Konten dari Pengguna

Eksistensi Becak di Era Moderenisasi: Nostalgia yang Berjuang Menolak Hilang

Figi Nurmelia Agista
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
20 Januari 2025 16:25 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Figi Nurmelia Agista tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Foto becak yang berjejer rapi menunggu penumpang di depan Malioboro Mall, Yogyakarta, Jumat (13/12/2024). Dokumentasi Pribadi: Figi Nurmelia Agista
zoom-in-whitePerbesar
Foto becak yang berjejer rapi menunggu penumpang di depan Malioboro Mall, Yogyakarta, Jumat (13/12/2024). Dokumentasi Pribadi: Figi Nurmelia Agista
Di sudut Malioboro, di antara riuh rendah pedagang kaki lima dan langkah kaki wisatawan yang berlalu-lalang, deretan becak berjajar rapi. Deretan becak masih setia menanti penumpang. Pandangannya kosong menatap jalan yang tak lagi ramai oleh pelanggan. Becak ikon transportasi tradisional yang pernah berjaya pada masanya, kini harus berhadapan dengan kemajuan zaman, terutama dengan hadirnya transportasi online.
ADVERTISEMENT
Suara roda berderit pelan seolah berbaur dengan hiruk-pikuk kendaraan bermotor lainnya, namun di balik itu tersimpan kisah perjuangan para tukang becak yang berusaha bertahan hidup. Dengan wajah yang sarat akan pengalaman, mereka bercerita tentang perubahan drastis dalam hidupnya sejak transportasi online masuk ke Yogyakarta.
Kirnoyo Hasim (63), masih ingat masa-masa ketika menarik becak adalah pekerjaan yang cukup menjanjikan. “Dulu, tahun 1992, saya mulai narik becak pakai becak ontel. Waktu itu enak cari uang, pelanggan yang nyamperin tukang becak,” katanya sambil menerawang ke masa lalu. Kini kondisi itu berubah drastis. Becak hanya menjadi pilihan terakhir, itupun bagi wisatawan yang ingin sekedar merasakan romantisme transportasi tradisional.
Penarik becak yang merasakan dampak dari perkembangan teknologi yang semakin cepat, Jumat (13/12/2024). Dokumentasi Pribadi: Figi Nurmelia Agista
Tidak hanya Kirnoyo, cerita serupa juga datang dari Parjono (52), yang mulai menarik becak pada tahun 1997. “Dulu penumpang yang datang cari becak. Sekarang kami yang harus nawarin, hari ini saja belum dapat penumpang,” ujarnya lirih. Ia menambahkan bahwa sejak kehadiran transportasi online, pendapatannya merosot tajam. “Kalau dulu bisa narik banyak, sekarang ya pasrah, sehari dapat sedikit.”
ADVERTISEMENT
Dulu becak menjadi simbol kehidupan kota Jogja. Menyusuri jalan sambil membawa penumpang dari terminal, pusat perbelanjaan, hingg pasar tradisional. Kini becak berjuang mencari ruang di tengah arus moderenisasi.
Transportasi online seperti ojek online memberikan alternatif yang lebih cepat, mudah, dan murah. Slamet (47), sebagai anggota Paguyuban Becak Malioboro Selatan menyadari perubahan ini. “Becak sekarang kalah saing, kalua dulu bisa 10 kali narik dalam sehari, sekarang paling Cuma 4-5 kali, kadang malah nggak dapat penumpang sama sekali,” katanya.
Sebagai upaya bertahan, Slamet dan kawan-kawannya di paguyuban mencoba mengatur strategi. Mereka lebih banyak menawarkan jasanya langsung ke wisatawan di sekitar Malioboro, meskipun tidak selalu berhasil. “Saya berangkat jam 10 pagi, pulangnya jam 10 malam, kadang harus pulang lebih larut tapi ya penghasilannya sama aja, apalagi kalua hujan tambah sepi penumpangnya,” ungkapnya.
Salah satu penarik becak motor yang tergabung dengan Paguyuban Becak Malioboro Selatan, Jumat (13/12/2024). Dokumentasi Pribadi: Figi Nurmelia Agista
Realita ini juga dirasakan oleh Mupangadikir (56). “Sekarang sepi, kalau ada yang naik becak itu paling turis atau orang dari luar kota. Orang lokal udah pada naik ojek online,” katanya. Pendapatannya pun kini jauh dari harapan, “Dulu sehari bisa 100 ribu lebih, sekarang 50 rubu aja sudah Syukur. Kalau pas libur panjang atau hari Minggu baru bisa dapat 100 ribu, tapi itu juga jarang,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Becak yang dulunya menjadi penghubung utama, namun kini hanya beroperasi di jarak pendek. “Saya Cuma antar-antar yang dekat saja, nggak kaya dulu ke terminal atau Jombor,” tambahnya.
Bagi mereka yang bertahan seperti Kirnoyo dan Parjono, becak bukan hanya sekedar alat transportasi saja, melainkan simbol perjuangan. Ada nostalgia yang masih tersisa saat mereka mengayuh pedal atau menyusuri jalan dengan becak motor, namun nostalgia itu harus berbenturan dengan realita zaman yang sudah semakin maju.
Parjono mengaku tidak ada pekerjaan lain yang bisa ia lakukan selain menarik bejak. “Ini pekerjaan utama saya. Mau gimana lagi? Ya harus bertahan,” katanya. Begitupula dengan Mupangadikir yang berangkat pagi dan baru bulang larut malam demi beberapa lembar uang yang semakin sulit diperoleh.
ADVERTISEMENT
Ada tanggungjawab tersendiri bagi mereka yang tetap setia menarik becak. Slamet mengatakan, “Saya ini cari nafkah buat keluarga, mau gimana lagi kita tetap harus berusaha.” Sayangnya di tengah derasnya arus teknologi, keberadaan becak semakin terpinggirkan.
Fakta bahwa pendapatan pengemudi becak terus menurun menunjukkan betapa transportasi tradisional ini kian kalah saing. Kirnoyo menggambarkan relita pahit itu. “Kalau becak dari Malioboro ke Ambarukmo Plaza itu 60 ribu, tapi kalau ojek online cuma 20 ribu, mana mau orang naik becak, “ jelasnya.
Kirnoyo juga menambahkan kalau sekarang turis juga sudah jarang ada yang mau naik becak, "Turis juga sekarang jarang mau naik becak. Kalau dulu turis senang naik becak, tapi sekarang semua pada milih ojek online, jadi kita sekarang susah nyari penumpang,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Tidak bisa dipungkiri, perubahan ini adalah konsekuensi dari perkembangan teknologi yang semakin pesat. Transportasi online lebih praktis, sementara becak membutuhkan usaha ekstra bagi pengemudi maupun penumpangnya baik dari segi waktu maupun biaya.
Ketika ditanya tentang harapan merka kedepannya, Kirnoyo hanya tersenyum kecil. “Kalau bisa ya becak jangan sampai hilang, ini kan warisan budaya,” ujarnya. Slamet pun berharap ada perhatian dari pemerintah, “paling nggak ada tempat khusus buat becak, wisatawan kan bisa merasakan lagi naik becak nggak cuma liat di foto-foto lama.”
Mupangadikir dan Parjono sama-sama berharap becak tidak sepenuhnya hilang. Mereka tau bahwa bertahan bukan perkara yang mudah, tapi bagi mereka ini adalah pilihan hidup. Becak bukan hanya sekedar transportasi tradisional saja, becak adalah simbol ketahanan, kerja keras, dan Sejarah panjang yang terancam hilang.
ADVERTISEMENT
Becak mungkin tidak lagi menjadi primadona di tengah hiruk-pikuk kota, namun di balik ramainya jalan Malioboro dan sekitarnya, masih ada Kirnoyo, Parjono, Mupangadikir, dan Slamet yang berjuang setiap hari. Becak bukan hanya sekedar alat untuk mencari nafkah, melainkan becak merupakan saksi bisu perubahan zaman. Apakah becak pada akhirnya akan hilang? Jawabannya masih menggantung, seperti kayuhan becak yang bergerak pelan di ujung jalan yang sepi.