Konten dari Pengguna

Merantau: Pulang atau Tinggal

Rafidza Ardian Putri Susanto
Mahasiswa Ilmu Komunikasi UMY
22 Januari 2025 13:33 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rafidza Ardian Putri Susanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana malam hari di Nol KM kota Yogyakarta (Sumber: Olahan Penulis)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana malam hari di Nol KM kota Yogyakarta (Sumber: Olahan Penulis)
ADVERTISEMENT
Yogyakarta masih menjadi andalan tempat para mahasiswa yang ingin menuntut ilmu lebih tinggi, tidak heran jika kota dengan makanan khas gudeg ini banyak sekali perantauan anak muda yang baru mulai menjalani kehidupan mereka yang sebenarnya untuk pertama kali.
ADVERTISEMENT
Kota yang menjadi peringkat teratas menjadi kota tujuan pendidikan ini menjadi pilihan untuk anak muda yang ingin memulai kehidupan baru mereka. Dengan adanya universitas-universitas bagus, banyaknya tempat wisata, dan juga makanan yang khas menjadikan kota yang terkenal dengan Gudeg ini selalu menjadi pilihan para remaja untuk kehidupan mandiri yang di jalani.
“Di Jogja tuh murah biaya hidupnya.” ucap Amel (21) ketika ditanya mengapa memilih kota ini untuk pembelajaran hidup pertama dalam hidupnya, tidak bisa menyangkal juga bahwa memang di sini harga makanan masih tergolong murah.
Melanjutkan kuliah di luar kota tentunya bukan perkara mudah untuk seseorang yang mempunyai hubungan lekat dengan keluarganya, bisa mengalami homesick jika sudah terlalu rindu dengan suasana kampung halaman dan orang-orang yang ada di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Tapi, lain lagi mungkin yang melihat merantau adalah suatu peluang untuk pergi dari kehidupannya yang lama dan mulai mengais kehidupan baru yang lebih baik. Fenomena mahasiswa yang merasa enggan untuk pulang ke kampung halamannya sudah banyak di temui, tidak heran jika ada mahasiswa yang lebih memilih lebaran di perantauan ketimbang pada kampung halamannya sendiri.
Menurut Prof. Suciati Dosen Psikologi Komunikasi UMY (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta). “Bahwa yang menyebabkan remaja tidak suka di rumah dan lebih memilih untuk tetap tinggal di tanah perantauan adalah anak tersebut merasa nyaman jauh dari orang tua yang sebelumnya mungkin dari cara pola asuh orang tua tersebut salah dan terkesan menjerat sang anak.” Terang Prof. Suciati saat ditemui di ruangannya.
ADVERTISEMENT
Pola asuh dan gaya komunikasi orang tua pada anak akan sangat berperan penting untuk kehidupan anak ke depannya, bisa Asertif dan juga bisa Agresif yang nantinya akan menentukan cara anak berkomunikasi ke depannya itu bagaimana.
Anak bisa jadi ingin merantau karena ingin keluar dari zona nyaman tetapi bisa juga sang anak ini ingin hidup jauh dari orang tuanya.
Selain karena ingin jauh dari orang tua sering kali kita sebagai perantauan terkesan malu untuk bercerita kepada orang tua di sana tentang permasalahan yang sedang dihadapi di sini, kerap kali kita memendam perasaan yang ada pada raga ini dan di telan sendiri.
“Terus mel, kalo kamu ada masalah di sini kamu bakal ngomong ke siapa?” tanya sang sepnulis.
ADVERTISEMENT
“Enggak ada sih, aku kalo punya masalah gak pernah cerita. Aku biasanya langsung pergi ke coffee shop terus ya sudah nongkrong ya itu yang ngebuat lepas masalahku.? “ Ucap Amel (21) teman sekelasku yang aku sangat salut karena dia sudah genap satu tahun tidak pulang ke rumahnya yang ada di Morotai, Maluku Utara.
Ada plus dan minus dalam menjalani kehidupan merantau ini, plusnya adalah bisa keluar dari zona nyaman dan belajar hidup dengan mandiri namun minusnya adalah di takutkan terjerumus oleh lingkungan yang salah jelas Prof. Suciati saat dimintai pendapat.
Namun terjadinya plus dan minus juga tergantung dengan kedekatan emosional yang dialami oleh remaja kepada orang tua mereka, jika hubungan anak dan orang tuanya baik maka akan timbul rasa rindu dan orang tua mungkin akan lebih ridho untuk melepas anaknya yang akan hidup mandiri di kota orang lain. Tetapi, jika hubungan tidak baik maka akan timbulnya perasaan tidak rela yang muncul dari sisi orang tua dan rasa malas untuk pulang dari sisi anak perantau ini.
ADVERTISEMENT
Dengan harum aroma khas petrichor yang timbul karena hujan yang menyentuh tanah kering mulai menusuk hidung, berbeda dengan Amel reaksi yang di berikan Fauzan (19) terkesan lebih santai seperti tidak ada permasalahan dengan pertanyaan tersebut.
“Pastinya aku ingin ngerasain hal-hal yang baru, suasana baru, orang-orang baru, ya bisa di bilang keluar dari zona nyaman lah.” Jawab Fauzan (19) sembari memainkan kunci motornya, bersiap untuk pulang dan sudah rapi dengan jaket yang nantinya di gunakan untuk menerobos hujan.
Dengan kata “keluar dari zona nyaman” yang menjadi mantra bagi para perantauan agar bisa memupuk keberanian yang nantinya melangkah untuk menjalani kehidupan di kota orang lain.
Selain keluar dari zona nyaman kata-kata seperti ingin mencoba hal baru juga selalu di ucapkan para perantau jika di tanya kenapa ingin tinggal jauh dari rumah.
ADVERTISEMENT
Prof. Suciati juga menyampaikan bahwa anak perantauan ini membawa hasil pola asuh gaya komunikasi yang dilakukan kedua orang tuanya pada saat anak belum pergi ke luar kota untuk merantau.
Dengan anak yang sudah memiliki keterampilan untuk berkomunikasi dengan orang lain dan memiliki batasan diri untuk hidup mandiri di kota perantauan dapat menjadikan sang anak ini memiliki keluarga kedua yang dapat di andalkan di kota perantauan.
Seperti Abith (22) di Jogja ia memiliki keluarga kedua yang sangat di sayanginya yaitu IKOM Radio yang selalu menjadi tempat yang nyaman ketika dia merasa butuh dukungan, ingin bermain, dan berkegiatan yang dapat mengisi kesehariannya selama 3 tahun.
Dengan berbagai masalah yang silih berganti maupun itu dari segi ekonomi, pertemanan, rasa rindu terhadap rumah, dan rasa sedih tidak bisa menemani orang tua di masa tuanya semoga seluruh anak perantauan selalu di berikan ketabahan dan juga kesabaran hati juga ketenangan pikiran.
ADVERTISEMENT
Ingat selalu orang tua di kampung halaman dan rumah sana selalu berharap yang terbaik untuk kehidupan kita.
Rafidza Ardian Putri Susanto, Mahasiswi S1 Ilmu Komunikasi UMY.