Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten dari Pengguna
Munggahan dan Tali Kekerabatan
10 Mei 2020 8:45 WIB
Tulisan dari Muhammad Fikri Dzulfikar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bising mesin motor satu-persatu memasuki halaman rumah di Cikancung, kecamatan terpencil di wilayah Bandung Timur. Hari itu, tanggal 19 April 2020, sekelompok pemuda merencanakan agenda liliwetan di rumah salah satu rekannya. Bertepatan dengan enam hari lagi menjelang bulan Ramadan, mereka pun menyebutnya sebagai acara munggahan.
ADVERTISEMENT
Umat Islam Indonesia, pada tahun ini, menyambut awal Ramadan pada tanggal 24 April 2020. Berdasarkan data Global Religious Futures penduduk di Indonesia mayoritas memeluk agama Islam. Dalam data tersebut, jumlah penganut agama Islam pada 2010 sekitar 87,2% dari total populasi atau 209,12 juta jiwa.
Penduduk beragama Islam di Indonesia tersebar ke seluruh penjuru negeri. Agama Islam menjalar di 34 provinsi yang dimiliki Indonesia. Setiap daerah pun, memiliki tradisi masing-masing dalam menyambut bulan penuh berkah tersebut. Seperti sebuah tradisi dari tatar Sunda yang masih terpelihara sampai sekarang. Masyarakat Sunda menamai tradisi tersebut dengan sebutan “munggahan”.
Jika dipandang dari asal mulanya, kata munggahan berasal dari bahasa Sunda yakni kata “unggah”, yang memiliki arti beranjak. Beranjak dalam hal ini yaitu berangkat dari tempat yang lebih rendah ke tempat yang lebih tinggi. Hal itu disimbolkan dengan kebiasaan masyarakat Sunda mengajak seluruh anggota keluarga berpelesiran ke dataran tinggi.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, munggahan berarti tradisi berkumpul dan makan bersama dengan keluarga atau teman untuk menyambut bulan Ramadan. Munggahan sendiri merupakan bentuk turunan dari kata “munggah”, sebutan untuk hari terakhir di bulan Ruwah -bulan ke delapan dalam kalender Hijriah- sehari sebelum dimulai berpuasa Ramadan.
Budayawan Sunda Ira Indra Wardana mengungkapkan munggahan bisa menjadi tradisi ataupun bagian dari tradisi. Alih-alih menjadi tradisi umum masyarakat Sunda, munggahan hanya dilakukan oleh sebagian orang Sunda. Munggahan menjadi bagian tradisi dari kelompok-kelompok yang memiliki pemahaman tentang hubungan kosmologis atau spiritual antara kehidupan di dunia dengan kehidupan di akhirat kelak.
“Yang dimaksud munggahan itu, kan, ziarah ke makam. Mereka melakukan ziarah itu ada nilai sakral sama nilai profan. Nilai sakralnya, tadi. Dasarnya karena ada sebagian orang yang memang melakukan munggah dengan berziarah itu karena ada pemahaman spritual antara hubungan kehidupan di sini dengan di akhirat. Artinya ada keyakinan bahwa kehidupan para orang tua, saudara, leluhur dipercayai masih punya hubungan secara spiritual. Mereka punya keyakinan, sebelum bulan Puasa ini, mereka harus membersihkan hati. Membersihkan dalam artian secara spiritual,” ungkap Ira lewat sambungan Whatsapp, Rabu (29/4/2020) siang.
ADVERTISEMENT
Sarana Tali Kekerabatan
Selain memiliki nilai sakral, munggahan pun mengandung nilai-nilai sosial. Pria yang juga berprofesi sebagai dosen Antropologi Universitas Padjadjaran tersebut menyebut nilai-nilai sosial sebagai nilai profan. Nilai profan merupakan nilai yang tidak bersangkutan dengan hal keagamaan.
Letak makam-makam orang tua dan leluhur yang biasanya berada di kampung halaman, membuat masyarakat Sunda yang merantau harus balik kampung. Meskipun tidak pulang kampung, namun daerah rumah dengan makam pun kadang berbeda. Mau tidak mau, mobilisasi manusia tidak dapat dihindarkan.
“Nilai profan kan nilai sosial. Otomatis dengan pulang kampung, dia akan bertemu saudara-saudara. Dari situ, terjadilah suatu interaksi sosial, di mana mereka juga saling memaafkan dulu untuk memasuki bulan Puasa. Nah ketika pertemuan mereka, pasti nuansanya dalam kebahagiaan. Wujud rasa kebahagiaan itu dengan bercengkerama sambil makan bersama,” tambah Ira.
ADVERTISEMENT
Hal-hal tersebut merupakan bagian dari nilai sosial. Munggahan membuat hubungan sosial mereka tetap terjaga. Terjaganya hubungan sosial dapat membuang semua prasangka terhadap sesama saudara. Munggahan pun dapat mendekatkan lagi sekat-sekat persaudaraan yang terputus lama serta yang memiliki konflik.
Masyarakat Sunda terkenal dengan tingkatan emosional kekerabatan yang tinggi. Masyarakat Sunda juga dikenal sebagai suku yang tidak terbiasa merantau terlalu jauh. Munggahan pun dipilih menjadi bagian dari proses menjaga kekerabatan. Jarak yang dekat memungkinkan mereka untuk munggah. “kebayang kalau orang Sunda sukanya merantau ke Papua, Maluku, atau Sulawesi. Mau munggah ke makam, jauh-jauh ngapain, buang-buang uang,” celoteh Ira.
Seiring berkembangnya zaman, prosesi munggahan pun memiliki beberapa perubahan. Dalam masyarakat milenial dan kosmopolitan, munggahan dilakukan dengan berkumpul bersama rekan sejawat. Mereka menyelenggarakan munggahan dengan makan bersama di restoran atau berpelesiran ke tempat wisata. Ira tidak memandang perubahan tersebut sebagai sesuatu yang salah. Ia meyakini hubungan kekerabatan dapat dilakukan dengan beberapa cara. Ira justru menilai masyarakat Sunda akan mengalami kemunduran bila interaksi sosial kekerabatan menjadi hal yang asing.
ADVERTISEMENT
Munggahan di Tengah Pandemi
Hari itu, mentari telah lelah menyinari wilayah Cikancung. Mentari perlahan-lahan menurun untuk sedikit beristirahat ketika tujuh pemuda telah berkumpul semua di kediaman Rifan. Tujuh pemuda tersebut merupakan teman semasa Sekolah Menengah Atas (SMA) Rifan. Sebetulnya seluruh alumni kelas sudah diajak, namun tidak banyak yang menggubris seruan tersebut.
“Nah, sebelumnya, kalau sama teman itu, liliwetan hungkul. Tapi, kan, kabeneran waktunya dekat dengan puasa, jadi sekalian lah munggahan. Sambil liliwetan, sambil munggahan oge,” terang Rifan dengan logat Sunda yang kental saat diwawancari via Whatsapp, Selasa (28/4/2020) sore.
Tahun ini, pemuda berusia 19 tahun tersebut tidak hanya satu kali menyelenggarakan tradisi munggahan. Sehari setelah agenda dengan teman-temannya, Rifan bersama keluarganya kembali kedatangan tamu dari berbagai daerah. Mereka adalah keluarga besar Rifan yang berencana menyelenggarakan munggahan.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kali ini Rifan melaksanakan munggahan dengan cara yang sederhana. Biasanya Rifan melakukan munggahan dengan berpelesiran ke tempat tinggi, tempat wisata, atau pun restoran. Tahun ini, makan bersama di rumah menjadi pilihan ideal di tengah pendemik Covid-19.
“Alhmadulillah, bersyukur masih bisa melakukan munggahan juga. Untuk tahun sekarang mah di rumah aja. Sehari setelah dengan teman itu, alhamdulillah dengan keluarga gede. Ada dari mana-mana. Ada yang dari Bandung, aya oge nu ti Garut. Untuk tahun sekarang, ngan liliwetan jeung makan bersama. Terus dilanjut ke makam bibi, makam uak, dan makam kakek,” ujar Rifan.
Perasaan khawatir tetap muncul di hati Rifan. Dia tetap manusia biasa, tidak kebal pula dari musuh yang tidak terlihat oleh kita sekarang. Namun ia dapat menepis kekhawatirannya tersebut dengan berdalih orang-orang yang datang ke rumahnya adalah keluarga dekat. Dia pun yakin karena keluarga yang datang masih dari zona hijau.
ADVERTISEMENT
“Kalau dengan teman SMA sih yakin aman, soalnya mereka asli Cicalengka, dan di sana masih zona hijau. Di Cikancung oge sama masih zona hijau. Terus untuk keluarga yang dari Komplek Griya Bandung Indah (GBI) Gedebage dan dari Kadungora. Keduanya waktu itu masih zona hijau, jadi masih aman. Karena belum ada yang teridentifikasi juga di daerah tersebut, ya paksain lah. Biar silaturahmi tetap terjalin,” imbuh Rifan.
Sementara itu, Ira mengimbau, dalam keadaan pandemik seperti sekarang, sepantasnya masyarakat tidak melaksanakan munggahan terlebih dahulu. Segala doa dan hubungan kekerabatan menurutnya masih bisa dilakukan dari rumah masing-masing. Ia pun menyandingkan dengan putusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang tidak menyarankan melakukan kegiatan keagamaan secara berkelompok. “Dalam kondisi sekarang, yang wajib saja dilarang, apalagi ini munggahan yang termasuk perkara sunah,” tandas Ira sambil mengakhiri perbincangan.
ADVERTISEMENT