Apakah Mengaku Memiliki Gangguan Jiwa Bisa Bebas Dari Pidana?

Ngerti Hukum
Ngerti Hukum adalah penyedia informasi hukum yang ada di sekitar kita. Dikelola oleh Advokat Fikra Eka Prawira Sudrajat, S.H.
Konten dari Pengguna
16 September 2020 8:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ngerti Hukum tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dari Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dari Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Minggu, 13/09/2020 Syekh Ali Jaber mengalami peristiwa penusukan oleh Alfin Andrian seorang pemuda usia 24 tahun di Kota Bandar Lampung. Menurut penuturan keluarga, pemuda tersebut mengalami gangguan kejiwaan beberapa tahun terakhir. Kemudian timbul pertanyaan, apakah menganggapnya memiliki gangguan jiwa lantas pelaku tidak bisa dipidana? Bagaimana hukum mengaturnya? Mari kita bahas.
ADVERTISEMENT
Tentang Pasal Penganiayaan
Berdasarkan keterangan Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Awi Setiyono, atas perbuatannya pelaku dapat dikenakan pasal 351 Ayat (2) KUHP. Pasal penganiayaan ini sendiri dibagi menjadi tiga kategori:
1. Penganiayaan biasa dihukum dengan hukuman selama-lamanya dua tahun penjara.
2. Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat maka pelaku diancam 5 tahun penjara. Luka berat dalam pasal 90 KUHP adalah luka yang tidak diharapkan untuk sembuh atau yang dapat mendatangkan maut.
3. Penganiayaan yang menyebabkan kematian diancam pidana 7 tahun penjara.
Pengecualian Pidana
Di dalam hukum pidana, terdapat ketentuan pengecualian pidana yang diatur dalam Pasal 44 KUHP. Pasal tersebut pada intinya menegaskan bahwa seseorang tidak dapat dipintai pertanggungjawaban atas perbuatannya karena dia kurang sempurna akalnya atau sakit akalnya.
ADVERTISEMENT
Pemaknaan sakit akal tersebut dijelakan oleh ahli R. Soesilo yang mengatakan bahwa akal adalah kekuatan, kecerdasan dan daya fikiran manusia. Akal yang sakit berarti memilik beberapa gangguan kejiwaan seperti sakit gila, epilepsi, melankolia dan macam-macam penyakit jiwa lainnya.
Nah seseorang dengan gangguan-gangguan jiwa di atas tidak bisa dipintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya. Maka dari itu harus dibebaskan dari segala tuntutan.
Siapa Yang Menentukan Seseorang Memiliki Gangguan Jiwa?
Menurut R. Soesilo, apabila dalam prakteknya polisi menemukan peristiwa semacam ini, maka dia tetap wajib memeriksa perkara. Hakimlah yang dapat menentukan bisa atau tidaknya seorang terdakwa dimintai pertanggungjawaban. Selain itu, hakim juga dapat meminta keterangan daripada kedokteran kejiwaan untuk memastikan kondisi kejiwaan orang tersebut.
ADVERTISEMENT
Jadi kesimpulannya, menentukan seseorang mengalami gangguan jiwa atau tidak memerlukan berbagai pemeriksaan tertentu, namun proses hukum tetap berjalan.
Semoga Bermanfaat.
Bila anda ingin bertanya lebih lanjut ataupun berdiskusi terkait persoalan hukum segera hubungi kami di Instagram @ngertihukum.id atau Youtube Ngerti Hukum Channel. Serta ikuti diskusi hukum lainnya dalam Podcast Ngerti Hukum di Spotify.
Ditulis oleh Fikra Eka Prawira Sudrajat
Founder Ngerti Hukum