Apa Benar Masyarakat Sudah Pintar Dalam Menghadapi Politik Uang?

Fikri Gali
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang
Konten dari Pengguna
11 September 2022 14:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fikri Gali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi foto: unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi foto: unsplash.com
ADVERTISEMENT
Masyarakat sudah pintar? Mungkin itu suatu pertanyaan yang selalu terpikirkan. Seperti yang kita ketahui, pada tanggal 14 Februari 2024 Akan diselenggarakan sebuah pesta demokrasi. Apa yang harus kita lakukan? Berbicara mengenai demokrasi, pasti tidak jauh-jauh dengan oligarki. Banyak masyarakat mengatakan bahwa "Negara ini dikuasai oleh pemilik modal" Apakah bisa disalahkan? Apakah menyalahi prosedur? Tentu tidak, sedangkan mereka juga terpilih melalui proses pemilu.
ADVERTISEMENT
Pada konteks oligarki, dibutuhkan sebuah objek. Objeknya siapa? Ya masyarakat sendiri. Seekor singa di dalam kandang, dia tidak bisa makan apabila seorang pawang tidak memberi makan. Dalam teori pertukaran sosial, kedua elemen harus saling menguntungkan atau istilahnya lain ialah mutualisme. Apabila masyarakat menolak adanya politik uang, otomatis sistem oligarki tidak bisa berjalan dan berpotensi terciptanya pemimpin nasional.
Apa benar masyarakat sudah cerdas? Beberapa waktu yang lalu, masyarakat digemparkan dengan gerakan tentang politik uang yakni "Ambil uangnya jangan pilih orangnya" Mengenai hal itu, secara tidak langsung masyarakat justru mengajarkan prinsip politik uang. Mengapa? Secara logika, di dalam konstitusi telah tercantum Pasal 523 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu. Lantas mengapa dapat menyarankan untuk menerima uang? Terlebih lagi dengan dalih efek jera artinya sama-sama bersalah. Salah ditata etika dan salah dalam hukum.
ADVERTISEMENT
Mengapa demikian? Pemilik modal yakin dengan hak suara seseorang terkait, sedangkan orang terkait belum tentu memilih pemilik modal (salah dalam etika). Selain itu, tindakan menerima uang atas tujuan tertentu juga salah dimata hukum meskipun dengan dalih efek jera. Karena dalam proses pemilihan suara kita tidak bisa mengetahui seorang calon yang dipilih, jadi tidak ada perbedaan dengan seseorang yang menerima suap. Apabila hal itu terjadi, lantas siapa dalang dalam problem oligarki? Kaum borjuis atau proletar? Bukankah lebih baik memberantas masalah seperti ini harus dari akar?.
Dalam realitas yang ada, politik uang telah tersebar dimana-mana. Banyak masyarakat membuat statement bahwa "Apabila ingin menang, diharuskan memiliki uang" Apakah itu dapat dibenarkan? Bagaimana bisa menggunakan strategi yang jelas-jelas dilarang oleh konstitusi? Apabila strategi tersebut merupakan satu-satunya aktor dalam pemenangan pemilu, mengapa konstitusi tidak melegalkan hal itu? Secara logika, ketika politik uang tidak dilegalkan maka tidak akan ada pemenang. Apabila dilegalkan maka akan ada pemenang. Artinya, secara tidak langsung menepis statement bahwa politik uang adalah strategi untuk mendapatkan sebuah kemenangan. Lantas bagaimana memperoleh legitimasi tanpa adanya faktor ekonomi? Mungkin pertanyaan tersebut yang harus selalu dipikirkan oleh para politisi.
ADVERTISEMENT