Pendaki Gunung: Pecinta Alam, Katanya

Muhammad Fikri Dzulfikar
Pemuda yang tertarik di bidang jurnalistik dan penulisan. Lebih suka menulis feature ataupun cerita fiksi. Saat ini terdaftar sebagai mahasiswa aktif Program Studi Jurnalistik, Universitas Padjadjaran.
Konten dari Pengguna
26 Oktober 2020 11:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Fikri Dzulfikar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pendakian gunung (Foto: Muhammad Fikri Dzulfikar)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pendakian gunung (Foto: Muhammad Fikri Dzulfikar)
ADVERTISEMENT
Kegiatan olahraga luar ruang pada beberapa tahun terakhir menjadi minat baru bagi kebanyakan kaula muda. Pendakian gunung menjadi salah satunya. Hal tersebut didukung oleh kondisi geografis Indonesia yang berada pada posisi Cicin Api Pasifik atau The Ring of Fire.
ADVERTISEMENT
The Ring of Fire adalah sebuah kawasan area di cekungan Samudera Pasifik yang membentang sejauh 40.000 Km. Area tersebut terdiri dari lengkungan vulkanik, sabuk vulkanik, dan palung laut dengan total terdapat 425 gunung berapi. Sementara menurut Indonesiabaik.id gunung api yang termasuk ke dalam wilayah Indonesia berjumlah 129. Jumlah tersebut masih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah seluruh gunung di Indonesia yang tersebar di tiap provinsi.
Selain kondisi geografis Indonesia, melejitnya kegiatan mendaki gunung juga didukung oleh hadirnya film "5 Cm" pada tahun 2012. Pasca hadirnya film tersebut, orang-orang mulai berlomba-lomba mendaki gunung. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan data Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BBTNGGP) (salah satu dari lima taman nasional pertama di Indonesia yang diresmikan pada tahun 1980), pengunjung yang melakukan kegiatan pendakian di tahun 2012 berkisar 38.250 orang, selanjutnya pada tahun 2013 berjumlah 82.577 pengunjung dan di tahun 2014 kembali naik menjadi 96.587 orang. Namun akibat membludaknya pendaki, pada tahun 2015, pihak BBTNGGP mulai memberlakukan sistem kuota di tiap jalur pendakiannya. Hal tersebut berimplikasi pada penurunan jumlah pendaki pada tahun 2015-2018.
ADVERTISEMENT
Kondisi tersebut bukan hanya terjadi pada Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Masih banyak gunung yang tidak termasuk ke dalam kawasan taman nasional, ikut dibanjiri pendaki. Seperti yang terjadi pada Gunung Kerenceng di Kabupaten Sumedang. Dulu, tahun 2014, meskipun di akhir pekan, ketika saya mendaki gunung tersebut hanya ada satu atau dua rombongan. Berbeda dengan sekarang, berdasarkan penuturan pengelola Gunung Kerenceng, tiap akhir pekan gunung tersebut selalu ramai dikunjungi.
Olahraga Menikmati Alam
Tidak dapat dipungkiri, kegiatan olahraga luar ruang seperti mendaki gunung memang memiliki banyak manfaat. Mendaki gunung bisa menjadi sarana mengapresiasi karya dan anugerah sang pemilik semesta. Pemandangan indah yang ditawarkan ketika berada di ketinggian dapat membuat manusia merasa kecil. Terutama jika dihadapkan pada lautan awan dari atas puncak, dapat membuat kita meratapi keagungan Tuhan. Selain itu, mendaki gunung bisa menjadi salah satu cara menenangkan diri dari hiruk-pikuk perkotaan. Suasananya yang hening dengan alunan nada dari burung dan daun-daun yang bersentuhan bisa menjadi alternatif terapi alami di kala penat.
ADVERTISEMENT
Beberapa hal lainnya yang didapatkan dari kegiatan mendaki adalah kita bisa menghargai hal-hal kecil. Ketiadaan jaringan internet dan telepon di atas puncak, membuat kita sejenak terlepas dari gawai dan media sosial yang biasanya menjadi teman ketika di kota. Hal tersebut membuat para pendaki dapat menjadi manusia seutuhnya dengan berbincang bersama rekan pendakian tanpa terganggu notifikasi. Keterbatasan makanan dan minuman di gunung pun membuat kita lebih menghargai tiap hidangan yang tersedia.
Selain itu, pendakian gunung merupakan sebuah kegiatan yang mendobrak zona nyaman. Tidak jarang pendaki harus rela meninggalkan rumah yang nyaman demi sebuah tantangan. Capai, letih, dan banjir keringat adalah beberapa usaha besar yang dilakukan pendaki demi menikmati keagungan Tuhan. Terkadang, pendakian juga menjadi salah satu sarana merefleksikan diri sampai sejauh mana raga mampu bertahan.
ADVERTISEMENT
Penuh Segudang Masalah
Namun di balik banyaknya manfaat mendaki, diperlukan mental, fisik, serta pengetahuan yang mumpuni. Merebaknya kegiatan alam bebas, terkadang membuat sebagian pendaki lupa akan tiga hal tersebut. Pengatahuan dasar mengenai kegiatan alam bebas seperti pembuatan bivak darurat, survival, pertolongan pertama keadaan darurat, hingga etika pun seringkali diabaikan.
Masih banyak pendaki yang bermodal nekat atau sekadar memuaskan eksistensi guna mengais validasi. Buktinya, ada saja pendaki yang dengan sengaja memetik Bunga Edelweis guna ber-selfie ria dan sebagai hadiah buat doi di rumah supaya tampak romantis. Padahal Bunga Edelweis merupakan salah satu Bunga yang dilindungi oleh Undang-Undang.
Bunga Edelweis (Anaphalis Javanica) masuk dalam kategori jenis tumbuhan yang dilindungi sebagaimana tercantum dalam daftar Nomor 798 Lampiran Permenlhk P.92/2018. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, orang yang secara sengaja membawa keluar atau berpindah ke tempat lain, dapat diancam sanksi pidana berdasarkan Pasal 40 ayat (2) UU Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya, yaitu: Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Jadinya, romantis pun enggak, yang ada malah mendapat hukuman.
ADVERTISEMENT
Selain Bunga Edelweis, permasalahan umum dalam dunia pendakian adalah sampah. Masih banyaknya pendaki gunung yang asal naik (tidak diberi pengetahuan dasar dan etika di alam bebas), membuat minimnya kesadaran akan sampah yang dibawa ke gunung. Contoh kasus di Gunung Slamet pada tahun 2019, di jalur via Bambangan sampah yang diangkut dari atas gunung sebanyak dua belas truk. Akumulasi sampah tersebut terhitung saat penutupan jalur selama kurang lebih satu bulan. Bisa dibayangkan, satu gunung saja sudah memproduksi sampah sebanyak dua belas truk, bagaimana dengan sampah di gunung lainnya di pulau jawa, lebih luas di seluruh Indonesia.
Kebanyakan pendaki masih menggunakan sampah plastik, alat makan dan alat minum sekali pakai. Memang, hal yang sulit untuk mengurangi pemakaian alat sekali pakai tersebut. Namun kita bisa menyiastinya secara perlahan-lahan, dimulai dari menggunakan cangkir stainless steel, tempat makan portable, botol tumbler, serta jeriken portable yang bisa dilipat. Setidaknya secara perlahan, meskipun masih memproduksi sampah plastik dari makanan instan, tetapi jumlahnya mulai dikurangi. Selain itu, dengan membiasakan “operasi semut” (bersih-bersih sampah) sebelum turun gunung dan membawa sampah-sampah tersebut, setidaknya kembali ke tempat registrasi.
ADVERTISEMENT
Permasalahan lain dalam dunia pendakian gunung dan penjelajahan alam bebas adalah vandalisme. Ketika mendaki, saya masih melihat banyak sekali coretan baik itu di pohon, batu, ataupun papan informasi. Mungkin mereka bilang keren, juga sebagai tanda pernah menginjakkan kaki di gunung tersebut. Selain mengurangi estetika, kegiatan vandalisme melanggar kode etik penjelajahan dan dapat merusak orisinalitas pepohonan dan bebatuan. Ada satu pepatah yang masyhur di kalangan pendaki, yakni; jangan mengambil apapun kecuali gambar, jangan meninggalkan apapun kecuali jejak, dan jangan membunuh apapun kecuali waktu. Seyogianya, pepatah tersebut bisa diresapi dan dijalankan oleh para pendaki yang katanya pecinta alam.