Konten dari Pengguna

Suap Hakim dan Luka Bagi Keadilan

FIKRI ARRAFIQI NASUTION
Mahasiswa Fakultas Hukum
7 Mei 2025 17:25 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari FIKRI ARRAFIQI NASUTION tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber : fikri arrafiqi nasution
zoom-in-whitePerbesar
sumber : fikri arrafiqi nasution
ADVERTISEMENT
Oleh Fikri Arrafiqi Nasution Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Ekasakti.
ADVERTISEMENT
Fenomena suap terhadap hakim di Indonesia merupakan kejadian yang telah menjadi luka mendalam bagi keadilan. Kasus suap yang sudah sistemik dapat merusak kepercayaan publik dan integritas hukum di mata seluruh masyarakat. Suap yang diterima penegak hukum akan berdampak terhadap sistem hukum. Suap merupakan hal yang sangat dilarang dalam melakukan penegakan hukum karena bertentangan dengan undang-undang yaitu tindak pidana suap dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Praktik ini tak hanya mencoreng nama baik lembaga peradilan, tetapi juga menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem pengawasan internal terhadap perilaku aparat penegak hukum, khususnya badan kehakiman di Indonesia.
Dalam beberapa kasus, suap dilakukan untuk mempengaruhi isi putusan, memperingan hukuman, atau bahkan membebaskan terdakwa dari jeratan hukum, sehingga menciptakan ketimpangan dalam akses terhadap keadilan. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme rekrutmen, pembinaan, dan pengawasan hakim agar integritas peradilan dapat kembali ditegakkan secara optimal.
ADVERTISEMENT
Integritas hakim adalah pilar utama dalam berjalannya suatu sistem peradilan yang adil dan tepercaya. Karena pengadilanlah tempat harapan terakhir bagi masyarakat untuk menegakkan keadilan, maka kejujuran, netralitas, dan profesionalisme seorang hakim menjadi sangat krusial dalam setiap proses hukum. Hakim memiliki tanggung jawab besar untuk memutus perkara secara objektif tanpa dipengaruhi oleh tekanan, baik dari kekuasaan, uang, maupun kepentingan tertentu.
Namun, maraknya kasus suap yang terjadi dan melibatkan hakim menunjukkan bahwasanya ada kekurangan, krisis moral, serta kelemahan dalam pengawasan lembaga peradilan di Indonesia. Kasus-kasus ini bukan hanya mencoreng nama baik lembaga yudikatif, tetapi juga melemahkan kepercayaan publik terhadap seluruh sistem hukum yang ada.
Kondisi ini menciptakan kekhawatiran mendalam di masyarakat. Ketika seorang hakim dapat disuap untuk mengubah putusan demi kepentingan pihak tertentu, maka asas keadilan yang seharusnya dijunjung tinggi menjadi ternodai. Suap terhadap hakim bukan hanya pelanggaran etika profesi, tetapi juga bentuk kejahatan serius yang mengancam sendi-sendi negara hukum.
ADVERTISEMENT
Praktik seperti ini juga menunjukkan lemahnya sistem rekrutmen, pembinaan, serta pengawasan terhadap perilaku hakim, yang seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari reformasi peradilan. Lebih jauh lagi, lemahnya sistem pengawasan juga mencerminkan adanya kultur permisif terhadap korupsi yang telah mengakar di lembaga-lembaga peradilan. Upaya untuk membenahi kondisi ini tidak cukup hanya dengan penindakan, melainkan juga perlu langkah-langkah preventif yang sistematis, mulai dari pendidikan moral dan etika bagi calon hakim, transparansi dalam proses persidangan, hingga penguatan lembaga pengawas seperti Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung.
Oleh karena itu, permasalahan suap terhadap hakim tidak boleh dianggap sebagai kasus individu semata, melainkan sebagai gejala dari penyakit sistemik yang memerlukan pembenahan secara menyeluruh dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Pada hingga April 2025, tujuh hakim telah diamankan karena diduga terlibat dalam kasus suap untuk mengubah putusan pengadilan. Salah satu kasus yang menonjol dan mencuri perhatian pada berita masyarakat adalah dugaan suap sebesar Rp 60 miliar kepada hakim dalam kasus korupsi minyak goreng, yang melibatkan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatatkan bahwasanya kasus korupsi suap hakim sejak 2011 hingga 2024, terdapat 29 hakim yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi, dengan total nilai suap mencapai Rp107,9 miliar. Dengan adanya kasus ini dapat membuat turunnya kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan.
Dampaknya terhadap sistem peradilan di Indonesia ini merusak kepercayaan publik terhadap sistem peradilan dan menciptakan persepsi buruk dari masyarakat bahwasanya hukum di Indonesia dapat diperjualbelikan dengan uang. Hal ini juga menunjukkan adanya kelemahan dalam pengawasan internal di lembaga peradilan, baik pengadilan negeri, pengadilan tinggi, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, yang dinilai belum dan kurang efektif dalam mencegah dan menindak permasalahan ini bagi yang telah melakukan pelanggaran oleh suatu pengadilan yaitu hakim.
ADVERTISEMENT
Dalam pandangan penulis, setidaknya ada empat solusi yang penulis tawarkan untuk mengatasi karut-marut dunia peradilan saat ini. Pertama, perlunya penguatan pengawasan internal, meningkatkan efektivitas pengawasan terhadap seluruh jajaran Mahkamah Agung, baik pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan Komisi Yudisial melalui reformasi struktural dalam peningkatan kapasitas untuk mencegah kesalahan dalam peletakan jabatan dan wewenang pada peradilan di Indonesia. Karena penguatan ini sangat perlu dalam menjalankan tugas yang semakin kompeten.
Kedua, perlunya transparansi dan akuntabilitas, menerapkan sistem transparansi dalam segala proses peradilan sesuai dengan aturan hukum berlaku dan pengambilan keputusan hakim secara transparansi untuk mencegah praktik korupsi. Celah untuk terjadinya korupsi itu merupakan kurangnya transparansi dari lembaga atau instansi itu sendiri dan akuntabilitas yang harus diterapkan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, perlunya pendidikan dan etika, meningkatkan pendidikan etika yang baik bagi hakim dan calon hakim untuk menanamkan nilai-nilai integritas pada hakim dan profesionalisme dalam menjalankan tugas dan fungsi. Etika yang baik harus diterapkan hakim karena hakimlah menjadi contoh dalam pengambilan keputusan berbagai kasus-kasus di Indonesia.
Keempat, partisipasi publik dalam mengawasi dan mengawal kasus dalam proses peradilan dan melaporkan dugaan pelanggaran oleh hakim, publik sangat di butuhkan dalam pengawasan ini karena dengan adanya perhatian dari publik maka terciptalah transparansi dalam kasus-kasus di Indonesia ini.
Salah satu pameo yang viral saat ini adalah no viral no justice merupakan kekecewaan publik terhadap seluruh aparat penegak hukum yang dinilai lambat dalam menangani kasus tersebut jika belum viral di media sosial.
ADVERTISEMENT
Suap terhadap hakim merupakan ancaman yang sangat serius terhadap keadilan dan supremasi hukum di negara kesatuan Republik Indonesia. Diperlukan upaya bersama dari berbagai lembaga peradilan, pemerintah, dan elemen masyarakat dalam mencegah dan untuk memberantas praktik korupsi dan memulihkan integritas sistem peradilan. Sehingga para hakim tersebut dapat mengembalikan marwah dan citra nama baik pengadilan di Indonesia. Karena kejadian ini membuat potret buram bagi masyarakat terhadap pengadilan di Indonesia. Presiden Prabowo ketika berpidato dalam acara Laporan Tahunan Mahkamah Agung di Gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta Pusat, Rabu (19/2/2025) mengatakan tempat terakhir mencari keadilan adalah para hakim.
Akhirnya, hakim-lah harapan terakhir pencarian keadilan di negara ini. Kasus-kasus suap yang telah menimpa hakim selama ini. Jangan sampai terulang lagi, cukuplah ini yang terakhir, demi untuk keadilan yang lebih baik di masa mendatang.
ADVERTISEMENT