, Pemerintah Kota Tangerang melalui Bapenda mencatat BPHTB menyumbang 12,85% dari total Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada tahun 2024, tercatat sebagai pendapatan terbesar dari daerah mengalahkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Untuk daerah yang bergantung pada BPHTB, kebijakan ini tentu mengkhawatirkan. Dengan dihapuskannya BPHTB, pemerintah daerah diperkirakan perlu mencari sumber penerimaan lain untuk menutupi kekosongan tersebut. Hal ini dapat mempengaruhi anggaran untuk pelayanan publik, seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Selain itu, ancaman defisit daerah dan ketergantungan pada pusat tidak dapat dihindari. Apalagi untuk daerah yang bergantung pada BPHTB. Tanpa intervensi pusat, daerah-daerah ini terpaksa mengorbankan program pembangunan infrastruktur kecil atau mengurangi kualitas layanan publik.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, berbeda halnya dengan Bali yang terkenal dengan pariwisatanya. Di Bali, sektor pariwisata memainkan peran penting dalam perekonomian daerah yang turut berkontribusi signifikan terhadap PAD. Pajak-pajak yang berhubungan dengan pariwisata seperti pajak hotel, pajak restoran, dan pajak hiburan memiliki peran yang tidak kalah besar dengan BPHTB. Terdapat wawancara detik bali dengan Pelaksana Tugas Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Bali I Wayan Budiasa
“Perkada penghapusan BPHTB tidak signifikan mengurangi pendapatan asli daerah di Bali” kata Budiasa kepada detikBali, Jumat (17/1/2025)
Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dampak yang ditimbulkan tergantung pada struktur penerimaan dari masing-masing daerah. Kondisi ketergantungan terhadap satu jenis pajak dapat menjadi risiko bagi keberlanjutan fiskal daerah. Hal ini menunjukkan bahwa keberlanjutan fiskal daerah harus didukung oleh diversifikasi sumber pendapatan yang lebih luas.
ADVERTISEMENT
Dampak sosial yang dapat ditimbulkan
Dalam membuat kebijakan, pemerintah tidak hanya mempertimbangkan dampak ekonomi yang cenderung berbicara angka dan grafik, tetapi juga dampak sosial bagi masyarakat, seperti kesejahteraan, pemerataan, dan kualitas hidup.
Dari sisi sosial, penghapusan PBG dan BPHTB berpotensi mengurangi jumlah permukiman kumuh, terutama di perkotaan seperti Jakarta. Berdasarkan data Badan Pusat Statistika (BPS), terdapat 19,27% rumah tangga di jakarta tinggal di rumah kumuh. Akses terhadap rumah layak huni akan mengalihkan masyarakat dari tinggal di bantaran sungai atau bawah jembatan. Dengan penghapusan ini, diharapkan dapat membuka akses ke hunian yang lebih layak.
Selain itu, kebijakan ini dapat memberikan manfaat berupa peningkatan kualitas hidup bagi masyarakat. tidak hanya tempat tinggal, tetapi juga stabilitas psikologis dan sosial. Studi menggunakan data Family Life Survey (IFLS), menunjukkan bahwa keluarga pemilik rumah memiliki tingkat kepuasan hidup lebih tinggi dibandingkan penyewa atau yang tinggal di rumah orang tua. Hal ini terkait dengan rasa kontrol atas lingkungan hidup dan kebebasan untuk mengatur ruang sesuai dengan kebutuhan keluarga.
ADVERTISEMENT
Namun, tetap saja suatu kebijakan bagai pisau bermata dua. kebijakan penghapusan PBG dan BPHTB berisiko memperlebar jurang antara daerah maju dan tertinggal. Daerah dengan infrastruktur memadai, seperti daerah di Pulau Jawa dan Pulau Bali, akan lebih cepat menuai manfaat, sementara daerah lain tertinggal akibat keterbatasan sumber daya. Misalnya, daerah di perkotaan telah memiliki infrastruktur pendukung layanan digital untuk percepatan PBG, sedangkan daerah Papua masih ada yang terkendala jaringan internet. Ketimpangan ini tidak hanya terjadi dalam hal infrastruktur fisik, tetapi juga dalam kapasitas administratif dan kelembagaan. Daerah-daerah maju cenderung memiliki sumber daya manusia yang lebih terampil dan sistem birokrasi yang lebih efisien. Misal, terjadinya keterlambatan penerbitan Peraturan Kepada Daerah (Perkada) terkait kebijakan penghapusan PBG dan BPHTB.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan analisis potensi dampak ekonomi dan sosial di atas, Apakah Pemda cukup tangguh menghadapi pasca penghapusan PBG-BPHTB? ketangguhan Pemda bergantung pada beberapa faktor krusial yaitu kapasitas fiskal, diversifikasi sumber pendapatan, kualitas tata kelola, serta kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah pusat untuk memberikan dukungan kepada daerah-daerah yang terdampak secara signifikan, terutama dalam bentuk pendampingan dan pelatihan untuk memperkuat kapasitas administratif dan kelembagaan.
Dengan strategi yang jitu dan kolaborasi lintas sektor, Pemda di seluruh Indonesia bukan hanya sekedar bertahan, tetapi berpeluang untuk bangkit lebih kuat dalam menghadapi era baru pasca penghapusan PBG dan BPHTB.