Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Belajar Solidaritas dari Rusun Pesakih Daan Mogot
27 Oktober 2023 17:17 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Fikri Asy'ari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Apartemen ”, apa yang terlintas dalam pikiran kalian ketika membaca kata tersebut dikaitkan dengan sikap sosial? Individualis? Tertutup? Cuek?
ADVERTISEMENT
Memang kebanyakan hal tersebut dinilai benar, sebab penduduk yang tinggal di dalam apartemen memiliki sikap yang lu-lu, gue-gue. Bahkan terkadang antar tetangga pun tidak saling mengenal dan tidak tahu sama sekali bahwa unit sebelahnya berpenghuni atau tidak.
Bagaimana tidak, dalam waktu di pagi hari penghuni berangkat kerja dan malam hari sudah lelah untuk bertemu orang karena ingin beristirahat. Bagaimana dengan akhir pekan? Tentu saja para penghuni memiliki agendanya masing-masing. Jadi, kapan untuk bertemu dengan penghuni lain?
Apartemen sendiri menyuguhkan benefit yang menginginkan privasinya terjaga, keamanan yang tinggi, dan memiliki wilayah yang strategis. Akan tetapi, tingginya sekat antar penghuni dipandang bahwa kehidupan di apartemen menciptakan kurang ruang dalam berinteraksi. Sedangkan apartemen sendiri merupakan sebuah melting pot (masyarakat dari berbagai elemen melebur menjadi satu).
ADVERTISEMENT
Berterima kasihlah kepada “lorong apartemen” yang menjadi salah satu akses pertama kali sang penghuni mengetahui bahwa dia tidak tinggal sendirian. Hal ini juga menjadi “ajang” untuk berkesempatan bertemu dan saling mengenal satu sama lain.
Walaupun tahu, tidak serta-merta antarpenghuni langsung bertegur sapa. Lorong panjang nan sunyi bak saksi bisu pun memberi tahu betapa “bisunya” para penghuni ini tidak berbasa-basi. Padahal perilaku basa-basi mengakar kuat dan menjadi budaya di setiap manusia Indonesia.
Stereotipe bahwa apartemen adalah individualis langsung terpecahkan ketika saya datang ke apartemen (baca: rusun ) Pesakih (Daan Mogot) Tower 1 dan 2 yang memiliki 16 lantai tersebut. Saat itu memiliki tugas menjadi Field Researcher di lembaga penelitian untuk mensurvei terkait hubungan sosial antar tetangga.
Memang pertama kali datang ke sana, pemikiran saya sudah ter-setting stereotipe di atas. Bahkan, menduga juga bahwa hal ini akan sama saja seperti apartemen-apartemen lain pada umumnya.
ADVERTISEMENT
Namun ketika diwawancarai satu per satu mengenai hubungan antar tetangga , seketika stereotipe tersebut pun runtuh, seolah berkata “Woy, itu gak terjadi di sini”. Ternyata keseharian mereka bertetangga layaknya umum di rumah tapak, mereka mengenal satu sama lain, peduli satu sama lain, rukun dan nyaman satu sama lain, bahkan mereka berkenan untuk meminjamkan barang-barangnya.
Karena mereka percaya, bahwa tetangga menjadi pertolongan pertama apabila membutuhkan bantuan atau mengalami kecelakaan. Apabila dilihat dari asal-usulnya, para penghuni datang dari tempat, suku, budaya, dan agama yang berbeda-beda. Sehingga hal-hal tersebut pun dirasa tidak menjadi persoalan, melainkan mengedepankan kehidupan bertetangga yang baik.
Gambaran ekonomi penghuni pun beraneka ragam, terlihat pada kepemilikan barang-barangnya yang dapat diukur melalui pemenuhan kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Rata-rata yang ditemui merupakan keluarga yang sederhana. Hal kesederhanaan inilah yang membuat para penghuni saling peduli.
ADVERTISEMENT
Karena datang saat bulan kemerdekaan, titik yang menjadi kebanggaan adalah ketika “tujuh belasan”. Semua penghuni sesama lantai bersatu membuat dan memeriahkan acara lomba tujuh belasan yang diadakan di setiap lorong lantai. Bahkan ada yang sampai membuat nasi tumpeng.
Betapa tingginya solidaritas terjalin dalam apartemen ini, seakan-akan nilai gotong-royong yang dianut oleh masyarakat Indonesia sangat terpampang jelas. Lorong yang diasosiasikan kesunyian itupun berubah menjadi pemersatu bangsa.
Dalam fasilitas sendiri yang ditawarkan untuk penghuni sangat sederhana, seperti lapangan, tempat bermain anak, aula/lobi, tempat parkir, dan kios-kios kecil yang dijalankan oleh penghuni. Tetapi, fasilitas aula atau lobi pun menjadi tempat yang bermakna untuk berkenalan dan mengobrol antar penghuni dari keseluruhan lantai apartemen.
ADVERTISEMENT
Biasanya digunakan untuk mengadakan kegiatan oleh pengelola, seperti pengajian atau sosialisasi. Namun tidak hanya kegiatan saja, terkadang ibu-ibu, bapak-bapak, hingga anak muda sering nongkrong untuk menghabiskan waktu senja sebelum panggilan magrib menyambut.
Apartemen Pesakih pun menggambarkan kesesuain dalam konsep solidaritas sosial yang dikemukakan oleh Emile Durkheim, di mana keadaan hubungan antara individu dengan kelompok didasarkan pada perasaan nilai-nilai moral dan kepercayaan yang dianut bersama serta diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.
Saling percaya inilah mendorong para individu (warga) dalam suatu kelompok dalam hal ini apartemen Pesakih, menciptakan persahabatan, saling hormat, dan timbul rasa tanggung jawab dan memerhatikan kepentingan bersama.
Melihat positif terjalin hubungan sosial antar penghuni, dan berbedanya apartemen ini dengan pada umumnya. Menjadi titik cahaya bahwa bisa saja membentuk solidaritas di dalam apartemen. Memang dibutuhkannya inisiatif dari para penghuni, kesabaran secara bertahap untuk mengenal satu sama lain, dan para stakeholder apartemen yang mendukung dan membuat program untuk mendekatkan antar penghuni.
ADVERTISEMENT
Apartemen Pesakih (Daan Mogot) menandakan bahwa masyarakat Indonesia memiliki sikap ramah-tamah, simpati, dan empati yang tinggi. Walau ditengah kondisi dan budaya metropolitan Jakarta. Hal ini ditandai pula dengan seringnya Indonesia menyandang predikat masyarakat “paling dermawan se-dunia” berdasarkan Charities Aid Foundation (CAF) World Giving Index.
Menjadi sebuah karunia bagi masyarakat Indonesia bahwa masih memegang teguh nilai-nilai kolektivisme di tengah gempuran budaya individualis. Dan apartemen Pesakih (Daan Mogot) menjadi sebuah pembelajaran mengenai kehidupan solidaritas dalam masyarakat Indonesia di tengah hunian vertikal nan modernitas.