Dilema Overworking bagi Pekerja

Fikri Asy'ari
Sarjana Hubungan Internasional - Relawan Lingkungan di PRIMALI Berdaya
Konten dari Pengguna
30 Juni 2023 18:30 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fikri Asy'ari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi mata lelah. Foto: Prostock-studio/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mata lelah. Foto: Prostock-studio/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ungkapan ini dinilai benar, sebab sebuah perusahaan memang perlu untuk mensejahterakan pekerjanya. Perlu digarisbawahi bahwasanya mensejahterakan di sini apabila diamati lebih dalam akan memunculkan beberapa hak karyawan, seperti gaji yang sesuai, lingkungan kerja yang baik, dan keseimbangan kerja dengan kehidupan (work-life balance).
ADVERTISEMENT
Namun, nyatanya di era modern kini menjadi hal yang sulit untuk menyeimbangkan pekerjaan dengan kehidupan. Karena kerja berlebihan (overworking) dinilai kerja keras, motivasi naik jabatan, mempertahankan pekerjaan, hingga pengharapan kehidupan yang lebih baik. Menilik lebih jauh ternyata fenomena ini telah ada sejak abad ke-16 pada etos kerja protestan, yang sangat dielu-elukan oleh kelompok protestan kulit putih di Eropa. Bahwasanya kerja keras dan mencari kekayaan menjadi suatu hal kebajikan.
Menurut Joan C. Willaims (2000) dalam bukunya “Unbending Gender: Why Family and Work Conflict and What To Do About It”, menafsirkan budaya kerja berlebihan memiliki hubungan erat antara produktivitas pekerja dan jam kerja yang menanamkan pemikiran ‘pekerja ideal’. Pekerja ideal di sini didefinisikan bahwasanya pekerja harus melayani segala kebutuhan perusahaan tanpa terusik oleh tuntutan di luar pekerjaan. Pandangan tersebut menentukan sesungguhnya pekerja yang baik harus mencurahkan waktunya secara penuh untuk pekerjaan yang dibayar.
ADVERTISEMENT

Petaka Overworking

Atas pemikiran buruk tersebutlah menimbulkan masalah sosial di berbagai negara di dunia. Adalah Jepang yang mengalami fenomena ini, di mana masyarakatnya menjadi gila kerja (workaholic) dan memunculkan istilah karoshi yang berartikan kematian akibat dari kerja berlebih. Departemen Kesehatan Jepang pada tahun 1987 pun telah mengeluarkan pernyataan bahwa karoshi termasuk ke dalam masalah sosial yang parah.
Dilansir dari Wired UK, pemerintah Jepang telah menerima sekitar 200 aduan cedera di tempat kerja akibat karoshi setiap tahunnya. Sesungguhnya, kerja berlebih ini memiliki keterkaitan dengan pertumbuhan populasi pada negara Jepang sendiri. Keadaan ini menyebabkan Jepang menjadi krisis populasi, sebab angka kelahiran yang rendah. Disinyalir karena menurunnya minat anak muda untuk menikah maupun memiliki anak, dan lebih mementingkan bekerja.
ADVERTISEMENT
Dengan melihat dampaknya yang luas ini, kerja berlebih pun dapat menurunkan produktivitas kerja. Kelelahan, stress, dan kualitas tidur menjadi salah tiga faktor yang sangat berkaitan sehingga memengaruhi dalam merosotnya produktivitas kerja. Menurut Ishibashi Y., & Shimura A (2019) dalam kajian "Association between work productivity, sleep problems, and chronotype: cross-sectional study". Bahwasanya durasi tidur kurang dari 5 jam sehari pada hari kerja akan menurunkan produktivitas bekerja. Selain itu, tubuh pun akan mudah diserang oleh berbagai macam penyakit.
Kerja berlebih sendiri membuat perempuan menjadi rentan yang memicu ketidakadilan gender, terutama bagi ibu pekerja. Munculnya burnout menjadi sesuatu yang melekat bagi perempuan pekerja. Dalam studi “Gendered Pathways to Burnout: Results from the SALVEO Study” (2018), memaparkan bahwa kerja berlebih meningkatkan perempuan masuk ke dalam tingkatan frustrasi dan stress yang lebih tinggi.
ADVERTISEMENT

Solusi Ke depannya

Melihat bukti – bukti di atas, menjadi hal yang urgensi untuk mengurangi kerja berlebih. Prioritas menjadi jalan utama dengan mengatur pekerjaan sekaligus menanyakan kepada atasan apabila diberikan tugas. Sehingga pekerjaan tidak terlalu terburu – buru dalam mengejar deadline.
Selain itu, perusahaan dapat membuat kebijakan mengatur jam istirahat pekerja, dengan memberikan istirahat tidur siang selama 20 hingga 30 menit. Hal ini disarankan sebab dapat meningkatkan kinerja fungsi kognitif, yaitu mengurangi kelelahan, meningkatkan kinerja memori, kemampuan dalam bekerja secara kompleks, hingga mengatur emosi. Sehingga pekerja akan lebih enjoy dan tidak kelelahan.
Kemudian, perusahaan dalam hal ini atasan, memperhatikan para pekerjanya apabila ingin memberikan sebuah tugas tambahan. Dengan syarat adil dalam pembagiannya, tanpa memandang senior maupun junior, job desc yang sesuai dan jelas, serta melihat batasan diri dari pekerjanya. Selanjutnya, dukungan sosial antar sesama pekerja pun sangat diperlukan, karena baik bekerja secara tim maupun individu dapat meningkatkan hubungan yang positif.
ADVERTISEMENT
Studi Sigursteinsdottir & Karlsdottir (2022) dengan judul "Does Social Support Matter in the Workplace? Social Support, Job Satisfaction, Bullying and Harassment in the Workplace during COVID-19" meneliti dukungan sosial antar pekerja di kota Islandia, menunjukkan 87% dari 4.973 pekerja bahwasanya dukungan sosial dapat meningkatkan kepuasan pekerjaan dan berkorelasi dengan perlindungan dari perundungan maupun pelecehan seksual.
Terakhir, memberikan fasilitas ruang kerja yang ideal dan nyaman. Studi Thayer, dkk ( 2010) dalam "Effects of the Physical Work Environment on Physiological Measures of Stress" mengemukakan bahwa lingkungan kerja dapat memengaruhi tingkatan stress. Kualitas udara yang baik, jumlah sinar matahari, dan akses kepada pemandangan di jendela dapat mengurangi gejala depresi dan meningkatkan kesehatan mental yang lebih baik. Korelasinya ialah, pekerja akan lebih produktif apabila bekerja tidak dalam tekanan stress dan menghindari terjadinya kerja berlebih.
ADVERTISEMENT