IUCN dan CITES dalam Lingkup Satwa Liar di Indonesia

Fikri Asy'ari
Sarjana Hubungan Internasional - Relawan Lingkungan di PRIMALI Berdaya
Konten dari Pengguna
1 Agustus 2023 16:30 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fikri Asy'ari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Simpanse Tersenyum. Foto: Patrick Rolands/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Simpanse Tersenyum. Foto: Patrick Rolands/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Eksistensi satwa liar di negeri ini merupakan sumber daya alam hayati yang luar biasa melimpah. Dikutip dari ProFauna (Protection of Forest and Fauna) ada 300.000 jenis satwa liar atau sekitar 17 persen satwa liar di dunia berada di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dalam studi A New Tarsier Species from the Togean Islands of Central Sulawesi, Indonesia, with References to Wallacea and Conservation on Sulawesi (2019), khusus satwa primata, keragaman jumlah jenisnya merupakan yang tertinggi di Asia, di mana terdapat 63 jenis primata, termasuk yang terbaru yaitu tarsius niemitzi sp.
Namun, kelangsungan hidup satwa liar ini mengalami ancaman kepunahan dikarenakan oleh praktik perburuan dan perdagangan ilegal. Terdata 40 jenis satwa primata masuk dalam kondisi terancam punah salah satunya ialah kukang atau dalam bahasa ilmiahnya nycticebus (Donny, 2017).
IAR Indonesia mencatatkan setidaknya ada lebih dari 80 persen satwa yang diperjualbelikan secara bebas melalui daring atau melalui pasar burung, yang merupakan hasil tangkapan dari alam liar (Petrus, 2019).
ADVERTISEMENT
Kejadian ini tidak hanya terasa di Indonesia saja. Melainkan di seluruh dunia, dan memunculkan kekhawatiran bagi kepunahan spesies satwa liar. Oleh karena itu, perlu adanya perlindungan pada satwa liar.
Atas dasar kekhawatiran tersebut, International Union for Conservation of Nature (IUCN) pun hadir pada 5 Oktober 1948 di Kota Fontainebleau, Prancis.
IUCN hadir sebagai organisasi lingkungan yang mendorong kerja sama internasional, dan memberikan pengetahuan ilmiah serta alat-alat dalam membantu tindakan konservasi, serta memadukan peran pemerintah dan masyarakat dalam melindungi alam.
Selain itu, IUCN mempunyai daftar untuk status konservasi berbagai jenis makhluk hidup dengan nama IUCN Red List of Threatened Species. Tujuannya adalah untuk memberi tahu tentang pentingnya konservasi terhadap masyarakat dan para pemangku kebijakan dalam memperbaiki status kelangkaan suatu spesies.
ADVERTISEMENT
Dalam daftar tersebut berisi sembilan kelompok yang diatur menurut beberapa kriteria seperti, jumlah populasi, penyebaran, dan risiko kepunahan, yaitu informasi kurang, tidak dievaluasi, berisiko rendah, hampir terancam, rentan, genting, kritis, punah di alam liar, dan punah.
Tidak hanya sampai di situ, Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) pun hadir atas inisiatif para anggota IUCN dalam mengurangi kepunahan satwa liar yang dikarenakan praktik perburuan dan perdagangan ilegal.
Konvensi ini disepakati dan ditandatangani pada tanggal 3 Maret 1973 di Washington DC, dan berlaku pada 1 Januari 1975. Kehadiran CITES bertujuan untuk melindungi tumbuhan dan satwa liar dari perdagangan internasional agar terjamin keberadaannya hingga masa depan.
ADVERTISEMENT
CITES mengatur aturan pada perdagangan internasional terhadap satwa dan tumbuhan liar mana saja yang diperbolehkan untuk diekspor dan diimpor, melalui sistem perizinan dan bersertifikat apabila persyaratan dapat dipenuhi.
CITES sendiri memiliki tiga lampiran (apendiks) yang mana berisikan tingkatan ancaman kepunahan pada tumbuhan dan satwa liar yang boleh dan tidak diperjualbelikan.
Apendiks CITES I, berisikan daftar tumbuhan dan satwa liar yang sedang dan telah terancam punah (endangered). Perdagangan internasional-nya memerlukan izin dan dikontrol sangat ketat.
Apendiks II, berisikan daftar tumbuhan dan satwa liar yang belum terancam punah tapi dapat punah apabila perdagangan internasional-nya tidak terkontrol.
Apendiks III, berisikan daftar tumbuhan dan satwa liar yang diatur oleh setiap negara untuk mencegah terjadinya eksploitasi hewan liar dan perlu kerja sama dengan negara lain dalam pengendalian perdagangannya.
ADVERTISEMENT

Penerapan IUCN dan CITES di Indonesia

Ilustrasi Orangutan. Foto: Kemenparekraf
Indonesia menjadi salah satu negara yang ikut menandatangani kesepakatan CITES. Dengan demikian Indonesia terikat secara hukum untuk melaksanakan dan mematuhi ketiga apendiks di atas, seperti salah duanya satwa yang berada di Indonesia dan perlu kontrol sangat ketat dalam lampiran 1 CITES adalah gibbon atau owa (hylobatidae sp) dan orangutan​​ (pongo sp).
Menurut Yoshua Aristides, dkk (2016) dalam penelitian berjudul Perlindungan Satwa Langka di Indonesia dari Perspektif Convetion on Endangered Species of Flora and Fauna (CITES), kesepakatan ini kemudian menjadi ketetapan di dalam negeri melalui Keputusan Presiden (KEPRES) Republik Indonesia No.43 Tahun 1978 tentang pengesahan Convention On International Trade In Endangered Species of Wild Fauna and Flora, 1973.
ADVERTISEMENT
Contoh dari peraturan turunan ini adalah pada pasal 65 poin a dan b No.8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar bahwasanya terdapat dua lembaga yang bertanggung jawab dalam implementasi CITES di Indonesia.
Lembaga ini adalah Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai otoritas pengelola (management authority) untuk melaksanakan perizinan, pengesahan, dan laporan-laporan.
Kemudian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai otoritas keilmuan (scientific authority) yang bertugaskan terkait bidang ilmiah dan pemantauan pada perdagangan internasional.
Selain dari Kementerian, konservasi pun dilakukan melalui lembaga Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) yang melaksanakan konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan yang mengacu pada produk-produk pengetahuan IUCN.
ADVERTISEMENT
Studi Ruth Nelta Tambunan (2016) mengatakan pada tahun 1982 diadakan kongres Taman Nasional dan Kawasan Lindung Sedunia III yang diselenggarakan oleh IUCN di Bali, Indonesia.
Adanya kongres ini memberikan inspirasi untuk membangun taman nasional yang berkonsep kawasan konservasi, dan Indonesia sekaligus mendeklarasikan 11 taman nasional di Indonesia seluas 3.287.063 hektar.
Kemudian, pada perundangan disebutkan beberapa aturan konservasi. Contohnya pada UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, juga UU No. 21 Tahun 2019 Tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan pada pasal 86-88 tentang sanksi pidana bagi pelaku impor dan ekspor tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilengkapi sertifikat kesehatan.
Selain itu, Kementerian pun memiliki regulasi tersendiri pada perlindungan satwa liar yaitu, Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Permen LHK Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 Tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
ADVERTISEMENT
Di dalamnya terdaftar banyaknya primata yang dilindungi seperti, owa ungko (hylobates agilis), owa jenggot putih (hylobates albibarbis), owa serudung (hylobates lar), owa siamang (symphalangus syndactylus), dan lainnya.
Adanya organisasi dan konvensi lingkungan ini berdampak baik pada perlindungan satwa liar di Indonesia melalui perlindungan hukum, dan diharapkan pemerintah Indonesia terus menguatkan perlindungan hukum bagi satwa liar serta konsisten untuk melestarikan satwa liar yang nantinya akan berdampak bagi masa depan bangsa Indonesia.
Agar anak cucu bangsa tetap dapat berbangga pada negara yang didiami oleh banyaknya keanekaragaman hayati, dengan demikian senantiasa terdorong untuk menjaga kehidupan satwa liar di Indonesia.