Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Euthanasia dalam Perawatan Paliatif : Solusi atau Kontroversi?
21 Oktober 2024 11:05 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Sofiyah Ariefatul tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Apa Itu Ethunasia?
Euthanasia, secara etimologis berasal dari bahasa Yunani "eu" yang berarti baik, dan "thanatos" yang berarti kematian, merujuk pada tindakan yang disengaja untuk mengakhiri hidup seseorang guna meringankan penderitaan akibat penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Euthanasia terbagi menjadi dua jenis utama yaitu euthanasia aktif, di mana dokter atau tenaga medis melakukan tindakan langsung untuk mempercepat kematian pasien, dan euthanasia pasif di mana perawatan yang menopang hidup dihentikan atau ditolak, sehingga pasien meninggal secara alami (Gopal, 2023). Perawatan paliatif, di sisi lain, adalah pendekatan medis yang difokuskan untuk mengurangi penderitaan pasien dengan penyakit serius tanpa mempercepat kematian. Menurut WHO, perawatan paliatif bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dengan memberikan perawatan yang komprehensif dan holistik, mencakup aspek fisik, emosional, sosial, dan spiritual (WHO, 2023). Dalam konteks ini, euthanasia dan perawatan paliatif sering kali dikaitkan dalam diskusi mengenai pasien terminal, namun memiliki pendekatan yang sangat berbeda terhadap akhir kehidupan.
ADVERTISEMENT
Perbedaan Antara Euthanasia dan Perawatan Paliatif
Euthanasia dan perawatan paliatif berbeda dalam hal tujuan, metode, dan implikasi etis. Euthanasia bertujuan untuk mempercepat kematian pasien guna menghilangkan penderitaan yang tak tertahankan, baik melalui tindakan langsung seperti suntikan mematikan (aktif) atau penghentian perawatan medis yang penting (pasif) (Miller et al., 2021). Tindakan ini memicu perdebatan etis karena melibatkan intervensi aktif untuk mempercepat kematian. Sebaliknya, perawatan paliatif difokuskan untuk mengelola rasa sakit dan gejala tanpa mempercepat atau menunda kematian. WHO menegaskan bahwa perawatan paliatif menghormati proses alami kematian dengan tujuan utama meningkatkan kualitas hidup pasien dan memberikan kenyamanan hingga akhir hayat mereka (WHO, 2023). Perbedaan fundamental ini menyebabkan banyak tenaga medis lebih mendukung perawatan paliatif karena dianggap lebih selaras dengan prinsip-prinsip etika medis yang melarang tindakan yang mempercepat kematian (Buchman et al., 2020).
ADVERTISEMENT
Argumen yang Mendukung Euthanasia dalam Perawatan Paliatif (Solusi)
Pendukung euthanasia berpendapat bahwa memberikan opsi untuk mengakhiri hidup adalah bentuk penghormatan terhadap hak pasien untuk memilih, terutama ketika mereka menghadapi penderitaan yang tidak tertahankan akibat penyakit terminal. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Fitzgerald et al. (2020), banyak pasien merasa bahwa euthanasia memberi mereka kendali atas nasib mereka dan menawarkan akhir hidup yang lebih bermartabat. Euthanasia juga dianggap sebagai cara yang efektif untuk mengurangi penderitaan. Banyak pasien terminal merasa bahwa perawatan paliatif tidak cukup dalam mengelola rasa sakit mereka. Penelitian menunjukkan bahwa 87% pasien yang memilih euthanasia di Belgia merasa puas dengan keputusan tersebut, menunjukkan bahwa opsi ini dapat memberikan rasa kelegaan dan tenang bagi pasien (Chambaere et al., 2015). Euthanasia, dalam hal ini, dianggap sebagai solusi untuk mengatasi penderitaan berkepanjangan ketika perawatan paliatif gagal mencapai efek yang diharapkan.
ADVERTISEMENT
Argumen yang Menentang Euthanasia dalam Perawatan Paliatif (Kontroversi)
Penentang euthanasia berfokus pada aspek etika dan moral. Banyak yang berpendapat bahwa euthanasia bertentangan dengan prinsip dasar kedokteran yang berusaha untuk melindungi kehidupan. Menurut Gert et al. (2019), euthanasia melanggar prinsip non-maleficence ("jangan membahayakan") dalam etika medis, dan tindakan ini dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap kewajiban dokter untuk menjaga hidup pasien. Ada juga kekhawatiran tentang risiko penyalahgunaan. Bakker et al. (2021) menyatakan bahwa tekanan dari keluarga atau lingkungan sosial dapat mempengaruhi keputusan pasien untuk memilih euthanasia, sehingga keputusan ini mungkin tidak sepenuhnya otonom. Selain itu, beberapa berpendapat bahwa dengan meningkatkan kualitas perawatan paliatif, kebutuhan akan euthanasia bisa diminimalisir, karena manajemen nyeri yang lebih baik dan dukungan emosional yang lebih komprehensif dapat membantu mengurangi penderitaan pasien (Hughes et al., 2020).
ADVERTISEMENT
Aspek Hukum dan Kebijakan di Indonesia
Di Indonesia, euthanasia secara tegas dilarang oleh hukum. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 344 dan 345, tindakan yang dengan sengaja mengakhiri hidup seseorang, bahkan atas permintaan pasien sendiri, dianggap sebagai tindakan kriminal yang dapat dihukum penjara (Sari et al., 2022). Secara etis dan moral, euthanasia juga ditentang oleh mayoritas masyarakat Indonesia yang dipengaruhi oleh nilai-nilai agama dan budaya yang menekankan pentingnya menjaga kehidupan. Sementara itu, perawatan paliatif mulai mendapatkan perhatian lebih di Indonesia. Pemerintah dan beberapa rumah sakit kini sedang meningkatkan akses dan kualitas perawatan paliatif, dengan harapan bahwa pasien yang mengalami penderitaan terminal dapat menerima pengelolaan nyeri yang lebih baik dan dukungan yang komprehensif tanpa harus mempertimbangkan euthanasia sebagai pilihan.
ADVERTISEMENT
Perbandingan Praktik Euthanasia di Berbagai Negara
Negara-negara seperti Belanda, Belgia, dan Kanada telah melegalkan euthanasia di bawah syarat-syarat ketat. Di Belanda, euthanasia diizinkan bagi pasien yang menderita sakit parah dan tidak ada prospek pemulihan. Proses ini dilakukan dengan persetujuan dua dokter independen (Onwuteaka-Philipsen et al., 2018). Belgia memiliki hukum yang serupa dan bahkan mengizinkan euthanasia bagi anak-anak dalam kasus-kasus tertentu (Chambaere et al., 2015). Sementara di Kanada, "medical assistance in dying" (MAID) dilegalkan pada tahun 2016 dan memungkinkan pasien yang memenuhi kriteria tertentu untuk memilih kematian yang dibantu oleh dokter (McKinnon et al., 2021). Di sisi lain, banyak negara, termasuk Amerika Serikat (kecuali beberapa negara bagian seperti Oregon dan California), Jepang, India, dan Indonesia melarang euthanasia. Di India, Mahkamah Agung mengizinkan "passive euthanasia," di mana pasien dapat menolak perawatan yang berlebihan, namun euthanasia aktif tetap ilegal (Bhatia et al., 2020).
ADVERTISEMENT
Pandangan Medis, Keluarga, dan Masyarakat
Pandangan terhadap euthanasia di kalangan medis sangat bervariasi. Beberapa dokter mendukung euthanasia sebagai cara untuk mengurangi penderitaan yang tak tertahankan, sementara yang lain melihatnya sebagai pelanggaran terhadap prinsip etika kedokteran. Sebuah studi oleh Hernández-Quevedo et al. (2021) menunjukkan bahwa banyak dokter yang khawatir euthanasia dapat merusak kepercayaan antara pasien dan dokter, serta menyebabkan stres emosional bagi tenaga medis. Dari perspektif keluarga, keputusan untuk euthanasia sering kali menimbulkan dilema emosional. Sebagian keluarga mendukung euthanasia sebagai cara untuk menghentikan penderitaan orang yang mereka cintai, sementara yang lain menolak karena alasan moral dan agama (Sari et al., 2022). Di tingkat masyarakat, mayoritas warga Indonesia, yang dipengaruhi oleh norma budaya dan agama, menolak euthanasia. Pandangan konservatif ini menganggap euthanasia bertentangan dengan ajaran agama yang mengutamakan kehidupan dan menganggapnya sebagai anugerah yang harus dihormati (Yusuf et al., 2021).
ADVERTISEMENT
Kesimpulan Solusi atau Kontroversi?
Euthanasia dalam perawatan paliatif tetap menjadi topik yang kontroversial, terutama karena melibatkan isu-isu etis, moral, dan hukum yang rumit. Bagi sebagian pasien, euthanasia mungkin menawarkan solusi untuk penderitaan yang tak tertahankan. Namun, dalam banyak konteks, termasuk Indonesia, euthanasia lebih dipandang sebagai praktik yang kontroversial, bertentangan dengan prinsip etika medis dan nilai-nilai moral. Oleh karena itu, pendekatan yang lebih manusiawi mungkin terletak pada pengembangan perawatan paliatif yang lebih baik, di mana pasien dapat menerima dukungan yang mereka butuhkan tanpa harus memilih kematian sebagai satu-satunya jalan keluar dari penderitaan.
DAFTAR PUSTAKA
ADVERTISEMENT
Sofiyah Ariefatul Fa’izah Sakbani, mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Jember