Konten dari Pengguna

Di Balik Gelar Sulthan Al-Auliya' pada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani

Figo Zulfan Alfaraby
Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
22 Maret 2021 11:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Figo Zulfan Alfaraby tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
ADVERTISEMENT
Dalam sejarah Islam, setiap abad akan ditemukan satu orang yang menjadi tokoh besar Islam berstatus mujaddid. Hal ini selaras dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwasanya Allah akan mengirimkan seorang tokoh pembaharu dalam Islam ditiap 100 tahun sekali yang akan membawa pengaruh besar dalam sejarah umat Islam. Jika pada abad ke 11 M / 5 H, sejarah islam memiliki tokoh Imam al-Ghazali yang terkenal akan gelar hujjatul islam-nya yang mampu mengkolaborasikan antara ruang syariat dengan tarikat dan memiliki karya Ihya’ ‘Ulum ad-Din yang hingga saat ini masih dijadikan rujukan umat islam dalam praktik ibadah. Maka pada abad ke 12 / 6 H sebelum munculnya tokoh masyhur Imam Fakhruddin ar-Razi, kedudukan mujaddid dimiliki oleh seorang yang sukses memadukan antara syariat dan dimensi sufisme secara praktis. Dan beliau mendapat predikat sulthanul auliya’ atau pemimpin para wali. Dia adalah Syaikh Abdul Qadir a-Jaelani
ADVERTISEMENT
Halnya Imam al-Ghazali yang masyhur dikalangan akademisi pengkaji sufistik melalui kitab-kitab teori sufinya, Syeikh Abdul Qadir al-Jaelani justru masyhur akan praktik tarikat atau amaliyah sufismenya. Sehingga tidak jarang masyarakat menyelipkan nama beliau pada setiap kegiatan amaliyah untuk menghormati melalui kiriman doa atau yang sering disebut dengan tawasul. Bahkan perjalanan hidup Syeikh Abdul Qadir al-Jaelani hingga kini masih terkenang dengan baik di kalangan masyarakat dengan kegiatan manaqibnya atau pembacaan riwayat hidup beliau. Tidak heran jikalau nama beliau tidak asing bagi umat muslim di Indonesia.
Biografi
Memiliki nama lengkap Sayyid Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qadir ibn Abi Shalih Musa Zangi Dausat al-Jailani. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dilahirkan di desa nif, sebuah desa di daerah Jailan atau sebutan lain Jilan, Kailan atau al-Jil yang terletak di Thabaristan, Kurdistan Selatan. Sebuah perkampungan di antara pegunungan yang sekarang masuk di wilayah Republik Islam Iran. Beliau lahir waktu fajar, Senin, 1 Ramadhan 470 H atau bertepatan dengan tahun 1077 M, yang dimana beliau tidak mau menyusu kepada ibunya ketika siang hari di bulan Ramadhan. Karomah ini dijadikan patokan masyarakat sekitar untuk penetapan waktu puasa Ramadhan pada saat itu. Dan beliau wafat di Bab al-Ajaz, Baghdad pada Sabtu, 11 Rabiuts-Tsani 561 H, bertepatan dengan tahun 1166 M di usia 91 tahun.
ADVERTISEMENT
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani memiliki nasab mulia yang bersambung hingga Rasulullah SAW. Dari jalur ayah yaitu al-Jailani bin Abi Shalih Musa Janki Dausat bin Abdillah bin Yahya Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdillah bin Musa bin Abdullah Mahdhi bin Hasan II bin Sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib atau putra dari Fatimah Az-Zahra binti Muhammad Rasulullah. Sedangkan dari ibu bernama Fatimah binti Abdillah bin Mahmud bin Abi al-Atha bin Kamaluddin bin Abi Abdillah Alauddin bin Ali Ridlo bin Musa Kazim bin Jakfar ash-Shadiq bin Muhammad Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Fatimah Az-Zahra putri Nabi Muhammad. Beliau memiliki empat istri dan dikaruniai empat puluh sembilan anak, yang terdiri dari dua puluh anak laki-laki dan dua puluh Sembilan anak perempuan.
ADVERTISEMENT
Selain memiliki nasab yang mulia dan terhormat dalam status sosial masyarakat. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani merupakan seorang yang cerdas dan memiliki budi pekerti yang luhur. Sehingga beliau pernah menjadi mufti Mazhab Syafi’i di Mesir. Di samping itu beliau terkenal akan sifat zuhud dan wara’, gemar melakukan tirakat, riyadhah dan mujahadah melawan hawa nafsu. Karenanya hal itu berkaitan dengan ajaran sufi yang beliau tekuni.
Foto: Raja para wali
Sulthan al-Auliya’
Kisah di balik gelar ‘Raja para Wali’ pada Syaik Abdul Qadir al-Jailani banyak diceritakan di dalam kitab-kitab para ulama’. Salah satunya di dalam kitab Al-Fawaid al-Mukhtarah (Yaman: Dar al-Ilmi wa ad-Da`wah, 2018), karya Habib Ali Hasan Baharun. Dalam kitab itu diceritakan bahwa ketika Syekh Abdul Qadir al-Jailani mencari ilmu memiliki dua teman yang sangat cerdas, mereka adalah Ibn Saqa’ dan Ibn Abi ‘Asrun. Pertemanannya berlanjut hingga suatu saat mereka ingin pergi ke daerah pelosok untuk menjumai seorang wali paripurna, atau sering dikenal dengan istilah wali ghauts. Mereka bertiga pergi dengan niat dan tujuan yang berbeda. Ibn Saqa’ dan Ibn Abi ‘Asrun berniat ingin menguji kewalian wali ghauts itu dengan sebuah pertanyaan sulit yang telah disiapkannya. Dan mereka berdua yakin pertanyaannya tidak akan mampu terjawab. Sedangkan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tidak ingin bertanya apapun, beliau hanya berniat sowan dan mengharap keberkahan dari wali ghauts itu.
ADVERTISEMENT
Sesampainya di kediaman wali ghauts, mereka mengetuk pintu rumahnya. Tetapi wali itu justru melambatkan langkah kakinya untuk membukakan pintu. Ketika keluar menemui mereka, alangkah kagetnya Ibn Saqa’ dan Ibn Abi ‘Asrun menyaksikan wali ghauts itu menjawab semua pertannyaan dengan jelas bahkan sebelum pertanyaan mereka diajukan. Kemudian wali ghauts itu melanjutkan dengan perkataan bahwa dalam pandangan batinnya, ada api kekufuran yang menyala di dalam tulang rusuk Ibn Saqa’ dan terlihat bumi yang berjatuhan menimpa tubuh Ibn Abi ‘Asrun. Sedangkan ketika melihat tubuh Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, wali ghauts itu tahu akan niat baiknya. Wali itu mengatakan bahwa Syaikh Abdul Qadir al-Jailani telah mencapai keberkahan.
Dalam Kitab Qalaidul Jawahir, Habib Umar Muthohar menceritakan bahwa diantara cerita lain, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dalam suatu majelis ilmu mengatakan “qadami ‘ala raqabatin kulli waliyin” yang artinya adalah “telapak kakiku berada di atas leher semua wali”. Pada saat itu, Syaikh al-Hakari yang juga berada di dalam mejelis itu langsung mencium kaki Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Dengan maksud taslim bahwa memang benar kedudukan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tinggi di sisi Allah.
ADVERTISEMENT
Pada zaman itu juga, hidup seorang sufi dan wali besar yang bernama Sayyidi Ahmad ar-Rifa’i yang tinggal di Umm Ubaidah. Diceritakan bahwa saat itu beliau sedang berkhalwat di zawiyahnya atau tempat yang digunakan beliau untuk mengajar murid-muridnya. Ketika para muridnya sedang menunggu beliau selesai berkhalwat, tiba-tiba jendela zawiyah atau tempat berkhalwat itu terbuka dan terdengar Sayyidi Ahmad ar-Rifa’i mengatakan “shadaqa Abdul Qadir” lalu jendelanya tutup lagi. Lantas semua murid beliau penasaran dengan apa maksud dari ucapan sang guru. Memang semua murid Sayyidi Ahmad ar-Rifa’i juga mengetahui bahwa pada masa itu juga hidup seorang waliyullah besar yang bernama Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Ternyata setelah diteliti, diurutkan berdasarkan waktu pengucapan beliau, ucapan itu keluar bersamaan ketika Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mengatakan “qadami ‘ala raqabatin kulli waliyin”. Padahal tempat Sayyidi Ahmad ar-Rifa’i yang berada di daerah Umm Ubaidah berjarak sejauh 600 KM dari Baghdad atau tempat Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tinggal.
ADVERTISEMENT
Begitulah dunia para wali, Sayyidi Ahmad ar-rifa’i mempu menyatakan pengakuan akan telapak kaki Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berada di atas leher semua wali, walaupun jarak di antara keduanya sangatlah jauh. Mereka diberikan keistimewaan Allah Subhanahu wa ta’ala berupa kasyaf atau mampu melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang pada umumnya, mampu berkomunikasi jarak jauh dengan kejernihan hati, dan lain sebagainya. Memang kisah para wali tentu memberi pelajaran sebagai pengingat dan untuk menguatkan iman.