Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
11 Ramadhan 1446 HSelasa, 11 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Komik sebagai Alat Komunikasi Politik
2 Januari 2021 22:05 WIB
Tulisan dari Farkha Zhafirah Fakhrunnisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini komik sedang digandrungi oleh banyak orang dari berbagai kalangan. Kenyataan bahwa visual yang disertai ilustrasi lebih mudah ditangkap oleh otak manusia dibandingkan tulisan membuat komik semakin sering dimanfaatkan dalam berbagai hal. Tidak terkecuali sebagai alat komunikasi politik, baik oleh para kaum elit politik maupun masyarakat.

Komik dianggap memudahkan pesan yang ingin disampaikan kaum elit politik untuk disampaikan kepada masyarakat. Maka paslon wali kota dan wakil wali kota asal Mataram, Selly Andayani dan Abdul Manan (SALAM) mencoba menggunakan komik untuk berkampanye di era pandemi Covid-19. Dilansir dari media Kompas.com berjudul Kampanye di Masa Pandemi, Paslon di Pilkada Mataram Buat Komik agar Visi Misi Mudah Dipahami oleh Idham Khalid, paslom SALAM mencoba menyampaikan visi misi serta menawarkan program-program kerja mereka kepada masyarakat kota Mataram. Menurut Selly, di era pandemi yang tidak memperbolehkan masyarakat untuk berkumpul di ruang publik membuat mereka perlu memutar otak dan terpilihlah komik sebagai media kampanyenya karena dianggap cocok untuk menyampaikan pesan kampanyenya kepada masyarakat.
ADVERTISEMENT
Semakin berkembangnya komik di Indonesia pun membuat banyak komikus mulai mencoba memasuki genre-genre yang terbilang tidak biasa. Kian marak komik-komik yang mengambil tema politik untuk mengkritik pemerintahan dan kinerja anggota pemerintah. Seperti dalam jurnal berjudul Menyimak Pemilu dan Perilaku Elite Politik dalam Komik. Volume VII, Nomor 1. Juni yang ditulis oleh Bagus Prasetyo pada tahun 2015, salah satu komik yang menjadi wadah kritik politik-sosial ialah Panji Koming karya Dwi Koendoro Brotoatmodjo. Komik strip (komik pendek bersambung) yang diterbitkan mingguan di harian Kompas edisi Minggu sejak 14 Oktober 1979. Panji Koming mengambil latar saat masa kerajaan Majapahit, namun kisah-kisah yang ditampilkan telah disesuaikan dengan permasalahan yang sedang terjadi di masa sekarang sehingga pembacanya tetap merasa relate dengan kisahnya.
ADVERTISEMENT
Selain di Indonesia, di Amerika komik pun memuat genre politik. Seperti pada tahun 2009, David Hutchison membuat seri komik berjudul President Evil dengan empat episode yang diterbitkan di Antarctic Press. Kemudian Marc DiPaolo dalam bukunya War, Politics and Superheroes Ethnics and Propaganda in Comics and Films pada tahun 2011, Marc menyebutkan bahwa President Evil menceritakan tentang Obama, seorang presiden yang menjadi pahlawan demi menyelamatkan Amerika dan pemerintahannya. Obama bergerak melawan hal-hal buruk yang di Amerika dan orang-orang yang ingin membuat dirinya turun dari jabatannya. Komik tersebut dapat membuat masyarakat dapat bersimpati dengan Obama sebagai presiden yang baik dan berani melawan hal-hal buruk demi kepentingan warga Amerika. Karya fiksi tersebut dianggap sebagai bentuk nyata dalam dunia paralel dengan kisah Presiden Amerika masa jabatan 2007-2017 yaitu Barack Obama, yang berjuang melawan kelompok-kelompok yang ingin menjatuhkan dirinya.
ADVERTISEMENT
Komik memang dapat dimanfaatkan dalam beragam aspek. Komik dapat menjadi wadah penyalur aspirasi rakyat, alat propaganda, atau sekadar hiburan, tidak terkecuali dari pandangan politik seperti untuk kampanye pemilu atau pilkada. Selain karena lebih mudah diterima oleh masyarakat, komik juga dapat menjadi wadah komikus dalam menyampaikan opininya dalam bentuk yang “lebih halus” kepada pemerintah. Diharapkan dengan semakin banyaknya komikus yang terjun dalam membahas politik ini dapat dijadikan sebagai jembatan antara masyarakat dan pemerintah sehingga komunikasi antara keduanya dapat menjadi lebih terbuka.
Farkha Zhafirah Fakhrunnisa, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia