Belajar dari Eksistensi Kebudayaan Etnis Tionghoa Padang

Fikram Eka Putra
Mahasiswa Pendidikan Sejarah UNP
Konten dari Pengguna
3 Maret 2023 17:50 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fikram Eka Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejumlah warga keturunan Tionghoa berada diatas arak-arakan "Sipasan" saat penutupan perayaan festival Capgomeh 2751 di Padang, Sumatera Barat, Sabtu (8/2). Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Arif Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah warga keturunan Tionghoa berada diatas arak-arakan "Sipasan" saat penutupan perayaan festival Capgomeh 2751 di Padang, Sumatera Barat, Sabtu (8/2). Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Arif Pribadi
ADVERTISEMENT
Istilah mayoritas dan minoritas adalah sebuah keniscayaan yang pasti akan kita temukan dalam konteks pluralisme. Indonesia sebagai negara yang plural dalam berbagai bidang termasuk kebudayaan menghadapi realita dinamika tarik menarik kepentingan dan pengaruh antara mayoritas dan minoritas. Namun, yang menarik adalah sebuah fakta bahwa tidak selamanya mayoritas akan selalu mendominasi dan menekan minoritas. Dalam ilmu Sosiologi kemudian muncul konsep tirani minoritas, di mana minoritas dengan jumlah yang kecil mampu untuk mendominasi karena kekuatannya yang besar.
ADVERTISEMENT
Saya kemudian tertarik untuk membahas bagaimana konsep mayoritas dan minoritas dalam konteks kebudayaan. Realitanya Indonesia saat ini dengan potensi kebudayaan yang besar masih bisa dikuasai oleh kebudayaan asing yang jika kita ibaratkan dalam kehidupan masyarakat sebagai ‘kelompok minoritas’. Asumsi tersebut didukung oleh fakta bahwa kebudayaan luhur Indonesia semakin terdesak dengan fenomena westernisasi dan pengaruh budaya luar yang kuat. Mirisnya lagi hegemoni kebudayaan luar diiringi dengan semakin terkikisnya nilai-nilai kebudayaan asli Indonesia. Fenomena tersebut sangat marak kita temukan terutama di daerah perkotaan.
Nampaknya persoalan kebudayaan di bangsa nan kaya akan kebudayaan ini sudah harus kita respons sebagai suatu persoalan yang serius. Hal ini dikarenakan ketika sedikit demi sedikit kebudayaan Indonesia terkikis terutama dari diri generasi muda, artinya bersamaan dengan itu bangsa ini sedikit demi sedikit identitas nasionalnya lenyap. Karena kebudayaan adalah salah satu kunci yang paling penting dalam merawat identitas.
ADVERTISEMENT

Etnis Tionghoa Padang: Sebuah Refleksi bagi Eksistensi Kebudayaan Indonesia

Saya mencoba untuk mencermati persoalan kebudayaan yang tengah dihadapi oleh Indonesia ini dari sudut pandang historis pada etnis Tionghoa yang merupakan kelompok minoritas di Padang. Beberapa waktu lalu saya menyaksikan berbagai rangkaian kegiatan perayaan Imlek di Kampung Pondok yang merupakan pemukiman etnis Tionghoa di Padang. Rangkaian kegiatan kebudayaan seperti Festival Cap Go Meh dan kegiatan lainnya mewarnai perayaan tersebut.
Lalu, pertanyaan terbesar yang muncul adalah bagaimana berbagai produk kebudayaan seperti perayaan Imlek, Festival Cap Go Meh dan berbagai produk kebudayaan asli Tionghoa bisa tetap eksis hingga saat ini?. Karena secara logikanya keberadaan etnis Tionghoa di Padang adalah sebagai kelompok minoritas yang tentunya dalam konteks kebudayaan akan menghadapi gempuran besar dari kebudayaan lokal Padang.
ADVERTISEMENT
Seorang Budayawan Indonesia Sujiwo Tejo mendefinisikan kebudayaan dalam artian yang luas tidak hanya terbatas pada wujud produk kebudayaan saja, budaya dalam artian luas adalah segala sesuatu yang by design dari pemikiran manusia. Sehingga, jika kita artikan kebudayaan secara luas, maka romantisme historis etnis Tionghoa di Padang mampu menjawab pertanyaan besar yang saya ajukan.
Secara historis menurut Dr. Erniwati dosen Sejarah UNP yang konsentrasinya pada kajian sejarah etnis Tionghoa, dalam artikelnya menyebutkan bahwa orang-orang etnis Tionghoa masuk ke Indonesia terbagi ke dalam tiga fase. Fase pertama terjadi ketika terjalin hubungan dagang antara Tiongkok dengan Nusantara ditandai dengan banyaknya pedagang Tiongkok yang dikirim dalam berbagai ekspedisi untuk berdagang ke Nusantara. Fase ke-dua terjadi ketika Malaka menjadi pusat perdagangan Internasional, pedagang Tiongkok beriringan dengan pedagang dari Gujarat dan Arab melakukan pelayaran ke Indonesia. Fase ke-tiga adalah ketika pemerintahan Hindia-Belanda.
Sejumlah warga keturunan Tionghoa berada diatas arak-arakan "Sipasan" saat penutupan perayaan festival Capgomeh 2751 di Padang, Sumatera Barat, Sabtu (8/2). Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Arif Pribadi
Kedatangan etnis Tionghoa yang terbagi ke dalam tiga fase tersebut pada gilirannya juga ikut memengaruhi pola pemukiman masyarakat Tionghoa di Indonesia. Pada kasus di Padang etnis Tionghoa banyak bermukim di sekitaran Sungai Batang Arau yang kala itu sebagai salah satu sentral perdagangan. Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda kemudian terjadi pembagian beberapa kelompok masyarakat salah satunya adalah kelompok Timur Asing dan Tionghoa adalah salah satu bagiannya. Akibatnya, Etnis Tionghoa di Padang tersentralisasi pemukimannya pada sebuah pemukiman yang dikenal dengan Kampung Pondok. Namun, hal tersebut bukan berarti terdapat kemudahan bagi etnis Tionghoa dalam merawat eksistensi kebudayaannya.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, meskipun banyak yang memandang etnis Tionghoa hidup dalam bingkai homogenitas dalam satu pemukiman khusus, sejatinya etnis Tionghoa di Padang hidup di tengah pluralitas. Buktinya di Kampung Pondok etnis Tionghoa terdiri dari beberapa marga seperti marga Lee & Kweek, Gouw, Tan, dan Lim. Dalam artian, etnis Tionghoa pada dasarnya juga hidup di tengah perbedaan. Sementara di sisi lain, kebudayaan Minangkabau yang kental juga menjadi salah satu tantangan besar bagi masyarakat Tionghoa dalam merawat eksistensi kebudayaannya. Asimilasi dan akulturasi kebudayaan menjadi konsekuensi logis yang harus diterima.
Menariknya, etnis Tionghoa menunjukkan tren positif pada akulturasi kebudayaan. Karena kenyataannya mereka mampu beradaptasi dengan kebudayaan lokal setempat. Salah satu wujud konkretnya adalah munculnya bahasa Pondok yang menjadi bahasa sehari-hari masyarakat etnis Tionghoa sebagai wujud akulturasi dengan kebudayaan lokal. Selain mengalami akulturasi, etnis Tionghoa juga berhasil untuk mempertahankan kebudayaan luhurnya seperti terlihat pada arsitektur bangunan, dan berbagai ritual kebudayaan yang telah diceritakan sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Ada berbagai cara yang dilakukan oleh etnis Tionghoa dalam merawat kebudayaan luhurnya. Salah satunya adalah melalui tradisi berserikat dan bekerja sama yang embrionya muncul dari keyakinan untuk menghormati roh leluhur nenek moyangnya. Tradisi berserikat dan bekerja sama sesama etnis Tionghoa di Padang pada gilirannya memunculkan bermacam kongsi. Berbagai kongsi tersebut pada gilirannya berperan aktif dalam mewarisi kebudayaan etnis Tionghoa.
Kelenteng See Hien Kiong, rumah Marga Lie dan Kwee, Gho, Tan, Keluarga, Huang, Tjoa & Kwa, serta adanya perkumpulan sosial budaya dan pemakaman seperti Himpunan Tjinta Teman (HTT) dan himpunan Bersatu Teguh (HBT) adalah wujud konkret kongsi-kongsi yang mewariskan kebudayaan etnis Tionghoa selama ini. Karena berbagai komponen tersebut secara aktif terlibat sebagai sarana bagi anggotanya untuk melakukan ritual keagamaan kepada leluhurnya masing-masing. Wujudnya berupa pelaksanaan ritual keagamaan dan upacara yang pelaksanaannya sudah sejak masa pemerintahan Hindia-Belanda.
ADVERTISEMENT
Identitas ke-Tiongho-an juga ditanamkan dengan cara pewarisan nilai-nilai leluhur dan simbol-simbol budaya yang digunakan dalam melaksanakan berbagai ritual keyakinan di kongsi. Pewarisan dijalankan dengan mewarisi ingatan kolektif secara lisan dari generasi ke generasi, sehingga pewarisan tersebut tidak putus sampai saat ini.
Secara keseluruhan ada beberapa cara yang diterapkan oleh etnis Tionghoa dalam merawat eksistensi kebudayaannya. Pertama adalah melalui penuturan lisan secara turun temurun untuk membentuk sebuah ingatan kolektif. Kemudian, pewarisan juga dilakukan melalui lembaga-lembaga resmi di setiap marga ataupun lembaga bentukan lainnya. Sehingga, melalui pewarisan yang demikian masyarakat Tionghoa mampu beradaptasi dengan kebudayaan lokal di Padang tanpa meninggalkan identitas aslinya.
Dapat disimpulkan bahwa cara pewarisan kebudayaan-kebudayaan yang by design oleh etnis Tionghoa sehingga berbagai produk kebudayaannya bisa eksis hingga saat ini sejatinya adalah wujud kebudayaan itu sendiri. Saya mengatakan bahwa cara mereka merawat kebudayaannya adalah kebudayaan terbesar yang dimilikinya, yang sekaligus menjadi jawaban mengapa berbagai festival dan upacara keagamaan dan kebudayaan etnis tionghoa masih eksis hingga saat ini. Indonesia agaknya perlu merefleksikan apa-apa yang sudah dilakukan oleh etnis Tionghoa di padang dalam menjaga kebudayaan luhur yang sudah terkikis pengaruh kebudayaan asing.
ADVERTISEMENT